Minggu, 22 November 2015

Teror Paris, Teror Global

Teror Paris, Teror Global

Husein Ja'far Al Hadar  ;  Pendiri Cultural Islamic Academy Jakarta
                                               KORAN TEMPO, 17 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Serangan teror di Paris, Prancis, baru-baru ini, telah mengguncang dunia. Sejumlah teror lain juga pernah menyergap negeri itu, termasuk teror di kantor Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015 yang menewaskan 12 jurnalis. Namun teror kali ini menjadi yang paling mengerikan sejak Perang Dunia II. Presiden Prancis Francois Hollande berjanji tak akan memberi ampun kepada jaringan pelakunya. Bahkan media-media Prancis dan Eropa menyebutnya sebagai "perang". Apa yang perlu menjadi catatan atas insiden ini?

Pertama, terorisme (dengan induk organisasi terpopulernya kini adalah ISIS, sebelumnya Al-Qaidah dan Taliban) adalah masalah global, bukan lagi problem regional Timur Tengah. Negara-negara dunia dan masyarakat global bukan lagi hanya harus bersatu melihat terorisme sebagai ancaman bagi Timur Tengah, melainkan bagi seluruh negara di dunia. Kita harus membangun solidaritas untuk dunia, bukan lagi Timur Tengah dengan segala konsekuensi berupa eskalasi kewaspadaan, pola pandang, strategi, dan penanggulangannya.

Kedua, pemberantasan terorisme (ISIS khususnya) harus dilakukan bersama secara utuh dari tingkat paradigma. Sebab, akar masalah terorisme ini cenderung ideologis, yakni paradigma (keberislaman) yang menyimpang atau disimpangkan: alergi Barat dengan stigma kafir dan anti-perbedaan dalam internal Islam dengan stigma sesat. Tak tanggung-tanggung, semua paradigma teror itu pun selalu dilandaskan pada hujjah dari Al-Quran maupun hadis yang mereka pahami secara harfiah dan tak kontekstual, ditafsirkan secara subyektif, atau memilih hujjah yang telah dinilai dhoif (palsu) atau lemah oleh para ulama Islam.

Syeikh Hasan bin Farhan al-Maliky, misalnya, menyebutkan terorisme ala ISIS saat ini cenderung tenggelam dalam lautan keutamaan jihad, sementara mereka tak memahami sedikit pun tentang prinsip-prinsip jihad paling dasar dalam Islam.

Oleh karena itu, strategi dan upaya pemberantasannya tak bisa hanya dengan "penyerangan" sepihak oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu NATO-nya atau Rusia dengan sekutu Timur Tengahnya, melainkan dengan "penanggulangan" paradigmatis, khususnya melalui strategi deradikalisasi.

Ketiga, AS dan sekutu NATO-nya, juga Rusia, harus merangkul negara Islam moderat secara tulus dan obyektif untuk menjadi mitra strategis dalam upaya penanggulangannya. Lantaran terorisme selama ini cenderung menjadi fenomena dalam "Islam" dan akar masalahnya ada pada paradigma keberislaman yang menyimpang atau disimpangkan, sudah seharusnya penanggulangannya melibatkan kemitraan strategis bersama negara maupun elemen Islam moderat yang tahu mengenai solusi tepat penanggulangannya.

Tanpa itu, dunia akan terus diwarnai terorisme atas nama agama dengan beragam modus, motif, gerakan, dan organisasinya dari waktu ke waktu. Apalagi, faktanya, sebagaimana ditulis John L. Esposito dalam The Future of Islam, sebuah acara televisi di AS pada 2005 yang dipandu John Stewart memperlihatkan bagaimana para pejabat tinggi FBI tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan mendasar mengenai apa itu Islam. Bahkan bukan hanya mengakui ketidaktahuannya, lebih buruk lagi, mereka sejak awal melepaskan keingintahuan untuk tahu tentang Islam. Lebih jauh, John Stein, redaktur keamanan nasional untuk Congressional Quarterly di Washington, mengungkapkan, "Sebagian besar pejabat AS (bukan hanya anggota Kongres, tapi juga intelijen dan penegak hukum AS) yang telah saya wawancarai tidak mengetahui apa-apa tentang Islam secara mendasar."

Kini, dampak yang akan datang akibat teror di Paris itu tak kalah mengerikan. Pertama, teror itu dikhawatirkan akan menarik mundur relasi Barat dan dunia Islam yang hampir satu setengah dekade telah diupayakan kembali membaik setelah tragedi 11 September. Termasuk dengan meningkatnya kembali Islamophobia di kalangan masyarakat Eropa. Kedua, teror itu dikhawatirkan akan mengacaukan relasi dan kebijakan pemerintah Prancis terhadap warga imigran Islam yang memang banyak di sana, termasuk pengungsi muslim Suriah yang baru-baru ini datang ke sana.

Karena itu, kini kita semua berharap insiden di Paris dilihat secara utuh, jernih, dan obyektif sebagai kejahatan menjijikkan yang patut dikutuk bersama, tanpa bias dan sentimen apa pun. Jika tidak, bisa jadi teror itu tak akan hanya meluluhlantakkan Paris, tapi juga meluluhlantakkan keharmonisan dan kedamaian masyarakat global. Dan, jika itu terjadi, justru tujuan utama teror itu tercapai: memproduksi kebencian dan menebar sentimen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar