Rabu, 25 November 2015

Tunduk ”Kepentingan” Freeport

Tunduk ”Kepentingan” Freeport

Effnu Subiyanto  ;  Advisor CikalAFA-umbrella; Direktur Koridor;
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair Surabaya
                                                    JAWA POS, 21 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MASALAH Freeport makin simpang siur tidak keruan. Anekdot ”papa minta saham” sudah menjadi perbincangan publik dan rangkaian kepentingan orang kuat ternyata semakin gambling.

Bulan lalu konflik tersebut mulai muncul dengan insiden salah paham berpikir presiden dan menterinya yang tidak sejalan. Menteri ESDM melaporkan perkembangan masalah Freeport berjalan sesuai rencana, namun nyatanya berbeda sama sekali dan hasilnya mengagetkan.

Ironisnya, pihak Freeport menyatakan bahwa masalah divestasi belum jelas karena menunggu perubahan PP 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba dan untuk itu due date divestasi 14 Oktober lalu tidak diketahui dan tidak diakui Freeport.

Malah Freeport mengajukan opsi berbeda dengan merencanakan berinvestasi tambang emas senilai USD 18 miliar (Rp 252 triliun) dan menjadikan bahasan renegosiasi kontrak serta divestasi kabur.

Di pihak lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergeming bahwa Freeport hanya diperbolehkan melakukan diskusi perpanjangan kontrak karya pada 2019. Artinya, lampu hijau dari Kementerian ESDM mengenai perpanjangan kontrak sampai 2041 benar-benar belum selesai. Jangankan masalah perpanjangan kontrak karya, soal divestasi pun kini tidak jelas juga.

Ini tentu saja preseden buruk bagi negara dan menimbulkan citra negatif pemerintah bahwa terjadi miskomunikasi dua pihak. Presiden Jokowi malah mengajukan lima syarat kepada Freeport jika akan memperpanjang kontrak konsesi di Papua sampai 2041. Syarat-syarat tersebut adalah keterlibatan Freeport membangun Papua, meningkatkan konten lokal, kejelasan royalti, keharusan membangun smelter, dan kemauan melakukan divestasi 10,64 persen.

Transaksional

Perundingan renegosiasi kontrak karya dan divestasi Freeport sebetulnya sangat aneh dan tidak terhindarkan bernuansa transaksional. Tahun lalu disebutkan, renegosiasi dengan Freeport telah selesai, namun ternyata masih alot.

Kementerian ESDM ketika itu melaporkan bahwa telah ada kesepakatan enam poin MoU yang meliputi luasan wilayah, royalti, pembangunan smelter, divestasi, penguatan produk lokal, dan status kontrak tambang. Namun, bahasan tersebut masih hangat hingga sekarang dan itu mengindikasikan bahwa kinerja Kementerian ESDM belum selesai.

Soal divestasi pun masih tanda tanya besar. Awal mula perundingan berdasar Undang-Undang (UU) Minerba dan PP 24/2012, minimal divestasi adalah 51 persen. Belakangan porsi divestasi menurun menjadi 30 persen. Kemudian menurun lagi jadi 20 persen dan akhirnya justru 10,64 persen yang diributkan sekarang.

Uniknya, Freeport menjanjikan sejumlah besar uang untuk mengalihkan perhatian. Belum lama ini Freeport menjanjikan USD 18 miliar dalam bentuk investasi baru untuk penambangan emas.

Berikutnya, disiapkan dana belanja modal dalam bentuk capex, disebut-sebut jumbo senilai USD 1 miliar per tahun atau sekitar Rp 14 triliun dalam bentuk barang dan USD 900 juta (Rp 12,6 triliun) dalam bentuk jasa.

Rencana investasi Freeport, jika mendapatkan izin usaha penambangan khusus (IUPK), malah USD 17,3 miliar. Terdiri atas USD 15 miliar untuk tambang bawah tanah dan USD 2,3 miliar untuk membangun fasilitas pengolahan dan smelter.
Gelimang dolar AS yang sebetulnya untuk operasi Freeport sendiri itu untuk kompensasi karena KKnya akan berakhir 2021. Jika dapat perpanjangan sampai 2041, sebagai kompensasi sudah disiapkan dana USD 7,1 miliar. Freeport akan menambang lebih dalam lagi tambang bawah tanah DOZ, DEPP MLZ, dan Kucing Liar dengan dana total yang dicadangkan lebih besar lagi: USD 16,9 miliar hingga 2041. Penambahan kedalaman tambang hingga 3.000 meter dan menjadi terdalam di seluruh dunia.

Strategi random Freeport itu terbukti menggoyahkan pendirian Kementerian ESDM dan bahasannya menjadi kian kabur serta jauh dari substansi yang dituntut rakyat Indonesia. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa bernegosiasi dengan Freeport memang godaan besar karena berurusan dengan angka kapital raksasa dengan dukungan all-out politik pemerintah AS.

Yurisprudensi Newmont

Menyikapi peliknya soal divestasi Freeport tersebut, menteri ESDM seharusnya bersikap sesuai dengan amanat UU. Kesulitan seharusnya tidak dibuat sekarang jika belajar dari masalah peliknya divestasi Newmont Nusa Tenggara (NNT) pada Juli 2012.

Saat itu pemerintah mendapatkan pil pahit karena MK menolak pembelian 7 persen saham NNT akibat rumitnya sinkronisasi UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara oleh BPK, serta amandemen UUD 1945.

Kini saham alokasi divestasi 7 persen kian tidak jelas dan menjadi bahasan yang berlarut-larut. Kesempatan pemerintah untuk mendapatkan keuntungan hilang selama tiga tahun ini dan penulis yakin juga ada nuansa transaksional dalam hal ini.

Persoalan divestasi Freeport ini harus dikembalikan ke rel yang ada, yakni menurut UU. Pihak Freeport tentu tidak relevan memberikan pernyataan menunggu revisi PP 77/2014. Sebab, berdasar yurisprudensi NNT, masalah divestasi adalah hak pemerintah. Bukan kapasitas Freeport memilih IPO atau skema lain. Pemerintah harus tegas dan waktu berpikir itu 90 hari sejak 14 Oktober 2015 untuk memberikan respons atau melakukan penawaran divestasi senilai kurang lebih USD 2 miliar itu.

Freeport di pihak lain harus kooperatif dengan Indonesia karena kesempatan beroperasi sejak 1967 sampai sekarang nyatanya membawa keuntungan luar biasa bagi korporasi asal AS tersebut.

Persoalan divestasi itu kian rumit karena ada interes yang dengan mudah bisa dikenali antara Kementerian ESDM dan Freeport. Tidak dapat disangkal lagi, Kementerian ESDM bertindak ultra petita yang melampaui kewenangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar