Kamis, 24 Desember 2015

Drama MKD dan Politik Perwakilan

Drama MKD dan Politik Perwakilan

Ahmad Qisa’i  ;  Manajer Program di Kemitraan dan Dosen Pascasarjana
Universitas Paramadina
                                                KORAN SINDO, 23 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kasus sidang Mahkamah Kehormatan Dewan terhadap anggota DPR RI Setya Novanto seharusnya memberikan pembelajaran penting bagi transformasi demokrasi di Indonesia, terutama untuk memperkuat sistem politik perwakilan.

Akhirnya Setya Novanto hanya mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR RI tanpa disertai sanksi konkret dari MKD menunjukkan tontonan drama politik telanjang nan memuakkan. Apalagi, pengunduran diri yang diajukan Setya Novanto bukanlah pengunduran diri dari keanggotaan DPR RI.

Tulisan ini tidak hendak menghakimi Setya Novanto, tetapi untuk menjadi refleksi terhadap politik perwakilan saat ini.

Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (3), peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. Artinya, yang boleh mengikuti pemilihan umum legislatif dan nanti yang memiliki kursi di DPR/DPRD adalah partai politik, bukan individu politisi. Individu politisi hanya menduduki kursi di lembaga legislatif karena kemurahan hati partai politik semata, bukan karena dukungan suara yang diperolehnya. Inilah yang tersurat di dalam UUD 1945.

Penegasan soal kepesertaan pemilu legislatif ini termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 7 tentang Peserta Pemilu. Untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik. Namun, di undang-undang yang sama di pasal yang berbeda, Pasal 154, disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara.

Di sini tersurat ada pembelokan dari mandat Undang-Undang Dasar 1945 tentang peserta pemilu. Bila pasal tersebut dibaca (bagian yang ditulis miring), individu boleh dan sah mengikuti pemilu legislatif selama dia menjadi anggota partai dan menjadi calon anggota legislatif. Bila namanya dicoblos dengan sah, suara yang diberikan oleh pemilih juga sah sebagai suara individu. Suara tersebut juga berkontribusi pada pencapaian suara partai tempat si politisi bergabung. Inilah salah satu penyebab terjadi drama MKD terkait Setya Novanto.

Dalam pemilu legislatif pada 2014, Setya Novanto mendapatkan suara individu yang lebih besar dari suara partainya di daerah pemilihan NTT-2. Sebagai individu, Setya Novanto mendapatkan 85.818 suara sah, jauh melampaui yang diraih partainya dengan 23.911 untuk rekapitulasi suara Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur II (Dapil NTT II).

Momentum Perbaikan Sistem Pemilu

Bila mengacu pada UUD 1945, sistem pemilihan umum legislatif yang berlaku seharusnya adalah sistem daftar partai (party list) di mana hanya partai politiklah yang boleh ikut pemilu legislatif. Pemilih hanya akan memilih salah satu partai di dalam lembar suara pemilu legislatif supaya suaranya sah. Nama-nama calon anggota DPR/DPRD tidak perlu ada di dalam lembar suara karena mereka adalah individu politisi yang bernaung di dalam sebuah partai politik, bukan partai politik. Ini berlaku bagi pemilihan anggota DPR dan DPRD, bukan DPD. Untuk menarik pemilih, nama-nama mereka hanya dikenalkan oleh partai peserta pemilu kepada para pemilih tanpa harus tertulis di dalam lembar kertas suara. Dengan begitu, pemilih hanya akan fokus pada partai politik peserta pemilu, bukan pada individu daftar calon anggota legislatif yang ditawarkan oleh masingmasing partai politik peserta pemilu. Bila ini dilakukan, pelaksanaan pemilu legislatif akan sesuai mandat UUD 1945.

Berdasarkan aturan yang berlaku, keberhasilan Setya Novanto memperoleh suara lebih banyak dari partainya telah mengubah konstelasi dan posisi partai politik terhadap Novanto. Kemenangan Partai Golkar di daerah pemilihan NTT-2 adalah kontribusi besar Novanto, yang tanpanya, Partai Golkar belum tentu bisa memenanginya. Dengan begitu, para petinggi Partai Golkar tidak berani untuk melakukan recall kepada Novanto ketika kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden di MKD bergulir.

Hal yang sama juga seharusnya menjadi pertimbangan Partai Golkar ketika tiga anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Fraksi Partai Golkar hadir dalam acara konferensi pers oleh Menko Polhukam Luhut B Panjaitan ketika proses di MKD sedang bergulir. Menko Polhukam Luhut menjadi salah satu calon saksi yang akan dipanggil di dalam sidang tersebut.

Bila partai politik memang benar-benar berkuasa terhadap kursi-kursi yang diduduki oleh para politisi partai di parlemen, tentu ihwal yang terkait kepantasan dan etika politik yang terindikasi dilanggar oleh anggota dewan tersebut akan menjadi dasar bagi dewan pimpinan partai politik untuk memberikan teguran atau bahkan sanksi disiplin partai. Karena, apa pun yang dilakukan para individu anggota dewan tersebut tidak bisa lepas dari statusnya sebagai kader partai politik dan karena ada dampaknya, baik positif maupun negatif.

Drama MKD dan pengesahan RUU Kodifikasi Undang-Undang Pemilu sebagai salah satu RUU yang akan dibahas di dalam program legislasi nasional 2016 harus menjadi momentum untuk memperbaiki keadaan ini. Pembenahan terhadap aturan yang ada, terutama terkait peserta pemilu sebagaimana dimandatkan UUD 1945, akan bisa memperkuat posisi partai politik dalam upayanya mendisiplinkan anggotanya yang duduk di dewan perwakilan supaya tetap sesuai dengan visi-misi dan program partai. Penegasan aturan ini juga akan memberikan ruang yang luas bagi pemilih untuk menuntut kinerja partai politik yang lebih baik atau menghukumnya di dalam pemilihan umum. Dengan demikian, proses penguatan politik perwakilan sebagai bagian dari transformasi demokrasi di Indonesia bisa terjadi, selangkah demi selangkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar