Kamis, 19 November 2015

Tragedi Paris, Islam, dan Barat

Tragedi Paris, Islam, dan Barat

Ibnu Burdah  ;  Pemerhati Masalah Timteng dan Dunia Islam;
Dosen Fak Adab UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
                                                  REPUBLIKA, 16 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di tengah-tengah upaya Eropa menangani pengungsi dari Timur Tengah, Paris diguncang aksi kekerasan yang mengerikan (13/11). Celakanya, sebagian besar pelaku diyakini berasal dari Timur Tengah.

Salah satu implikasi dari tragedi Paris adalah menguatnya sentimen negatif warga Prancis khususnya dan Eropa pada umumnya terhadap Muslim, Arab, dan Islam. Pandangan kelompok ultranasionalis yang anti-Muslim memperoleh momentum. Menurut salah satu narasumber Al-Jazeera dalam acara Ma Wara al-Khabar, retorika anti-Muslim menguat drastis di media-media sosial di Prancis dua hari terakhir. Bahkan, respons sebagian kalangan mengarah pada tindakan-tindakan keras terhadap lembaga-lembaga keislaman.

Tak sedikit warga Prancis beretorika bahwa seolah-olah warga Muslim di sana bukan lagi sebagai warga Prancis. Padahal, mereka sudah berasimilasi dan menjadi warga negara negeri itu secara turun-temurun. Dan tak sedikit dari mereka memberikan kontribusi penting bagi negeri itu di berbagai bidang. Tema hubungan Barat dan Islam pascatragedi Paris ini menjadi isu yang kembali krusial.

Hubungan Islam dan Barat telah berlangsung dalam waktu yang panjang, namun hingga kini belum mampu menciptakan kebersamaan yang sungguh-sungguh, tulus, dan produktif. Sebaliknya, saling kebencian masih menghinggapi sebagian masyarakat Barat dan dunia Islam. Tragedi 11 September dan rangkaian tragedi Paris ini bagaimanapun merupakan potret kebencian luar biasa sebagian kecil umat Islam terhadap Barat. Umat Islam yang memiliki sikap dan pandangan sebagaimana pelaku barangkali sangat sedikit. Tetapi, tindakan mereka telah cukup menodai seluruh umat Islam.

Sebaliknya juga demikian. Kebencian Barat terhadap Islam tampaknya masih terpelihara. Pelarangan pemakaian jilbab tertentu, film penghinaan terhadap Nabi, pembakaran mushaf Alquran, hingga pembantaian rasial yang berulang kali terjadi menunjukkan sebagian orang Barat juga memendam kebencian amat dalam kepada orang lain, termasuk kepada umat Islam.

Ketidak-fair-an timbal balik

Hubungan Barat-Islam selama ini juga diwarnai oleh ketidak-fair-an secara timbal balik. Barat yang saat ini berada di depan mengklaim bahwa apa yang dicapainya selama ini murni hasil peradaban Barat, tidak terkait dan tidak ada andil dari orang lain. Mulai dari bidang-bidang ilmu pengetahuan, hasil-hasil teknologi, hingga nilai-nilai humanitarian yang tengah menggenangi dunia saat ini, didaku sepenuhnya. Jika kita mencoba sedikit saja mencari tahu mengenai sejarah bidang-bidang pengetahuan atau teknologi versi Barat dan sekarang banyak kita ikuti, selalu bertitik tolak dari Yunani Kuno yang kemudian melompat begitu saja ke masa modern.

Sejarah versi mereka menggambarkan seolah-olah dunia ini sunyi senyap dalam waktu lebih dari satu milinium. Padahal, pada masa itu sejarah umat Islam sedang menjulang dengan mengkreasikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan baru dan berbagai hasil peradaban. Bagaimana kemegahan, iklim akademik, dan tumbuhnya nilai-nilai kosmopolit di Baghdad, Andalusia, Cordova, Kairo, hingga Istanbul sama sekali terhapus dari sejarah versi Barat. Padahal, mereka pada awalnya "menyusu" dari peradaban di kota-kota ini.

