Kamis, 19 November 2015

Siapa Menuai Untung dari Bom Paris?

Siapa Menuai Untung dari Bom Paris?

Maimon Herawati  ;  Dosen Jurnalistik Fikom Unpad;
S-2 Kajian Palestina di Skotlandia
                                                  REPUBLIKA, 18 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada saat investigasi teror Paris masih berlangsung, logika yang harus didahulukan untuk mencari kira-kira pelaku adalah siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut. Siapa yang paling menuai keberuntungan, biasanya dia yang berpotensi menjadi pelaku.

Ditemukan paspor Suriah di salah satu penyerang, demikian rilis Republika yang mengutip Fox News. Penemuan paspor ini menjadi argumen pengunci penolak migran Suriah ke Eropa. Berbagai kicauan di media sosial mengecam pengungsi Suriah yang menurut mereka masuk Eropa untuk meneror ini. Bukalah artikel tentang bom Paris, bagian komentar penuh dengan penolakan akan pengungsi Suriah.

Mereka juga menyalahkan Angela Merkel, kanselir Jerman, yang membuka perbatasan negara untuk pengungsi Suriah. Mereka menuntut Merkel mengubah kebijakan pintu terbuka perbatasannya. Mereka juga minta komitmen awal Uni Eropa untuk menyerap pengungsi Suriah dibatalkan. Polandia negara yang paling awal menolak menerima pengungsi Suriah sesuai kuota yang ditetapkan Uni Eropa (the Economist, 14/11).

Saat ini ada ratusan ribu pengungsi Suriah di Eropa yang menunggu ditempatkan di negara tuan rumah. Sebagai catatan, ada 4 juta warga Suriah yang mengungsi karena konflik dalam negerinya. Dua juta lebih diterima Turki. Lebanon 1 juta lebih. Yordania dan Arab Saudi menerima masing-masing hampir setengah juta. Sisanya memencar di berbagai negara, termasuk Uni Eropa. Dari negara-negara Uni Eropa, hampir 200 ribu tercatat sebagai pengungsi. Jerman penerima terbanyak, setelahnya Swedia, sedangkan Prancis bersedia menerima 24 ribu pengungsi. Jumlah pengungsi Suriah yang berlabuh di Uni Eropa memang tidak sebanyak di Turki dan negara-negara Arab lainnya, tetapi tetap angka yang besar.

Penemuan paspor Suriah di dekat pelaku bom bunuh diri Paris tentu saja menjadi pukulan telak bagi perjuangan pengungsi Suriah yang berharap ingin melanjutkan kehidupan di Eropa. Sulit diterima logika kalau orang yang melarikan diri dari kekejaman perang menciptakan teror serupa di negara bakal lokasi hidupnya. Istilahnya, mencari keamanan di negeri orang, masak malah membuat teror.

Selain paspor Suriah, ada pengakuan video tanpa tanggal yang menyampaikan ancaman Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terhadap Prancis. Prancis tidak akan pernah damai dan tenteram sepanjang terus tergabung bersama militer Amerika Serikat mengebom wilayah penguasaan ISIS. Sehari sebelum teror di Paris, New York Times menulis Amerika meningkatkan serangan militer ke wilayah penguasaan ISIS yang kaya minyak.

Andai ISIS benar pelakunya, Amerika Serikat dan sekutu punya alasan jitu untuk menggempur secara hebat wilayah kekuasaan ISIS di Irak dan Suriah. Ada pertaruhan besar di sini. Amerika Serikat dan sekutu tidak akan membiarkan setetes darah warga negara mereka tumpah di tanahnya. Ada harga diri bangsa yang dipertaruhkan di sini. Dengan kekuatan Amerika sekarang—tanpa sekutunya—sekali serang, Amerika akan mampu menumbangkan ISIS.

Kekuatan militer Amerika tidak sebanding dengan ISIS. Militer Amerika terbaik sedunia. Amerika memiliki tentara aktif sebanyak 1,3 juta orang, ada 13.900 pesawat tempur, 920 helikopter, 20 pesawat penumpang, dan 72 kapal selam. Anggaran militernya mencapai Rp 9.000 triliun (610 miliar dolar AS) pada 2014, jauh lebih banyak daripada anggaran sembilan negara di bawahnya (Business Insider, 29/9).

Kekuatan ISIS, menurut Direktur Institut Jerman tentang Studi Radikalisasi dan Deradikalisasi (Girds) Daniel Koehler, berkisar 40 ribu-50 ribu orang. Angka perkiraan tertinggi adalah 200 ribu, tapi ISIS kehilangan banyak pasukannya dalam pertempuran (Independent, 28/6).

Jika Amerika Serikat ingin menumpas habis ISIS, logikanya, tidak sulit menghabisi ISIS sekali gempur. Ingat, militer Irak yang perkasa itu dihancurkan Amerika hanya dalam hitungan minggu. Kekuatan ISIS sangat lemah dibandingkan militer Irak. ISIS dengan mudah akan hancur jika membuat Amerika dan sekutunya sangat marah hingga memutuskan menumpas habis ISIS.

Benar saja. Pada Ahad (15/11) malam, Prancis menyerbu Raqqa, daerah dalam penguasaan ISIS. Raqqa dianggap sebagai ibu kota daerah kekuasaan ISIS. Ini penyerangan terhebat Prancis sejauh ini. Operasi ini dalam koordinasi bersama Amerika dan Prancis (Guardian, 16/11).

Prancis menggunakan 10 pesawat tempur. Dua puluh bom ditembakkan. Mereka menyerang lokasi rekrutmen ISIS, depot amunisi, dan kamp pelatihan serdadu ISIS. Sumber militer yang dikutip Associated Press menyebutkan, penyerangan ini sangat masif dan menghancurkan dua markas ISIS. Prancis punya pembenaran untuk melumatkan ISIS karena bom Paris dan video pengakuan itu.

Belum lagi efek domino lainnya. Teror Paris ini menyudutkan Muslim sedunia. Muslim merasa tertekan karena penyerangan itu. Rasa tertekan ini menyebabkan sebagian mereka menjauhi ISIS. Kampanye "Not in My Name" bahkan sudah marak di media sosial. Kampanye ini menolak cara ISIS berjuang. Kampanye ini untuk menunjukkan bahwa mereka secara ideologi bercerai dengan ISIS.

Dahulu di Indonesia lumayan banyak akun media sosial yang menunjukkan dukungan pada ISIS. Sekarang, di beberapa kawasan perumahan ada poster yang menolak ISIS. Asumsinya, di daerah sekitar poster diketahui ada pendukung ISIS sehingga ada yang merasa perlu menunjukkan lokasi perumahan mereka tidak mendukung ISIS melalui poster itu.

Teror-teror yang tampak sebagai bagian dari cara ISIS berjuang menurunkan kepercayaan Muslim pada ISIS. ISIS makin teralienasi dari komunitas Muslim dunia. Bagi ISIS ini berbahaya karena mereka menyandarkan diri dari "pasokan" mujahidin dari berbagai belahan dunia yang terpanggil secara ideologis untuk mendukung "khalifah".

Jika pengungsi Suriah—seperti yang diisyaratkan oleh penemuan paspor Suriah di dekat badan pelaku bom bunuh diri itu—tidak mendapatkan keuntungan dari teror Paris, jika ISIS seperti akun video tidak mendapat keuntungan dari teror Paris, siapa pelaku teror ini sebenarnya?

Ada alternatif lain. Jika ISIS yang beroperasi sekarang masih merupakan perpanjangan tangan CIA dan Mossad seperti yang diisyaratkan Hillary Clinton dalam wawancaranya dengan CNN dan Fox News dan seperti yang diyakini Noam Chomsky, maka pemaknaan apa yang bisa diambil dari peristiwa ini? Mengapa Prancis dan Amerika mengebom orang yang puluhan tahun lalu mereka latih dan danai untuk melawan Uni Soviet?

Di sini mungkin analisis lain muncul. Salah satu karakter ISIS yang mengkhawatirkan adalah sifat fluidity gerakannya. Sifat berubah dengan cepat dan tidak terkontrol. Awalnya, pembentukan ISIS bisa jadi hasil desain CIA dan Mossad. Namun, seiring dengan membanjirnya pengagum dan pengikut ISIS dari berbagai belahan dunia, kontrol CIA dan Mossad bisa jadi tidak sekuat yang lalu.

Jika saat ini ISIS tidak bisa dikendalikan, sedangkan mereka menguasai pipa minyak tempat minyak Suriah dan Irak mengalir dan menghasilkan Rp 700 miliar per bulan, tentu keberadaan ISIS jadi mengkhawatirkan. Sebagian tentu akan meragukan tangan tak terlihat CIA dan Mossad ini.

Namanya saja operasi intelijen, jika faktanya terang benderang tentu operasi gagal namanya. Kembalikan lagi saja pada siapa yang menuai untung dari kekacauan ini. Jangan lupa, Desember tahun lalu, Prancis mengakui Palestina sebagai negara. Agak terlambat, memang. Pengakuan ini membuat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar