Selasa, 22 Desember 2015

Akhir dari Penantian Panjang The Fed

Akhir dari Penantian Panjang The Fed

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                           MEDIA INDONESIA, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEPANJANG 2015, emosi kita diaduk-aduk oleh drama yang terus menerus dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed). Betapa tidak. Pada akhir 2014, Ketua The Fed, Janet Yellen, telah mencanangkan normal isasi suku bunga AS. Suku bunga acuan (benchmark rate) atau federal funds rate (FFR) yang dipatok rendah 0,25%, direncanakan akan naik secara bertahap. Setiap triwulan akan dinaikkan 25 basis poin sehingga pada akhir 2015 akan mencapai 1,25%.

Kenapa diperlukan normalisasi suku bunga? Sesudah perekonomian AS terpukul oleh krisis subprime mortgage pada 2008, pemerintah AS dalam hal ini The Fed berusaha melawannya di sektor moneter dengan dua hal. Pertama, suku bunga yang semula di atas 5% diturunkan secara bertahap hingga mencapai titik terendah mendekati 0%. Tujuannya agar likuiditas melonggar sehingga dapat mendorong konsumsi dan investasi yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapang an kerja. Pada saat krisis memuncak pada 2009, pertumbuhan ekonomi AS negatif (berkontraksi), sedangkan pengangguran mencapai rekor tertinggi 10%.

Kedua, The Fed melakukan kebijakan cetak uang (quantitative easing, atau QE) untuk merelaksasi likuiditas. Dalam setiap krisis apa pun biasanya diperlukan pelonggaran uang beredar (easy money policy) agar bisa mendorong perekonomian. Dana dari kebijakan QE ini digunakan untuk membeli aset-aset surat berharga pemerintah AS (treasury bills dan treasury bonds) untuk menjaga agar harganya tidak jatuh. Pada saat krisis ter sebut, indeks harga saham di New York (Dow Jones Industrial Index) runtuh dari level 17.000 menjadi hanya 9.000. Hal yang serupa terjadi pada angka penjualan mobil yang jatuh dari 17 juta unit menjadi hanya 9 juta unit.

Kebijakan QE dilakukan dalam tiga tahap: 2009, 2011, dan 2013. Jumlah seluruh uang yang dicetak dalam tiga episode QE tersebut mencapai US$ 4,2 triliun. Jumlah ini sangat besar. Sebagai ilustrasi, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini Rp12 ribu triliun atau hanya US$860 miliar. Dengan kata lain, kebijakan tiga QE tersebut ekuivalen dengan hampir lima tahun PDB Indonesia, sedangkan PDB AS saat ini sekitar US$17,5 triliun.

Kebijakan relaksasi ini pelan-pelan memberikan hasil positif. Seiring dengan kurs US$ yang melemah terhadap seluruh mata uang dunia, perekonomian AS pun mulai menikmati daya saing (competitiveness) yang meningkat. Terhadap rupiah, dolar AS mengalami pelemahan terbesar pada Juli-Agustus 2011 ketika rupiah mencapai titik terkuat Rp8.600 per US$ yang paralel dengan meningkatnya cadangan Indonesia yang mencapai titik tertinggi US$124,67 miliar.

The Fed pun mulai merasakan perekonomian AS mulai pulih pada Mei 2013. Pada saat itu, absorpsi tenaga kerja mulai meningkat, yang terindikasi dari variabel nonfarm payroll (tenaga kerja di sektor nonpertanian) yang rata-rata mulai menembus 200.000 orang per bulan. Sejak saat itulah kurs dolar AS mulai menguat terhadap seluruh mata uang dunia, termasuk rupiah. Dengan kata lain, rupiah mulai melemah (terdepresiasi) terhadap dolar AS.

Kebangkitan perekonomian AS ini kemudian menimbulkan euforia investor global yang mulai gencar mengoleksi mata uang dolar AS dan sebagian besar menerbangkannya ke New York. Likuiditas dolar AS di seluruh dunia pun pulang kampung ke AS untuk menyam but perbaikan ekonomi AS. Kurs dolar terus menguat dan indeks harga saham di New York juga terus meroket, kembali ke level sebelum krisis 2008, yakni 17.000.

Pada saat itulah The Fed memutuskan untuk menghentikan pencetakan uang (kebijakan QE) karena perekonomian sudah mengarah normal. Sebagai tandemnya, suku bunga rendah yang sudah dibiarkan lama akan dikoreksi ke arah normal. Suku bunga normal di AS ialah 2% (di era Ketua The Fed Alan Greenspan) dan 4% (di era Ketua The Fed Ben S Bernanke). Berarti, setidaknya suku bunga 0,25% akan secara bertahap dikembalikan Janet Yellen ke level normal, setidaknya 2%. Untuk menuju ke sana, Yellen harus menaikkannya secara bertahap.

Kenapa suku bunga tidak di biarkan rendah saja, seperti dialami Jepang sejak 1990-an hingga sekarang? Yellen beralasan terlalu banyaknya likuiditas dolar AS yang beredar di seluruh dunia akan rawan menyebabkan spekulasi. Akan mengerikan jika tambahan pasokan dolar AS sejumlah US$4,2 triliun dipakai untuk spekulasi. Sektor finansial global bisa gonjang-ganjing tidak menentu dan perekonomian AS akan terganggu. Ini tidak boleh dibiarkan. Caranya, suku bunga harus dinaikkan agar sebagian dari likuiditas global itu diserap sistem perbankan.

Namun, skema Yellen tidak berjalan mulus. Belum lagi suku bunga dinaikkan, pasar sudah mengantisipasi setiap pertemuan The Fed (Federal Open Market Committee, atau FOMC) dengan kenaikan kurs dolar AS. Kejadian ini terus berulang sepanjang 2015. Akibatnya, The Fed terus-menerus batal menaikkan suku bunga. Pasar pun terus bergejolak. Padahal, setiap kali kurs dolar AS terapresiasi (menguat), sebenarnya perekonomian AS dirugikan. Daya saing produk-produk AS akan menurun. Sementara itu, di sisi lain, pemerintah Tiongkok justru melakukan devaluasi yuan (renminbi) dalam rangka mendorong daya saing produk-produknya yang mulai terganggu oleh kenaikan upah buruh dan harga tanah di sepan jang Pantai Timur Tiongkok.

Situasi ini terus berlangsung sepanjang tahun hingga November 2015. Lalu, sampai kapan keadaan ini akan berlanjut? Yellen harus menghentikannya. Tatkala data statistik ekonomi AS sudah baik seperti sekarang, tidak perlu ada lagi yang ditunggu. Perekonomian AS tumbuh 2,5%, inflasi rendah mendekati 0%, pengangguran 5%, dan daya serap tenaga kerja di atas 200.000 per bulan, bahkan pernah melebihi 300.000 per bulan.

Ini momentum yang tepat, sudah tidak ada yang bisa diharapkan lebih baik lagi, dari pada saat ini. Inilah alasan kenapa Yellen akhirnya berani menaikkan FFR dari 0,25% men jadi 0,5%. Ternyata hal ini tidak sampai memicu rupiah untuk melemah lebih lanjut. Rupiah justru mulai beringsut menguat. Kenapa? Saya menduga pelemahan rupiah sudah dicicil sepanjang 2015 atau dengan kata lain kemungkinan kenaikan FFR sudah diperhitungkan (priced in) para investor. Rupiah bahkan sudah terlalu murah (unvervalued) sehingga depresiasi lanjutan tidak diperlukan.

Di sisi lain, saya juga meyakini sentimen positif terhadap AS juga tidak mungkin terus-menerus terjadi. Semua itu tetap ada batasnya. Disini tidak berlaku adagium the sky is the limit. Tidak mungkin limitless. Semua bakal ada batasnya. Contohnya, indeks harga saham New York yang pernah kena euforia hingga 18.300, akhirnya terkoreksi tajam hingga pernah 15.700. Kini indeks tampak mulai normal dan stabil di level 17.000-an. Akhir pekan lalu indeks di New York terpental ke 17.128.

Atas dasar ini saya meyakini rupiah tidak layak berada di level Rp14 ribu, apalagi Rp15 ribu per US$. Itu sama sekali tidak merefleksikan fundamental ekonomi yang kita miliki. Rupiah mestinya di level yang lebih kuat, misalnya, antara Rp13 ribu hingga Rp13.600 per US$.

Karena itu, saya tidak sepakat dengan pemerintah yang menetapkan asumsi rupiah dalam APBN 2016 sebesar Rp 13.900 per US$. Itu sama sekali terlalu pesimistis dan tidak menunjukkan kemauan bekerja keras. Mestinya pemerintah harus menetapkan target yang lebih bermartabat, misalnya, Rp13.600 per US$.
Jika rupiah mulai berada pada level yang logis di bawah Rp14 ribu per US$, sedangkan inflasi sepanjang 2015 bisa dijinakkan ke 2,87%, ruang penurunan suku bunga mulai terbuka pada Januari 2016. Saya perkirakan BI rate sudah bisa mulai diturunkan ke 7,25%, dari level 7,5% saat ini.

Bila hal itu dapat direalisasikan, kita boleh berharap pertumbuhan kredit industri perbankan yang saat ini hanya 10% dapat ditingkatkan hingga maksimal 15% pada 2016. Selanjutnya, hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dari 4,8% (2015) menjadi 5,2% (2016).

Di saat itulah kita boleh merangkai asa menaikkan penerimaan pajak, yang tahun ini mengalami kekurangan penerimaan (shortfall) hingga Rp250 triliun. Karena itu, saya menyambut baik ide Menteri Perekonomian Darmin Nasution untuk segera merevisi penerimaan pajak 2016, yang dianggarkan di atas Rp1.500 triliun. Sebagai mantan Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution pasti memiliki indra keenam yang baik untuk mendeteksi kelayakan target penerimaan pajak.

Akhirnya, kita sikapi kenaikan suku bunga The Fed dengan tenang. Itu hal yang memang mesti terjadi atau sebuah keniscayaan yang tertunda. Sementara itu, dengan berbekal pengendalian inflasi 2,87% pada 2015, itu akan menumbuhkan ruang untuk menurunkan BI rate, yang selanjutnya dapat memicu kenaikan pertumbuhan kredit, kemudian kenaikan pertumbuhan ekonomi 2016. Karena itu, tetaplah bersemangat menyambut 2016 dan selamat tinggal 2015 yang ‘aneh’ dan sulit ditebak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar