Rabu, 30 Desember 2015

Disinsentif BBM untuk Insentif BBN

Disinsentif BBM untuk Insentif BBN

  Misbahul Huda  ;  Direktur Utama PT Energi Agro Nusantara
                                                    JAWA POS, 29 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RENCANA pemerintah memungut dana ketahanan energi dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) termasuk keputusan yang cerdas dan berani. Sudah semestinya pemerintah melakukan terobosan yang konkret, sistematis, dan terstruktur, baik untuk menghemat energi fosil maupun mengembangkan energi alternatif.

Pemerintah tidak boleh terlena oleh harga minyak bumi yang sedang anjlok. Penghematan subsidi karena menurunnya harga minyak dunia semestinya dialokasikan untuk mendorong penelitian serta pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) seperti dalam bentuk insentif, subsidi, atau kemudahan regulasi.

Terlepas dari pro-kontra tentang landasan hukum dan tata kelola yang mulai dipersoalkan banyak kalangan, keputusan strategis tersebut seharusnya didukung semua pemangku kepentingan. Toh, menteri ESDM telah berjanji segera membuatkan payung hukum dalam bentuk peraturan presiden atau peraturan menteri guna pelaksanaan pungutan BBM tersebut.

Keputusan pemerintah memungut dana BBM untuk mendorong EBT merupakan sebuah keniscayaan. Kita patut becermin kepada negara-negara yang telah sukses mengembangkan energi alternatif seperti Brasil, Amerika Serikat, dan Thailand. Mereka telah mengalokasikan dana untuk pengembangan energi baru dan terbarukan dalam bentuk insentif bagi pelaku usaha.

Insentif tersebut otomatis dinikmati jika ada investasi di sektor energi terbarukan. Sebaliknya, energi fosil diberi disinsentif, bukannya malah disubsidi seperti di negara kita. Ini sikap yang bertolak belakang dan salah kaprah.

Indonesia di ambang krisis energi. Cadangan minyak bumi Indonesia diperkirakan habis dalam 11 tahun mendatang. Kesenjangan antara lifting minyak dan konsumsi minyak nasional semakin menganga dari tahun ke tahun. Bahkan, Indonesia berpotensi menjadi importer bahan bakar terbesar di dunia pada 2018.

Kini semakin sulit menemukan cadangan minyak baru dari fosil apalagi dengan harga minyak dunia yang serendah saat ini. Jangan harap ada investasi baru untuk bisa mengembalikan produksi minyak lebih dari 1 juta barel per hari seperti dulu.

Dewan Energi Nasional (DEN) yang diketuai presiden telah menyusun Target Bauran Energi yang tertuang dalam PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Terkait dengan pemakaian energi baru dan terbarukan (EBT), targetnya sangat optimistis, yaitu 8 persen pada 2013, naik menjadi 23 persen pada 2025, dan 31 persen pada 2050. Optimisme tersebut tidak berlebihan. Sebab, faktanya, Indonesia mempunyai beragam potensi energi alternatif EBT yang berlimpah.

Di antara energi alternatif yang tersedia, potensi panas bumi dan gas alam diakui paling besar. Namun, eksplorasinya sangat sulit karena alasan teknologi dan biaya investasi. Karena itu, EBT yang paling prospektif dikembangkan adalah bioetanol dari molasses tebu atau singkong dan biodiesel dari sawit, kemiri sunan, atau kelapa. Investasinya murah karena teknologinya relatif sederhana. Selain itu, bahan bakar nabati (BBN) itulah yang paling simpel dan apple-to-apple bisa menggantikan BBM fosil untuk energi transportasi.

Atas imbauan Presiden SBY (2007), telah didirikan beberapa industri BBN, bioetanol, maupun biodiesel. Harga BBN-pun ditetapkan pemerintah (permen ESDM) dengan harga indeks pasar (HIP).

Namun, anjloknya harga minyak dunia membuat HIP BBN tersebut –oleh Pertamina– dianggap kurang kompetitif bila dibandingkan dengan BBM premium bersubsidi. Karena itu, wajar jika BBN yang infant tersebut berhak atas subsidi yang sama dari pemerintah. Sebab, di negara mana pun, harga energi alternatif memang lebih mahal pada awalnya.

Sebenarnya, sudah lama ada aturan yang mewajibkan penggunaan EBT, meski harus bersubsidi. Pasal 21 UU No 30 Tahun 2007 tentang Energi menetapkan, pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan memanfaatkan energi baru dan energi terbarukan.

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan itu dilakukan badan usaha seperti Pertamina, Shell, dan Total. Badan usaha itu pun dapat memperoleh kemudahan dan/ atau insentif dari pemerintah dan/ atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya.

Naifnya, amanat UU berupa subsidi yang telah lama disepakati Komisi VII DPR dan pemerintah (Kementerian ESDM) sebesar Rp 3.000 per liter untuk bioetanol dan Rp 4.000 untuk biodiesel dijegal banggar dan Kementerian Keuangan dalam APBNP 2015. Alasannya, tidak ada lagi subsidi untuk BBM, termasuk BBN.

Akibatnya, upaya pengembangan EBT benar-benar stagnan. Industri bioetanol dan biodiesel terpukul, lesu, pingsan, dan mati suri. Jangankan memulai bisnis baru, yang sudah ada pun sulit bertahan.

Terbukti, di antara lima industri etanol besar di Indonesia, sudah ada dua yang pingsan, satu pabrik mati, dan hanya dua pabrik yang bertahan hidup. Itu pun setelah mereka mengonversi produk mereka menjadi bioetanol food-grade dan pharmacytical grade, bukan lagi BBN (fuel-grade).

Karena itu, sudah sepatutnya terobosan pungutan BBM untuk membiayai pengembangan EBT mendapat apresiasi, khususnya dalam upaya membangunkan kelesuan industri BBN. Kalau hal itu tidak segera diselamatkan, pemerintah akan kehilangan momentum untuk memulai pengembangan BBN yang sangat strategis itu, sedangkan ambang krisis energi sudah terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar