Sabtu, 26 Desember 2015

Dirigen

Dirigen

  James Luhulima  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 26 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di sebut-sebut pada awal tahun 2016 Presiden Joko Widodo akan me-reshuffle lagi Kabinet Kerja. Jika reshufle itu benar-benar dilakukan, tentunya akan menimbulkan banyak pertanyaan mengingat Presiden Jokowi baru saja me-reshufle kabinetnya, 12 Agustus lalu.

Pada lima bulan lalu, ada enam posisi menteri yang diganti, yakni Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Menteri Perdagangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Sekretaris Kabinet. Namun, hanya lima orang yang diganti karena Sofyan Djalil melepas jabatan Menko Perekonomian dan menduduki jabatan barunya sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas. Sementara Tedjo Edhy Purdijatno, Indroyono Soesilo, Rachmat Gobel, Andrinov Chaniago, dan Andi Widjajanto tersingkir.

Nama-nama baru muncul. Darmin Nasution, Gubernur BI (2010-2014), menjadi Menko Perekonomian; Rizal Ramli, Menteri Keuangan (12 Juni 2001-9 Agustus 2001), menjadi Menko Kemaritiman; Luhut Binsar Pandjaitan pindah jabatan dari Kepala Staf Kepresidenan menjadi Menko Polhukam; Thomas Lembong, yang sebelumnya malang melintang di sektor keuangan, menjadi Menteri Perdagangan; dan Pramono Anung, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Wakil Ketua DPR (2009-2014), menjadi Sekretaris Kabinet.

Pertanyaannya, apakah lima bulan dianggap cukup untuk mengukur kinerja menteri? Sebagian orang menganggap, lima bulan itu terlalu singkat. Apalagi, apabila dalam waktu kurang dari satu setengah tahun memerintah, Presiden Jokowi dua kali melakukan reshuffle.

Memang waktu lima bulan itu terlalu singkat untuk menilai kinerja menteri. Akan tetapi, siapa yang dapat mencegahnya. Jawaban yang akan diberikan, dan akan diulang-ulang, melakukan reshuffle adalah hak prerogatif presiden sehingga presiden berhak mengganti kabinet kapan pun ia menghendakinya. Dari pengalaman kita tahu, seandainya Presiden Jokowi ingin melakukan reshuffle, ia akan melakukannya, kapan pun itu. Dan, pada saat Presiden Jokowi benar-benar melakukan reshuffle, masyarakat akan menganggap hal itu memang harus dilakukan dan ramai-ramai mendukungnya.

Sinyal tentang akan dilakukannya reshuffle itu diberikan sendiri oleh Presiden Jokowi, yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan petinggi partai pendukung pemerintah di Istana Merdeka, 12 November malam. Saat itu, Presiden memberikan sinyal akan melakukan reshuffle kabinet dengan memberi tempat bagi Partai Amanat Nasional walaupun disebutkan agar masuknya parpol pendukung pemerintah baru itu jangan sampai mengurangi jatah wakil parpol pengusung dan pendukung pemerintah yang lebih dulu ada di kabinet.

Begitu ada sinyal bahwa akan dilakukan reshuffle, berbagai spekulasi pun muncul.

Harmoni

Sudahlah, reshuffle itu urusan Presiden. Sambil menunggu reshuffle, jika itu jadi dilakukan, ada baiknya jika kita menyoroti kabinet hasil reshuffle Agustus lalu. Dari luar tampak jelas bahwa di antara para menteri anggota kabinet, ada beberapa yang belum satu suara dalam menjalankan tugasnya. Bahkan, ada juga menteri yang ikut mengomentari, atau bahkan mengurusi sektor di luar bidang tugas yang dibebankan kepadanya, yang sesungguhnya menjadi tugas dari rekannya. Entah apa yang melatarbelakanginya, padahal bidang tugas yang dibebankan kepada tiap-tiap menteri sudah cukup banyak. Tidak berlebihan jika kita menyebutkan, koordinasi di antara para menteri serta etika dan tata berperilaku para menteri di dalam kabinet masih perlu ditata.

Sebagai Presiden, Jokowi adalah pemimpin kabinet. Para menteri anggota kabinet adalah pembantunya. Dalam menjalankan tugasnya, para menteri anggota kabinet bertindak atas nama presiden. Seperti di dalam sebuah orkestra, presiden adalah dirigennya. Ia mengatur agar para pemusik yang memainkan berbagai jenis alat musik itu menghasilkan nada harmonis yang enak didengar. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila setiap pemain memainkan alat musiknya semaunya sendiri, tanpa mengikuti arahan dari dirigen.

Menyenangkan ketika melihat Presiden Jokowi menagih janji Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli untuk memangkas waktu tunggu (dwelling time) di pelabuhan, 22 Desember lalu. Dengan menagih janji itu, Jokowi bertindak sebagai dirigen untuk mengingatkan salah satu pemain di orkestranya agar fokus pada kewajiban yang menjadi tugas utamanya.

Rizal Ramli langsung menjawabnya dengan merinci apa yang telah dilakukannya. Namun, kita yakin bahwa Presiden Jokowi sudah tahu apa yang dilakukan Rizal Ramli di pelabuhan. Yang ingin ditegaskan Jokowi lewat penagihan janji itu adalah agar para menteri fokus pada pekerjaannya dan tidak mencampuri apa yang bukan tugasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar