Minggu, 27 Desember 2015

Atribut

Atribut

  Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                               KORAN TEMPO, 25 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Agaknya ini pertemuan terakhir saya dengan Romo Imam di tahun 2015. Saya ingin komentar Romo tentang aksi sebuah ormas di Surabaya yang mendatangi pusat perbelanjaan untuk melarang karyawan muslim mengenakan busana Santa Klaus. "Ah, bosan. Itu setiap tahun berulang," kata Romo dengan datar.

Saya pikir Romo tak tertarik. Tapi Romo melanjutkan: "Kalau karyawan itu dipaksa mengenakan atribut Santa Klaus, itu melanggar. Tapi karyawan suka rela, ini perayaan untuk menarik orang berbelanja, yang untung kan juga karyawannya. Pas Lebaran, karyawan yang Kristen pun mengenakan kerudung. Ini masalah bisnis, pasar dihias aksesori bernuansa agama, lalu ada diskon besar-besaran. Apa ormas itu juga melarang umat Islam menikmati diskon Natal? Kan tidak."

"Bukankah Santa Klaus itu berkaitan dengan agama, Romo? Jadi, rasanya...." Pertanyaan saya langsung dipotong Romo: "Santa Klaus bukan ajaran agama, tak ada dalam kitab suci. Itu hanya atribut, ya, sebut saja budaya. Ini produk Eropa yang dirakit di Amerika pada abad ke-19. Hanya imajinasi kegembiraan, berawal dari Santo Nikolas lalu menjadi Sinterklas dan akhirnya jadi Santa Klaus. Awalnya pun hanya sebuah puisi yang ditulis Clement Moore menjelang Natal 1822. Puisi tentang seseorang yang pipinya merona seperti mawar, hidungnya seperti buah ceri, mulut kecilnya yang lucu melengkung seperti busur, dan perutnya kecil bulat, ia terguncang-guncang bila tertawa. Puisi itu divisualkan, jadilah Santa Klaus yang kita kenal sekarang."

Saya menyela: "Jadi, semua itu hanyalah atribut yang berasal dari tradisi yang sudah mulai kabur asal-usulnya tetapi diadopsi untuk perayaan agama." Romo memotong ucapan saya: "Persis begitu. Seperti juga karyawan berkerudung saat Lebaran dan pasar swalayan dipenuhi hiasan ketupat. Kerudung dan ketupat itu bukan ajaran Islam, orang Bali di pedesaan juga berkerudung. Ketupat Lebaran dan ketupat yang dipakai umat Hindu di Bali saat ritual kan sama saja. Ketupat tidak beragama, yang memanfaatkan dan menikmati ketupat itu yang beragama. 

Sudahlah, akhiri polemik soal atribut-atribut budaya dalam perayaan agama."
Saya ingin memancing Romo lagi. "Romo, kemarin saat Natal, warga Desa Pulasari di Bali Barat merayakannya dengan berpakaian adat Bali, pergelaran tari tradisi lengkap dengan membunyikan gong kebyar. Ada tokoh yang menyebutkan itu melecehkan agama Hindu." Romo tertawa: "Tokoh itu ngawur. Memakai busana adat Bali bukan berarti beragama Hindu. Semua pejabat tinggi negara pernah memakai pakaian adat Bali jika ada acara budaya di Bali. Gamelan gong kebyar dan tari legong itu semuanya budaya orang Bali yang bisa dipakai oleh siapa pun, apalagi jika mereka memang orang Bali. Itu atribut budaya yang justru bagus dilestarikan, soal keyakinan dalam beragama itu urusan yang beda."

Saya mengagumi Romo dan ingin memuji. "Romo sangat toleran," kata saya. Kali ini Romo serius: "Ini bukan soal toleran atau tidak. Ini sesuatu yang sudah semestinya. Semakin maju dunia ini, kok sepertinya peradaban kita semakin mundur, kita kembali mempermasalahkan atribut budaya yang dipertentangkan dengan ajaran agama. Sejak dulu penyebaran agama itu dilakukan dengan menyerap budaya lokal dan kemudian berkembang tanpa ada masalah. Kini malah digugat."

Saya diam terpaku. Romo mengambil minuman dan berkata: "Apa semudah itu orang pindah agama, hanya karena memakai atribut Santa Klaus dan menabuh gong kebyar di hari Natal? Ini era Twitter, bukan lagi era menulis di daun lontar."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar