Selasa, 22 Desember 2015

Gamelan Digital

Gamelan Digital

Agus Bing  ;  Pelaku Seni
                                                      KOMPAS, 20 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di Desa Lod Tunduh, Ubud, menjelang subuh. I Wayan Yudane, komponis Bali yang lama menetap dan berkarya di Selandia Baru, tiba-tiba membunyikan gamelan dari komputer. Suara reong yang dimainkan interlocking, dipadukan suara gangse, jublag, tarompong, dan gong yang rancak langsung menuntun imajinasi hanyut dalam suasana kehidupan Bali yang unik.

Masyarakatnya saban hari nyaris tak bisa dilepaskan dari ritus persembahan. Persis ”Negara Teater”, kata Clifford Geertz. Ketika semua sibuk memikirkan urusan duniawi, Bali tetap setia melakoni perannya sesuai skenario Ida Sang Hyang Widhi Wasa: bekerja, gelar upacara adat, menabuh gamelan, membuat banten, menebarkan aroma dupa, membaca mantra, serta ngayah: berkorban untuk dewa.

”Gamelan ini karya komponis New Zealand, Gareth Farr. Tidak dibuat manual, tetapi memakai komputer,” ujar Yudane, sontak membuyarkan imajinasi yang asyik menikmati irama gending tradisi yang khas. Selanjutnya, imajinasi seperti dipaksa masuk dunia simulakra. Dunia yang dipenuhi reduplikasi obyek-obyek virtual, melahirkan kebudayaan simulasi, jauh melampaui kenyataan (hyper-real). Oleh karena itu, ketika mendengar gamelan digital, yang terbayang tidak lagi kelincahan tangan penabuh ricikan atau eksotisme jagat Bali penuh daya transendental. Namun, suatu dunia yang digerakkan sistem mikroprosesor, microcips, memory bank, memakai kode-kode ”pengangkaan” (digital).

Diawali dari sinilah perdebatan dimulai. Ada yang menganggap kehadiran gamelan digital telah mereduksi kearifan lokal. Bukan hasil kreativitas seniman, melainkan media komputer. Sementara itu, ada juga yang mengatakan, gamelan digital seni abad ke-21. Punya sistem sendiri, disesuaikan napas zaman (zeit geist). Pendek kata, bagaikan mengulang ketegangan dialektis antara Adorno dan Walter Benyamin. Perdebatan ini pun telah memicu distingsi yang pro budaya tinggi dan pro budaya industri. Gamelan digital diposisikan sebagai budaya industri: rendahan, manipulatif, berorientasi pasar dan ekonomi. Sementara itu, gamelan konvensional diposisikan sebagai budaya tinggi, adiluhung. Proses reproduksinya terikat adat, keyakinan. Selalu melibatkan kesatuan kosmologis: manusia, alam, Tuhan.

Transformasi gamelan

Munculnya gamelan digital adalah keniscayaan. Dipicu pikiran manusia yang selalu berevolusi, menyebabkan lahirnya kebudayaan transformatif. Kebudayaan yang tak stagnan, tetapi terus berkembang mengikuti putaran roda zaman. Baik melalui proses akulturasi, difusi, evolusi, maupun revolusi. Oleh karena itu, lahirnya gamelan digital adalah realitas logis dari perkembangan pikiran manusia. Dari pikiran inilah lahir ide-ide baru tentang berbagai hal, termasuk gamelan digital.

Jauh hari, sebelum gamelan digital ada, masyarakat Nusantara—melalui daya pikirnya—telah melakukan transformasi terhadap gamelan. Dibuktikan adanya relief Candi Borobudur yang menceritakan, gamelan awalnya hanya terdiri atas beberapa ricikan (baca James Brandon). Akan tetapi, ketika kesadaran masyarakat atas eksistensi dirinya mulai muncul dan menuntut perubahan, gamelan abad ke-9 tersebut dikembangkan hingga melahirkan gamelan orkestra dan diwariskan sebagai seni adiluhung. Perubahan gamelan abad ke-9 menjadi gamelan orkestra ini pada akhirnya terus berlanjut. Ditandai adanya peralihan dari masyarakat pra-industri menuju masyarakat industri sehingga mengubah teknologi tradisional menjadi teknologi modern. Hal ini sekali lagi juga tak terlepas dari pikiran manusia yang selalu bergerak progresif sehingga memicu lahirnya kebudayaan baru, tak terkecuali gamelan elektronik dan gamelan kromatik.

Paling mutakhir adalah gamelan yang direproduksi komputer. Eksistensinya tak dapat dilepaskan dari electronic numerical integrator and computer (ENIAC). Komputer pertama rancangan Dr John Mauchly dan J Presper Eckert pada 1946 ini adalah cikal bakal lahirnya musical instrument digital interface (MIDI) serta berbagai teknologi turunannya: cubase, logic-pro, fruity loop, sibelius, nuendo, dan software kontakt dan lain-lain. Peranti lunak ini memiliki peran penting atas lahirnya berbagai karya musik digital, termasuk gamelan Bali. Kelahirannya juga dipicu akibat terjadinya transformasi, dari teknologi manual ke teknologi elektronik, kemudian berubah menjadi teknologi komputer.

Jadi, musik gamelan tak lahir dari langit, tetapi melalui transformasi dari satu tradisi ke tradisi lainnya. Gamelan tradisional adalah tradisi masyarakat pra-modern. Sangat alamiah karena bersandar pada kekuatan adikodrati. Gamelan kromatis dan elektronik adalah tradisi masyarakat modern yang berpikir rasional, konsumtif, individual, lebih mengedepankan nilai-nilai kebaruan. Sementara itu, gamelan digital merupakan tradisi masyarakat pasca industri.

Kehidupannya nyaris tidak bisa dijauhkan dari teknologi digital, termasuk Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Dengan demikian, meminjam istilah Yasraf Amir Piliang: dunia benar-benar dapat dilipat!

Meruntuhkan mitos tradisi

Ada fenomena menarik yang bisa dicermati dari munculnya gamelan digital. Ternyata kehadirannya tak hanya menegasikan konsep pemikiran kuno yang terikat ”narasi besar”, tetapi juga menegasikan image mengenai kekuasaan adikodrati yang tabu untuk dilanggar. Karena, sejak adanya MIDI komputer, setiap orang akhirnya bisa menciptakan karya gamelan tanpa harus membakar dupa, menebar bunga, dan membaca mantra-mantra. Mulai menulis notasi, menyusun melodi, membuat aransemen, melakukan mixing hingga recording, semuanya bisa dikerjakan sendiri hanya memakai ”laptop”. Ironisnya, para dewa juga tidak marah, sekalipun proses reproduksi dilakukan di kamar tidur, ruang tamu, taman, kampus, hotel, warung kopi, dan lain sebagainya.

Hal yang sama pada dasarnya juga terjadi terhadap nilai-nilai estetis gamelan digital. Akibat proses reproduksinya dikerjakan MIDI komputer, estetika gamelan digital juga menegasikan nilai-nilai estetis gamelan tradisional. Hal ini tidak terlepas dari suara gamelan yang dihasilkan, bukanlah suara asli—oleh Jean Baudrillard disebut proper sign. Tapi suara artifisial, atau suara yang tidak alami (buatan) akibat direkayasa komputer. Di dalam wacana estetika posmodern, munculnya suara gamelan tersebut, identik dengan gaya pastiche, yakni estetika yang sarat unsur-unsur imitasi, diambil dari budaya masa lalu (gamelan tradisional) lalu dikomodifikasi dengan pendekatan budaya masa kini (gamelan digital).

Kenyataan ini jelas bertolak belakang dengan gaya estetika tradisional yang mengutamakan orisinalitas. ”Sebaiknya berpikir positif saja,” kata Yudane. Lahirnya gamelan digital, menurut dia, justru menjadikan gamelan tradisional makin eksklusif dan tinggi nilainya. Karena pada saat yang palsu banyak diproduksi, yang asli justru makin dicari.

Sejenak suasana menjadi hening. Secangkir kopi panas dan sepiring jajan pasar mendinginkan perdebatan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar