Kamis, 31 Desember 2015

Kontrak Karya Freeport

Kontrak Karya Freeport

  Hikmahanto Juwana  ;  Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
                                                      KOMPAS, 31 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat memberi keterangan di depan Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan bahwa siapa pun pemerintahnya akan menghadapi dilema terkait kontrak karya PT Freeport Indonesia yang ujungnya mau tidak mau harus memberikan perpanjangan kontrak kepada PT Freeport Indonesia.

Alasannya, menurut Sudirman, ada pasal dalam kontrak karya Freeport yang menentukan Freeport berhak meminta perpanjangan kontrak kapan saja selama masa kontrak. Kemudian, apabila tidak ada hal yang luar biasa, pemerintah tidak bisa menunda pemenuhan permintaan perpanjangan tersebut.

”Lex specialis”

Dilema yang disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral benar apabila kontrak karya Freeport dianggap sebagai lex specialis. Dalam ilmu hukum memang ada doktrin yang mengatakan bahwa ketentuan yang khusus akan mengesampingkan ketentuan yang umum (lex specialis derogat legi generali). Sejak lama kontrak karya Freeport dianggap sebagai lex specialis dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Padahal, ini suatu hal yang keliru.

Lex specialis derogat legi generali mendasarkan pada produk hukum yang sejenis, semisal undang-undang yang khusus akan mengesampingkan undang-undang yang umum. Namun, ini tidak berlaku bagi perjanjian yang merupakan produk hukum yang berbeda jenis dengan peraturan perundang-undangan.

Jika perjanjian antarsubyek hukum perdata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak bisa diberlakukan lex specialis derogat legi generali. Ketentuan yang berlaku adalah Pasal 1320 dan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Pasal 1320 yang menentukan syarat sahnya suatu perjanjian menyebutkan ada empat elemen yang harus dipenuhi, yaitu kesepakatan, kecakapan, hal tertentu, dan kausa/alasan yang halal. Terkait kausa yang halal dijelaskan secara negatif dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu ”Suatu sebab adalah terlarang jika sebab itu bertentangan dengan undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.

Lalu, mengapa kontrak karya Freeport dahulu dianggap sebagai lex specialis?

Diduga ini merupakan keinginan dari Freeport McMoRan terhadap Pemerintah Indonesia yang saat itu memiliki posisi tawar lemah. Freeport McMoRan sebagai investor tidak ingin mendapat gangguan dari pemerintah sebagai regulator dalam masa kontrak karya. Bentuk gangguan tersebut berupa penerbitan berbagai peraturan perudang-undangan yang bisa berdampak negatif bagi Freeport McMoRan.

Ini dilakukan karena kecenderungan pemerintah di negara berkembang kerap menerbitkan peraturan perundang-undangan sesuka hati yang memunculkan ketidakpastian.

Dalam konteks demikian, tidak heran jika dalam kontrak karya diatur ketentuan mengenai perpajakan yang diberlakukan secara nail down. Maksud nail down adalah terhadap kontrak karya berlaku ketentuan perpajakan pada saat kontrak karya ditandatangani. Ketentuan perpajakan tersebut akan berlaku terus dan tidak berubah hingga jangka waktu berakhirnya kontrak karya. Ini terlepas ketentuan perpajakan tersebut telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Dasar untuk memberlakukan kontrak karya sebagai lex specialis terhadap undang-undang adalah baik kontrak karya maupun undang-undang disiapkan oleh pemerintah yang selanjutnya mendapat persetujuan dari DPR.

Argumentasi ini mengandung kelemahan. Pertama, meski disiapkan oleh pemerintah dan disetujui oleh DPR, keduanya secara hukum merupakan dua jenis produk hukum yang berbeda, yaitu perjanjian dan undang-undang. Kedua, pada waktu Freeport mendapatkan kontrak karya baru pada 1991, proses persetujuan tidak melibatkan DPR.

Dua topi

Kontrak karya tidak seharusnya dijadikan alat untuk mengungkung atau membatasi pelaksanaan kedaulatan negara Republik Indonesia. Secara teoretis ini sesuatu yang tidak tepat dan menyesatkan. Dalam memahami keberadaan kontrak karya, Pemerintah Indonesia memiliki dua topi. Topi pertama sebagai subyek hukum publik dan topi kedua sebagai subyek hukum perdata.

Sebagai subyek hukum publik, pemerintah adalah regulator yang dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Regulator berada di atas rakyat dan pelaku usaha. Pemerintah sebagai regulator ketika mengeluarkan peraturan perundang-undangan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari rakyat secara individual. Pemerintah dapat secara sepihak mengeluarkannya.

Fiksi hukum yang berlaku adalah ketika telah diundangkan, semua orang dianggap tahu. Kalaupun rakyat merasa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara sepihak tersebut merugikan, mereka dapat mengajukan uji materi. Ini berbeda konsep dengan perjanjian. Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian akan belaku sebagai hukum hanya bagi para pihak yang membuatnya.

Secara fundamental perjanjian mensyaratkan kesejajaran atau kesetaraan. Artinya, pemerintah ketika membuat perjanjian tidak lagi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pelaku usaha.

Pemerintah bisa menjadi subyek hukum perdata berupa badan hukum. Ini ditentukan dalam Pasal 1653 KUH Perdata yang mengualifikasi pemerintah sebagai ’badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum’. Pemerintah menjadi badan hukum saat membuat perjanjian untuk melakukan pengadaan barang dan jasa. Demikian juga ketika pemerintah membuat kontrak karya dengan kontraktor, termasuk Freeport, pemerintah berada dalam kedudukannya sebagai subyek hukum perdata, tidak dalam kedudukan sebagai subyek hukum publik.

Sementara ketika pemerintah membuat aturan perpajakan yang dituangkan dalam undang-undang berikut peraturan pelaksanaannya atau Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) berikut peraturan pelaksanaannya, pemerintah berkedudukan sebagai subyek hukum publik.

Pemerintah sebagai subyek hukum perdata yang mengikatkan diri dengan Freeport tidak boleh membuat ketentuan yang bertentangan dengan pemerintah sebagai regulator. Jika bertentangan dan tidak diamandemen, konsekuensinya batal demi hukum. Dasarnya adalah Pasal 1337 dan Pasal 1320 KUHPerdata.

Atas dasar uraian di atas, tidaklah tepat jika pemerintah sebagai subyek hukum perdata tidak dibedakan dengan pemerintah dalam kedudukannya sebagai subyek hukum publik. Jika tidak dilakukan pembedaan, terjadilah kekeliruan pemahaman seolah kewenangan pemerintah sebagai regulator dikungkung atau dibatasi dengan sebuah perjanjian.

Sebaliknya, pemerintah pun tidak boleh menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) sebagai subyek hukum publik untuk melepaskan jeratan dalam perjanjian di mana pemerintah berkedudukan sebagai subyek hukum perdata.

Ini yang hampir terjadi ketika berlangsung pembahasan Undang-Undang Minerba. Saat itu, DPR ingin memanfaatkan pemerintah sebagai regulator untuk mengakhiri semua kontrak karya. Beruntung pemerintah tidak menyetujui keinginan DPR karena konsekuensinya bisa fatal jika diajukan ke International Centre for Settlement of Investment Disputes.

Perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR ini memunculkan kompromi. Kompromi tecermin dalam Pasal 169 Undang-Undang Minerba. Pasal tersebut berisi tiga ayat. Pasal 169 Ayat (a) menyebutkan bahwa kontrak karya akan tetap dihormati sampai berakhirnya kontrak. Hanya, dalam Pasal 169 Ayat (b), kontrak karya harus menyesuaikan dengan Undang-Undang Minerba dalam jangka waktu satu tahun. Di sinilah yang memunculkan ide renegosiasi kontrak karya.

Sementara Pasal 169 Ayat (c) menentukan dalam hal penerimaan negara, negara akan mendapatkan yang paling besar. Maksudnya, apabila berdasarkan kontrak karya negara mendapatkan penerimaan lebih besar dibandingkan aturan perpajakan yang berlaku, kontrak karya yang berlaku. Namun sebaliknya jika aturan perpajakan lebih besar.

Bisa diakhiri

Kontrak karya Freeport bisa diakhiri saat berakhir pada 2021. Ini merupakan ketentuan yang berlaku dalam Pasal 169 Ayat (a) Undang-Undang Minerba. Undang-Undang Minerba sebagai produk hukum pemerintah sebagai subyek hukum publik tidak mungkin dilawan dengan kontrak karya yang merupakan perjanjian meski salah satu pihaknya adalah pemerintah.

Kalaulah ada ketentuan dalam kontrak karya yang menyatakan Freeport berhak meminta perpanjangan kapan saja selama masa kontrak ini, tidak berarti pemerintah sebagai subyek hukum perdata harus menyetujuinya.

Sementara kata-kata ”Apabila tidak ada hal yang luar biasa, pemerintah tidak bisa menunda pemenuhan dari permintaan perpanjangan tersebut” tidak berarti mengharuskan pemerintah memperpanjang. Kalimat tersebut harus dibaca secara cermat, terutama kata-kata ”Apabila tidak ada hal yang luar biasa”.

Apa yang menjadi hal yang luar biasa? Hal yang luar biasa adalah jika mayoritas rakyat Indonesia tidak menghendaki kontrak karya diperpanjang oleh pemerintah.

Dalam alam demokrasi sekarang, tidak bisa lagi pemerintah menentukan apa yang baik untuk rakyat. Rakyat sendirilah yang menentukan apa yang baik, sementara pemerintah harus menjalankan apa yang menjadi kehendak rakyat.

Singkatnya, jangan sampai Indonesia di era digital sekarang masih harus dipaksa menggunakan cara berpikir masa VOC. Freeport bukan VOC dan tidak seharusnya cara-cara VOC digunakan.

Revolusi Mental

Revolusi Mental

  Franz Magnis-Suseno  ;  Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta
                                                      KOMPAS, 31 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menyongsong tahun baru, kita boleh bertanya: di mana revolusi mental yang sudah hampir dua tahun lalu dicetuskan?  Bahwa kita memerlukan suatu revolusi mental untuk keluar dari rawa mediokritas, kemalasan intelektual, kecengengan emosional, kedangkalan spiritual, kebrutalan dogmatisme, dan dari belenggu-belenggu prasangka dan kecurigaan yang menyandera bangsa sulit disangkal. Namun, di antara tantangan-tantangan yang kita hadapi, ada tiga yang menurut penulis ini harus kita hadapi.

Budaya kekerasan

Masyarakat kita penuh kekerasan. Senggol sedikit berantem. Tawuran, lawan yang sudah telentang di tanah malah dibacok. Pencuri dikeroyok. Pertemuan yang tak disukai dibubarkan oleh preman-preman yang membawa pentung. Beribadat ”keliru”, awas lu! Fans klub bola saingan diserang dengan pisau. Umat ”aliran sesat” ramai-ramai diuber-uber dan dibunuh. Polisi dalam pemeriksaan secara rutin menyiksa orang. Selama 70 tahun sejarah Indonesia merdeka juga ditulis dengan darah, ditumpahkan oleh bangsa sendiri.

Lalu, yang paling memalukan, juga paling mengkhawatirkan: kekerasan atas nama agama. Memalukan karena dalam agama mutlak tak boleh ada paksaan. Mengkhawatirkan karena paksaan dalam agama berarti orang beragama itu sudah kemasukan setan.

Memakai kekerasan berarti tidak beradab. Beradab—kita boleh ingat sila kedua Pancasila—adalah bottom line, batas paling bawah pembawaan diri secara manusiawi. Orang yang terlibat kekerasan adalah orang yang belum beradab.

Mari kita bertanya: apa kita mau terus mengizinkan membawa diri secara tidak beradab? Bukankah sudah saatnya kita sepakat bersama bahwa kita memecahkan masalah antarkita tanpa kekerasan, selalu, secara prinsip? Demi harga diri kita sendiri sebagai bangsa yang beradab.

Bebas rasa takut

Ada yang betul-betul menyedihkan. Di antara kita masih ada orang-orang yang hidup dalam ketakutan. Mereka dibayangi ketakutan karena keyakinan religius dan ibadat mereka tidak disetujui orang lain!

Masa di negara Pancasila masih ada orang yang hidup dalam ketakutan karena keyakinan religiusnya? Bukankah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, konstitusi kita, menegaskan sebagai komitmen suci bahwa negara ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”?

Bahwa di antara kita ada yang harus merasa takut karena keyakinan religius adalah amat memalukan bagi kita semua. Memang sangat memalukan kalau agama menakutkan dan mengancam. Orang beragama yang mengancam sudah kerasukan setan kesombongan dan kekerasan hati.

Mari kita mulai dengan revolusi mental. Revolusi dari kepicikan, rasa iri hati, kecurigaan, kesombongan, dan kekerasan hati ke sikap-sikap yang melindungi, membaiki, mengamankan. Para tokoh agama yang ditantang di sini: ditantang menunjukkan di mana mereka berdiri. Kita mesti menyepakati bahwa mulai sekarang tak perlu ada orang atau kelompok orang yang takut karena mereka mengabdi kepada Tuhan sesuai dengan apa yang mereka yakini.

Korupsi

Namun, ancaman terbesar terhadap integritas—ya, jati diri bangsa—adalah korupsi. Sebab, korupsi menggerogoti substansi etis bangsa. Orang korup tidak bisa membedakan lagi antara yang etis dan yang tidak etis. Bangsa yang tidak lagi tahu apa itu jujur mesti hancur.

Di bulan-bulan lalu, kelas politik memberi tontonan kepada seluruh bangsa yang teramat memalukan. Berhadapan dengan kelakuan yang terang-terang koruptif, mereka—daripada langsung mengutuknya—sepertinya sama sekali tidak menyadari kebusukannya dan langsung masuk ke business as usual, tawar-menawar, ancam-mengancam (misalnya pelapor), dan ”peduli amat yang dipikirkan masyarakat”. Saya setuju dengan pernyataan seorang sahabat bahwa sikap mereka tak lain merupakan suatu pengkhianatan.

Di alam budaya korup, kompetensi tidak bernilai. Yang mendapat proyek bukan yang kompeten, melainkan yang membayar lebih banyak. Pengaruh sikap itu terhadap masyarakat adalah mengerikan. Misalnya saja, seluruh dunia perguruan tinggi akan terpengaruh: mahasiswa tidak akan mencari kompetensi melalui studi serius, melainkan koneksi sebagai batu loncatan suatu karier yang menguntungkan. Menguaplah harkat intelektual bangsa.

Masyarakat sudah makin tidak percaya pada kelas politik. Usaha selama tahun lalu untuk mengebiri pemberantasan korupsi, persepsi luas bahwa keputusan pengadilan bisa dibeli, pendapat umum bahwa polisi adalah lembaga paling korup—jadi kriminal!—di negara kita, itu pun dengan impunity, mengancam kepercayaan masyarakat ke dalam kenegaraan kita yang berdasarkan Pancasila. Kita jangan heran kalau makin banyak orang muda muak dengan segala macam Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI, empat pilar, dan lain-lain. Lalu, mereka mencari sesuatu yang sama sekali baru, dan mengerikan, dalam ideologi-ideologi ekstremis dari luar, baik agamais maupun sekuler.

Sudah waktunya kita akhiri toleransi terhadap korupsi. Kelas politik harus merasakan bahwa kesabaran kita sudah habis. Masih ada harapan. Masih ada wakil rakyat dan pemimpin politik yang tidak mau korup, yang meyakini cita-cita bangsa. Sekarang waktunya untuk mulai. Revolusi mental jangan kita tunda terus.

Reformasi Birokrasi Melalui ASN

Reformasi Birokrasi Melalui ASN

  Miftah Thoha  ;  Guru Besar (ret) UGM; Salah Satu Penyusun UU ASN
                                                      KOMPAS, 31 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pertengahan Desember 2013 Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang dirancang oleh Komisi II DPR disahkan sidang pleno DPR.
Rancangan undang-undang (RUU) ini lama dibicarakan oleh pemerintah, hampir empat tahun, tetapi oleh DPR hanya butuh waktu 6 bulan untuk membahasnya. Bahkan pernah pemerintah menolak RUU ini. Sekelompok aparat pemerintah daerah yang dimobilisasi oleh pejabat pemerintah pusat berdemonstrasi menolaknya. Seberapa jauhkah alotnya RUU ini, sehingga pemerintah begitu lama membahas dan menolaknya?

Dahulu, empat tahun lalu, inisiatif DPR menyusun RUU ini dibantu dua guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) di bidang ilmu administrasi negara dan dua guru besar Universitas Indonesia (UI) di bidang ilmu yang sama dan bidang ekonomi. UU ini dikenal dengan singkatan ASN (Aparatur Sipil Negara), sebagai UU tentang profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu UU inisebagai salah satu wujud upaya reformasi birokrasi pemerintah yang selama ini patah-patah, tidak menyeluruh.

Selama republik ini berdiri, setiap pemerintahan membuat UU yang mengatur hal-ihwal PNS tak pernah menyebut profesi aparatur pegawai pemerintah itu apa. Yang diatur hanya perihal proses administrasi kepegawaian.Padahal, di dalam PNS itu ada banyak jabatan profesi, seperti jaksa, hakim, profesor, dokter, polisi, rektor, dan guru. Karena tidak diatur jenis profesinya, maka sistem, perilaku, sikap, dan tindak-tanduk PNS seakan-akan tidak punya kode etika sebagai pelayan publik yang diharapkan,

Reformasi birokrasi

Menurut catatan saya, salah satu masalah yang bisa menghalangi implementasi UU ASN oleh pemerintah dulu adalah gagalnya melaksanakan reformasi birokrasi pemerintah. UU ASN acapkali dikaitkan juga dengan upaya melakukan reformasi birokrasi pemerintah. Sebenarnya kalau kita berkehendak melakukan reformasi birokrasi, di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie tahun 1999 telah diratakan jalan menuju ke arah reformasi tersebut. Namun, ternyata pemahaman tentang birokrasi pemerintah yang akan direformasi tak ada kesatuan paham. Oleh karena tidak ada kesatuan paham tentang apanya yang akan direformasi, upaya ke arah reformasi pun berbeda jalan dan hasilnya.

Mari kita amati beberapa sistem dan lembaga birokrasi pemerintah yang sudah tak sistemik dan berubah membingungkan. Kantor Kepresidenan, misalnya, tidak seperti biasanya dalam sistem administrasi negara kita. Ketika Presiden bertugas ke luar negeri melaksanakan tugas sebagai Kepala Negara, yang mendampingi dan yang mengurus administrasinya Sekretaris Kabinet, lalu Sekretaris Negara menjaga rumah di dalam negeri.

Dahulu, dalam sistem adminisrasi pemerintahada dua organisasi kesekretariatan karena jabatan Presiden sebagai Kepala Negara memerlukan kantor Sekretaris Negara, dan jabatan Presiden sebagai Kepala Pemerintah memimpin anggota kabinet perlu adanya kantor Sekretaris Kabinet. Dahulu kedua kantor itu cara kerja dan sistem kerjanya sangatjelas bedanya. Hierarkinya juga jelas, walau sama-sama sebagai menteri pembantu presiden. Selain itu, keduanya sangat berwibawa dalam menjalankan sistem administrasi negara kita.

Sebagai ilustrasi lagi, coba lihat struktur kelembagan kementerian yang sekarang berjalan tidak disentuh oleh evaluasi dan reformasi. Saya ambilkan contoh hasil penelitian saya (2014) pada lima kementerian.

Pertama, Kementerian Dalam Negeri. Susunan kementeriannya terdiri dari 11 eselon I ditambah 5 staf ahli. Direktorat jenderal (ditjen)-nya ada tujuh, dua badan, dan masing-masing satu sekretariat jenderal (setjen) dan inspektur jenderal (itjen). Kedua, Kementerian Pendidikan Nasional terdiri dari tujuh satuan organisasi eselon I, ditambah lima staf ahli; ada empat ditjen, tiga badan, satu setjen, dan satu itjen. Ketiga, Kementerian Pekerjaan Umum terdiri dari delapan satuan eselon I ditambah lima staf ahli. Keempat, Kementerian Agama terdiri dari 10 satuanorganisasi eselon I ditambah lima staf ahli. Kelima, Kementerian Sosial terdiri dari enam satuan organisasi eselon I ditambah lima staf ahli.

Dari satuan organisasi eselon I itu dibagi habis ke dalam satuan eselon II yang lebih besar lagi dan seterusnya. Ini menggambarkan satuan organisasi masing-masing kementerian bukan semakin hemat jika dibandingkan dengan organisasi masa Orde Baru. Padahal, kegiatan pembangunan dan pemerintahan waktu itu lebih kompleks dan besar, tetapi organisasai kementeriannya didukung oleh satuan organisasi lebih kecil dibandingkan saat ini.

Ini berarti pengaruh manajemen kepegawaian bukannya semakin kompeten dan netral, melainkan terpolitisasi dan pemborosan makin tak terkendali.

Dari jumlah organisasi yang besar, seperti sekarang akan mudah dibaca bahwa masing-masing kementerian memerlukan jumlah anggaran dan pegawai yang besar, dan sistem manajemen kepegawaian yang tak netral menyulitkan upaya koordinasi. Sementera itu, setiap tahun kita melihat APBN pemerintah selalu menampakkan anggaran defisit. Korupsi masih merajalela tidak menunjukkan hasil pengurangan yang menggembirakan. Pengangguran masih besar, belum bisa diatasi dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.

Oleh karena itu, salah satu alternatif yang bisa dilakukan ialah mengevaluasi organisasi pemerintah, baik kementerian, organisasi nonkementerian, maupun organisasi nonstruktural dipusat dan di daerah. Namun, hal ini justru luput dilakukan reformasi sampaidetik ini

UU ASN

UU ini banyak memuat hal baru,membuat masalah-masalah yang sering kali ditimbulkan oleh manajemen kepegawaian cara lama bisa direformasi. Semangat UU ini adalah melakukan reformasi dan melakukan perbaikan serta menghilangkan masalah- masalah yang timbul di dalam manajemen kepegawaian.

Masalah-masalah yang timbul itu banyak dinikmati oleh pejabat-pejabat yang mengenyampingkan etika yang baik dan bersih. Misalnya, praktik memperdagangkan dan atau membisniskan proses pengangkatan dan promosi pegawai oleh para pejabat daerah maupun pusat. Atau terjadi intervensi kekuasaan pejabat politik dalam mengangkat pejabat dan pegawai yang tidak terbuka dan tidak kompeten.

Salah satu yang kemudian diatur dalam UU ASN ialah ditetapkan adanya badan yangmelindungi pelaksanaan sistem merit. Badan ini dinamakan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). UU ini nanti menetapkan setiap pelanggaran sistem merit akan dikenai sanksi yang tegas. Misalnya, mengangkat pegawai atau pejabat yang dilakukan tidak terbuka dan didasarkan pertimbangan politik, bukan didasarkan atas kompetensi individual calon yang dibutuhkan oleh kompetensi jabatan yang diisi, akan dikenai sanksi.

Banyak lagimasalah kepegawaian yang akan diperbaiki oleh UU ASN. Sementara pada sistem lama yang biasa dilakukan justru banyak menguntungkan mereka, para pejabat yang selama ini menikmatinya dengan mengenyampingkan etika aparatur yang baik dan bersih. Itulah barangkali yang membuat alotnya pembahasan UU ASN dan alotnya menyusun ketentuan pelaksanaannya di kalangan pemerintah.

Realisasi UU ini sangat lambat. Aturan pelaksananya pun banyak yang belum dituntaskan. Kini kita berharap pemerintah lebih cekatan menindaklanjutiefektivitas UU ini.

Merenungkan Keindonesiaan

Merenungkan Keindonesiaan

  Suwidi Tono  ;  Koordinator Forum Menjadi Indonesia
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam pleidoi ”Indonesia Menggugat” di depan pengadilan kolonial di Bandung, 18 Agustus 1930, Bung Karno mengurai kemerosotan bangsa akibat imperialisme-kapitalisme. Lewat taksonomi kata bernas, kalimat penuh harga diri, dan pesan menghunjam, ia menampilkan fakta dan risalah otentik yang menohok jantung kepentingan kolonial.

Empat kerusakan parah kaum bumiputra akibat imperialisme-kapitalisme sokongan pemerintah kolonial meliputi: terpecah belah, kemelaratan kronis, kemunduran akal budi, serta berkembangnya mentalitas inlander dan ”menghamba” akibat politik asosiasi alias kerja sama dengan penjajah. Menurut Bung Karno, seluruh siasat itu diperlukan untuk menjamin berlangsungnya pengisapan kekayaan alam Indonesia oleh korporasi asing dan menjadikan rakyat hanya kuli!

Menegaskan perihal ini, ia mengutip pernyataan Profesor JH Boeke (1927): ”Mereka pandai mengeduk kekayaan dari bumi Hindia dan membikin negeri itu memberi keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya. Mereka menghasilkan barang-barang yang diperlukan pasar dunia dan mereka menuntut Hindia tanah yang baik dan tenaga buruh yang murah”.

Sebagai antitesis, melalui Partai Nasional Indonesia yang didirikannya tahun 1927, ia menggelorakan persatuan, membangun kecerdasan rakyat melalui pendidikan, percaya pada kemampuan sendiri (self reliance), menolak kolaborasi, dan sebaliknya kukuh menjalankan politik nonkooperasi.

Kemiskinan struktural

Setelah merdeka, empat tonggak perlawanannya itu mengejawantah melalui character and nation building, mobilisasi pendidikan tinggi, mencetuskan Trisakti sekaligus menolak kerja sama dengan pihak luar yang mendikte kepentingan nasional. Namun, ikhtiarnya itu kandas setelah tragedi 1965. Ikhtisar berikut menelisik jejak gugatan Bung Karno pada realitas Indonesia hari ini.

Kesatuan gerak dan tekad untuk menemukan kembali Indonesia yang dihela reformasi 1998 semakin pudar. Ideologi cair dan sarat transaksi menyuburkan korupsi dan perburuan rente. Kita kembali dihantui kegagalan memajukan dan mendisiplinkan parpol untuk tujuan-tujuan besar nasional dan cenderung membiarkannya sebagai agen pecah belah macam-macam kepentingan.

Lanskap politik nasional-lokal menampilkan aneka pertanda buruk: mahal, permisif, gaduh, ”karbitan”, legitimasi rendah, tidak menumbuhkan optimisme, dan mulai tumbuh gejala feodal. Demokrasi kita semakin kental bercorak prosedural ketimbang substansial. Etika dan moral politik penuh keluhuran dan keteladanan tersisih oleh persatuan kepentingan dan syahwat kekuasaan.

Dalam situasi kusut ini, berbagai agenda masuk dan memengaruhi kebijakan publik. Ketimpangan ekonomi muncul sebagai konsekuensi asimetri aspirasi politik. Satu persen orang terkaya Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Sepuluh persen penduduk terkaya menguasai 77 persen aset nasional, terutama di sektor keuangan dan properti (Kompas, 9/12).

Distribusi pendapatan tidak adil ini, menurut laporan Bank Dunia, akibat perbedaan pungutan pajak untuk pekerja dan pemilik modal, korupsi merajalela, produktivitas dan upah rendah pada mayoritas pekerja, ketaksetaraan kesempatan sejak lahir (akses pendidikan, pemenuhan gizi, dan kesehatan), serta bencana alam yang semakin membuat miskin sebagian penduduk. Angus Stewart Deaton, peraih Nobel Ekonomi 2015, mengingatkan, warga miskin bisa menjadi sejahtera jika pemerintah paham kebutuhannya. Pemerintahan dengan sistem politik yang baik, bukan politik yang mendistorsi, akan mampu menyejahterakan rakyat. ”Jangan biarkan kaum kaya memengaruhi kebijakan publik demi kepentingan warga kaya itu sendiri” (Kompas, 17/10).

Kendati kemiskinan menurun dari 24 persen tahun 1999 menjadi 11,3 persen tahun 2014 atau setara 27,7 juta jiwa, pengurangan laju kemiskinan mulai stagnan. Anggaran perlindungan sosial lewat program simpanan keluarga sejahtera (Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera) hanya menjangkau 15,5 juta jiwa dengan total dana Rp 22,6 triliun atau 1,7 persen APBN 2015. Bandingkan, misalnya, dengan alokasi dana untuk pembayaran utang yang mencapai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Pesannya menjadi jelas: politik anggaran perlu perubahan radikal.

Kemelaratan kronis merupakan dampak struktur yang menindas. Kearifan lokal dihancurkan. Petani menjadi ”tukang” di tanahnya sendiri. Tukang menyemprot pestisida dan herbisida, menabur pupuk buatan pabrik, menanam benih transgenik atau hibrid keluaran laboratorium, dan lemah posisi tawar dalam mekanisme pasar. Segalanya harus dibeli dan diperoleh dari luar ekosistem.

Pertanian kehilangan makna esensialnya sebagai penyerbukan budaya. ”Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata panen berlimpah, melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia”, demikian ajaran Masanobu Fukuoka (Revolusi Sebatang Jerami, 1991).

Definisi pembangunan berkelanjutan dari World Commission on Environment and Development 1987 menegaskan: ”Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

Utilisasi mengubah ekosistem alam sehingga konservasi adalah keniscayaan. Pengelolaan sumber daya alam harus memenuhi asas keadilan, bukan untuk satu generasi, melainkan antargenerasi. Dihubungkan dengan fakta penguasaan aset nasional di tangan segelintir orang atau korporasi dan regulasi yang tidak berpihak pada keadilan redistributif, jejak panjang kemiskinan struktural agaknya masih berkelanjutan.

Kita belum terlambat membangkitkan koperasi impian Bung Hatta sebagai sarana pemberdayaan dan pembelajaran demokrasi ekonomi, politik, dan sosial. Redistribusi aset, pemerataan akses modal, dan kegotongroyongan nasional membutuhkan saka guru kelembagaan yang berurat-berakar pada keguyuban dan ekspresi komunitas.

Pergulatan kepentingan

Kemunduran akal budi dapat ditelaah dari meruyaknya truisme, hal-hal sepele yang menyedot energi, memorakporandakan etika, dan mementingkan pragmatisme. Permufakatan elite tidak diarahkan untuk memilih orang-orang terbaik, prioritas tertinggi, keberpihakan pada kepentingan bangsa. Sebagian besar bercorak power game ketimbang kemaslahatan untuk rakyat.

Pada hiruk-pikuk kasus Petral, kasus Freeport, serta rutinitas kebakaran hutan dan lahan, kita kembali menyaksikan episode pergulatan kekuatan pro dan kontra kepentingan nasional, yaitu mentalitas inferior dan relasi ”centeng-cukong” dengan semangat berdikari. Pada tingkat keputusan dan kejelasan masa depan, kita belum melihat sikap negara dan perilaku kenegarawanan.

Kita perlu merenungkan keindonesiaan agar belajar dari kegagalan masa lalu, baik dari pengalaman bangsa sendiri maupun bangsa lain. Entitas bangsa harus dipersatukan dan didorong meraih kemajuan otak-watak, berupaya keras menghilangkan kawah-kawah nestapa, penumpukan sedimen kekecewaan, dan kemelaratan rakyat.

Resep Bung Karno, 85 tahun silam, jelas bukan pemikiran usang. Ia tetap menginspirasi. Kemajuan tidak melulu bersangkut paut dengan simbol-simbol modernitas: kecanggihan, kecepatan, kebaruan, dan bertebarnya seabrek monumen fisik. Yang hakiki mestilah bersumbu-alas pada tumbuh suburnya kebenaran, keadilan, dan kecerdasan sebagai ladang persemaian generasi unggul berkesinambungan. Singkatnya adalah mekarnya karakter kecendekiaan dan kebajikan. Seturut dengan tesis Hans Morgenthau (Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace, 1948), yang tetap valid sampai sekarang: kunci kemajuan bangsa adalah karakter manusianya.

Energi, Kemitraan Global, dan Kita

Energi, Kemitraan Global, dan Kita

  Sudirman Said  ;  Menteri ESDM
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun pertama Kabinet Kerja patutlah dicatat sebagai tahun Indonesia melebarkan sayap pergaulan dunianya di kancah energi. Setelah terlengar sejak 2009, Indonesia kembali siuman, reaktivasi, sebagai anggota penuh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Bersama Tiongkok dan Thailand, Indonesia jadi negara perdana yang bergabung sebagai anggota mitra Badan Energi Internasional (IEA) dalam pertemuan Menteri Energi IEA, 17-18 November 2015 di Paris. Di IEA, badan yang berdiri dalam kerangka Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan itu, Indonesia berkepentingan terutama untuk mengembangkan kemitraan dalam membangun energi bersih dan energi baru terbarukan (EBT). Artinya, Indonesia kini telah dan tengah menyemplung ke dalam dua komunitas-produsen energi dunia: energi fosil minyak dan gas bumiserta EBT.

Banyak keuntungan yang bisa diraih. Menjadi anggota IEA makin membuka akses kita terhadap teknologi permigasan termutakhir, mengingat sebagian besar anggota IEA negara maju. Di Konferensi Para Pihak Ke-21 Perubahan Iklim di Paris, bersama 19 negara yang menguasai 80 persen lebih pengembangan dan investasi energi bersih, Indonesia mendeklarasikan Mission Innovation. Negara yang bersepakat menjalankan misi revolusioner pengembangan energi bersih melalui kemitraan pemerintah dan swasta itu, antara lain, AS, Tiongkok, India, Perancis, Jerman, Brasil, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Arab Saudi.

Indonesia pun aktif merumuskan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan pada Sidang Umum PBB di New York, September 2015. Di Agenda 2030 itu Indonesia berkepentingan khususnya untuk menerjemahkan dan menurunkan tujuan pembangunan energi untuk semua ke dalam agenda nasional.

Kemitraan multilateral diimbangi dengan kemitraan bilateral. Dengan AS, memanfaatkan kunjungan Presiden Joko Widodo ke sana pada November 2015, Indonesia bermitra di bidang energi. Peningkatan kerja sama bisnis energi juga dilakukan dengan Timur Tengah. Di sektor energi bersih Indonesia menggalang kemitraan bilateral dengan Denmark, Finlandia, dan Swedia.

Peran aktif di pelbagai forum energi internasional dilakukan untuk mendukung percepatan perwujudan ketahanan energi bangsa dengan mengambil manfaat maksimum dari kerja sama global, baik antarpemerintah maupun kerja sama bisnis.

Rencana lima tahun ke depan dalam membangun ketercukupan energi cukup menantang. Indonesia membangun 53.000 megawatt (MW) listrik dalam kurun 70 tahun, tetapi hanya dalam lima tahun ke depan Indonesia akan membangun 35.000 MW. Indonesia selama 40 tahun terakhir hanya bisa mempromosikan energi terbarukan sebesar 6 persen. Namun, dalam 10 tahun mendatang, bertekad mewujudkan tambahan minimum 17 persen energi terbarukan untuk capai target energi terbarukan minimum 23 persen.

Mewujudkan 35.000 MW dalam lima tahun beserta tambahan 17 persen EBT dalam 10 tahun adalah hal yang hampir mustahil. Ini bisa terwujud hanya jika ada langkah luar biasa, ada ikhtiar revolusioner. Salah satunya adalah berpartisipasi aktif di forum internasional. Itu dilakukan sejalan dengan aksi lain di dalam negeri: memperkuat kelembagaan nasional pengembangan energi maupun melibatkan segenap komponen bangsa dalam mendorong pemanfaatan energi.

Revolusi pembangunan harus sejalan dan memiliki gaung yang setingkat dalam multilevel (lokal, nasional, internasional) serta terintegrasi secara horizontal dengan melibatkan multiaktor. Sejak presiden pertama, Bung Karno, semangat dan partisipasi Indonesia secara aktif di dunia internasional selalu didorong. Semua itu ditempatkan dalam konteks membangun kedaulatan bangsa dan memperkuat kemandirian rakyat.

Merevolusi diri

Berdaulat itu merevolusi diri. Inilah yang sedang kita lakukan dalam membangun kedaulatan energi saat ini. Pertama, untuk merevolusi energi nasional, Indonesia harus berjejaring lebih aktif dengan komunitas internasional. Meski importir neto minyak, Indonesia memutuskan mereaktivasi keanggotaan di OPEC. Dasar pertimbangannya adalah menjadi bagian aktif dari komunitas pengekspor dan pasar minyak. Kita ingin duduk sejajar dengan negara pengekspor membicarakan kebijakan minyak global. Bukan semata pasif sebagai penonton atau pembeli. Kita ingin memiliki akses lebih atas informasi, turut menentukan arah kebijakan pengelolaan minyak dunia, termasuk menentukan harga dan pasarnya.

Kita ingin lebih berdaya dalam negosiasi langsung dengan para pengekspor minyak sehingga bisa mendapat harga lebih murah ketimbang jika mendapatkannya dari pihak ketiga atau melalui sejumlah perantara, pemburu rente, seperti selama ini.

Percepatan pengembangan energi nasional butuh dukungan investasi internasional. Dari 35.000 MW yang diusahakan, PLN hanya akan mengembangkan 5.000 MW. Selebihnya diharapkan dari investor. Konsekuensinya, pintu investasi Indonesia harus dibuka. Indonesia harus lebih aktif menjajakan peluang investasi energinya melalui forum internasional agar nilai tawar Indonesia ketika bernegosiasi dengan berbagai negara atau investor lebih terdongkrak.

Kedua, pembangunan berkelanjutan yang mensyaratkan adanya keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan butuh peran teknologi yang besar. Rencana besar Indonesia mendiversifikasi energi jadi minimum 23 persen dari energi terbarukan pada 2025 butuh masifikasi alih teknologi dari negara maju.

Keterlibatan Indonesia dalam prakarsa, seperti IEA maupun Mission Innovation membuka peluang akses teknologi energi bersih yang lebih murah, membangun industri energi bersih nasional, serta mengalirkan investasi energi bersih yang mendukung ketahanan energi bangsa.

Target kita meningkatkan rasio elektrifikasi, dari 85 menuju 100 persen, butuh kemitraan dan dukungan internasional. Teknologi EBT yang bisa diakses murah oleh rakyat di daerah terpencil akan meningkatkan akses dan penguasaan mereka terhadap listrik dan energi yang sebisa mungkin dikelola secara lokal juga.

Kapasitas sumber daya manusia Indonesia dalam penguasaan teknologi di sektor energi harus terus ditingkatkan agar makin kompetitif secara global. Pusat keunggulan untuk energi bersih yang kini tengah dikembangkan di Bali adalah platform bagi ikhtiar penguasaan dan pengembangan teknologi energi secara bertahap—di dalam negeri dulu, lantas berlanjut ke kawasan regional, dan seluruh dunia —yang dijalankan putra-putri terbaik Indonesia.

Ketiga, tren global menunjukkan bahwa energi terbarukan akan segera jadi bahan bakar utama dunia. Data IEA menunjukkan energi terbarukan akan memanfaatkan hampir 60 persen dari total 5 triliun dollar AS investasi pembangkit listrik baru di dunia dalam 10 tahun ke depan, terutama didorong oleh AS, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.Secara global kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan menyumbang 1.828 gigawatt (GW) pada 2014, dibandingkan 1.500 GW yang berbasis gas dan 1.880 GW berbasis batubara.

Jumlah tenaga kerja yang terserap dari pengembangan energi terbarukan meningkat 18 persen tahun lalu, 200.000 di antaranya berpindah dari sektor minyak dan gas dalam setahun terakhir. Bahkan negara penghasil energi fosil, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab saat ini mengembangkan energi terbarukan secara besar-besaran.

Dana Ketahanan Energi

Dana Ketahanan Energi

  Pri Agung Rakhmanto  ;  Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti; Pendiri ReforMiner Institute
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pekan lalu, pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar. Harga premium turun dari Rp 7.400 per liter menjadi Rp 7.150 per liter dan solar turun dari Rp 6.700 per liter menjadi Rp 5.950. Harga baru ini mulai diberlakukan pada 5 Januari 2016. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, harga keekonomian premium saat ini sebenarnya Rp 6.950/liter, sedangkan solar Rp 5.650/liter. Namun, untuk kepentingan pengembangan energi terbarukan, pemerintah menambah Rp 200/liter pada harga premium dan Rp 300/liter pada harga solar. Dana Rp 200/liter dan Rp 300/liter yang diambil dari harga premium dan solar ini diklaim merupakan dana ketahanan energi.

Dasar hukum lemah

Gagasan tentang dana ketahanan energi seperti yang dicetuskan Menteri ESDM pada dasarnya baik. Namun, untuk mengimplementasikannya menjadi kebijakan resmi, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu harus memiliki pijakan dasar hukum yang kuat dan jelas.

Saya menilai rujukan peraturan yang digunakan pemerintah dalam menerapkan kebijakan dana ketahanan energi ini, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, tidak cukup kuat. Pasal 30 Ayat 1, 2, dan 3 UU No 30/2007 memang menyebut tentang dana untuk penelitian pengembangan energi. Namun, untuk pengaturan lebih lanjut tentang itu, pada Ayat 4 disebutkan, diperlukan PP. Dalam konteks ini, PP yang dimaksud adalah PP tentang pendanaan kegiatan penelitian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi energi, yang mungkin dalam konteks kebijakan dana ketahanan energi bisa menjadi lebih relevan.

Dengan demikian, PP No 79/2014 bukan aturan pelaksana yang dimaksud Pasal 30 UU No 30/2007. PP No 79/2014 memang menyebut tentang adanya premi pengurasan (depletion premium)energi fosil yang dapat diperuntukkan bagi kegiatan eksplorasi migas, selain bagi pengembangan energi baru terbarukan, sumber daya manusia, penelitian pengembangan, dan infrastruktur. Namun, PP itu tak secara spesifik mengatur bahwa premi pengurasan itu diambil dari sebagian harga bahan bakar minyak (BBM) seperti yang diterapkan pemerintah dalam kebijakannya saat ini.

Dengan kata lain, saya berpendapat bahwa PP No 79/2014 ini pun tidak cukup kuat sebagai landasan hukum untuk ”memungut” dana ketahanan energi dari harga BBM yang diberlakukan di masyarakat.

Premi pengurasan

Secara konseptual, premi pengurasan pada dasarnya adalah sejumlah nilai ekonomi tertentu yang dikenakan pada aktivitas pendayagunaan suatu sumber daya (energi) yang tidak terbarui. Tujuannya adalah untuk menjaga ketersediaan sumber daya energi (tersebut) selama mungkin atau juga untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan energi lain dalam arti yang lebih luas.

Dalam praktiknya, sebagaimana diterapkan di banyak negara, hal ini dapat secara langsung diambilkan dari sebagian penerimaan yang diperoleh dari pendayagunaan sumber energi non-terbarukan atau dapat juga dikenakan dalam bentuk pajak yang dimasukkan sebagai salah satu komponen harga energi. Dalam konteks Indonesia, kedua cara ini pada dasarnya sama-sama dapat diterapkan.

Pemerintah—melalui instrumen APBN, dengan persetujuan DPR tentunya—dapat secara langsung menyisihkan sebagian penerimaan negara (penerimaan negara bukan pajak/PNBP) yang diperoleh dari pengusahaan energi non-terbarukan, seperti migas atau batubara. Pemerintah melalui instrumen pajak juga dapat menetapkan pajak premi pengurasan sejumlah tertentu pada harga energi yang diberlakukan kepada masyarakat. Sesuai filosofinya, hasil penyisihan sebagian PNBP energi nonterbarukan atau pajak tersebut harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi penyediaan energi nasional secara berkelanjutan.

Untuk menerapkan salah satu atau keduanya di Indonesia, tetap terlebih dahulu harus ada dasar hukum yang kuat dan jelas, yang secara khusus mengatur tentang bagaimana premi pengurasan itu akan diterapkan, bagaimana mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, dan pertanggungjawabannya. Saran sederhana saya, dasar hukum yang kuat dan jelas mesti ada dulu, baru kebijakan dana ketahanan energi diterapkan.

Satu hal yang mungkin dapat menjadi pertimbangan bagi perekonomian nasional, yang saat ini tengah memerlukan stimulus, cara menyisihkan sebagian PNBP energi non-terbarukan secara langsung melalui mekanisme APBN mungkin akan lebih baik dibandingkan memberi ”beban” tambahan kepada masyarakat dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Jadi, kiranya tidak ada salahnya jika kebijakan dana ketahanan energi yang akan dijalankan saat ini ditinjau ulang dan dikaji kembali lebih mendalam.