Sikap tidak mengakui bahkan membuang peran orang lain adalah tindakan yang tercela. Ibarat seorang ilmuwan, maka ia telah melakukan plagiarisme yang menjiplak tanpa menyebut sumbernya dan dengan angkuh menyebutnya sebagai gagasannya sendiri. Ibarat anak, ia adalah anak durhaka. Celakanya, sikap itu tampaknya merupakan mainstream di dunia Barat, bahkan di kalangan para ilmuwannya. Lahirnya orang-orang semacam Karen Armstrong di Eropa atau John L Esposito di AS yang relatif lebih fair memandang umat Islam dan warisannya merupakan harapan bagi masa depan hubungan Barat-Islam. Tetapi, harus diakui keduanya masih anomali bagi masyarakat Barat sekarang.

Sikap dan pandangan sebagian umat Islam sekarang juga setali tiga uang. Di satu sisi, mereka mencaci maki habis Barat, memusuhi, bahkan berupaya menghancurkannya, bahkan tidak sedikit yang menggunakan cara-cara sadis untuk mencapai tujuan itu. Barat bukan hanya dituding selalu berupaya melakukan penghancuran sistematis dan terencana dalam skala besar terhadap umat Islam, melainkan juga melakukan penetrasi konspiratif ke dalam setiap relung kecil kehidupan setiap umat Islam.

Barat bukan hanya dituding berada di balik tragedi dunia Islam di Bosnia, Afghanistan, Pakistan, Irak, Bahrain, Libya, bahkan kelaparan di Tanduk Afrika, namun juga dianggap telah meracuni secara sengaja setiap generasi Muslim dengan berbagai cara. Bruinessen dalam penelitiannya di Bima pernah menemukan pandangan yang sulit dimengerti dari sebagian umat Islam di sana bahwa salah satu bentuk konspirasi Barat dan Yahudi terhadap Islam adalah penyebaran kaset-kaset Alquran. Menurut mereka, Barat dan Yahudi sengaja menyebarkan kaset-kaset itu untuk menjauhkan umat Islam dari para tuan guru atau ustaznya.

Pada sisi lain, hampir seluruh umat Islam menikmati hasil-hasil peradaban yang dikembangkan Barat saat ini, baik ilmu pengetahuan, hasil-hasil teknologi, seni, maupun sebagian nilai-nilai. Hampir di segala bidang ilmu dan teknologi modern, umat Islam sekarang bukanlah penemu atau "penciptanya", sebagian memang berupaya mempelajari dan mengembangkannya, namun sebagian besar hanya mengonsumsinya. Bahkan, tidak jarang mereka menggunakannya secara "ilegal" seperti tidak memenuhi kewajiban hak cipta atau hak meng-copy-nya. Sikap semacam itu jelas tidak fair dan tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.

Kesatuan kemanusiaan

Sebagai seorang Muslim biasa (bukan ilmuwan, tokoh, atau aktivis), penulis berpendapat bahwa perbaikan seharusnya dimulai dari diri sendiri, dari pandangan dan sikap umat Islam sendiri. Pengakuan umat Islam bahwa mereka sekarang jauh tertinggal dari Barat dan tidak lagi memegang supremasi dalam berbagai bidang sebagaimana masa lalu jauh lebih penting daripada mencaci maki dan menebar benci. Kita tidak berdosa mengucapkan selamat kepada Barat atas capaian-capaiannya saat ini, bahkan umat Islam secara fair pantas berterima kasih kepada mereka. Sebab, umat Islam juga banyak memanfaatkan temuan mereka sekaligus berterima kasih atas "kesediaan" mereka melanjutkan sebagian capaian-capaian umat Islam di masa kejayaannya. Pengakuan yang tulus tanpa mengurangi sikap kritis terhadap residu-residu peradaban Barat inilah yang justru akan menciptakan pandangan dan sikap yang fair dan produktif dalam mendorong umat Islam keluar dari berbagai ketertinggalan.

Di sisi lain, Barat idealnya juga mengembangkan sikap yang fair, adil, tidak eksploitatif, dan menindas. Bagaimanapun mereka tidak akan mencapai "kematangan" peradaban (bidang ilmu dan teknologi) seperti sekarang jika tidak didahului oleh peradaban-peradaban yang lain, seperti peradaban Cina, India, Mesir, Babilonia, Baghdad, Cordova, Andalusia, Yunani, Persia, dan lainnya. Peran peradaban Islam dalam hal ini tidak bisa diremehkan. Tak satu pun berhak mengklaim peradaban maju manusia saat ini sebagai miliknya sendiri. Semua hasil peradaban adalah simbol kesatuan umat manusia (al-wahdah al-insaniyyah), bukan umat Islam dan Barat saja, namun juga seluruh manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar