Selasa, 22 Desember 2015

Hanya Komisi ”Pencegahan” Korupsi?

Hanya Komisi ”Pencegahan” Korupsi?

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa, Makassar
                                                KORAN SINDO, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Catatan sejarah pemberantasan korupsi di negeri yang korupsinya membeludak menuntut ada institusi pemberantas yang kapabel, tepercaya, dan berani.
Tetapi, belakangan ini idiom itu yang mestinya menjadi landasan KPK selaku institusi khusus mulai dipatahkan. KPK jilid ketiga dituding hanya mengedepankan penindakan ketimbang tugas lainnya seperti koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitoring. Sepertinya kata ”kejahatan luar biasa” (extraordinary crime) yang digaungkan dalam alinea kedua Penjelasan Umum UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK) mulai dipinggirkan dari wacana pemberantasan korupsi.

Juga, tidak lagi memahami penegasan Konvensi Internasional PBB di Vienna, 7 Oktober 2013 bahwa korupsi itu kejahatan luar biasa. Begitu pula, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) menyebut korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Saya setuju lima tugas KPK dalam Pasal 6 UU KPK dilaksanakan secara sinergis. Tidak boleh hanya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang membuat publik kagum garagara menangkap pejabat negara sekelas menteri aktif, ketua umum partai politik, anggota DPR, kepala daerah, dan pengusaha hitam yang berkelindan dengan penyelenggara negara. Saya juga setuju KPK perlu diawasi institusi lain agar tudingan pelanggaran HAM dalam penindakan tidak selalu dijadikan titik pelemahan.

Penyadapan dan Pencegahan

Kalau KPK didesain sekadar ”pencegahan” tanpa diiringi penindakan yang tegas seperti selama ini, saya khawatir KPK berubah nama menjadi Komisi ”Pencegahan” Korupsi. Lima pimpinan KPK yang dipilih DPR (17/12/2015) yang ingin lebih mengefektifkan upaya pencegahan, dari satu sisi tentu diapresiasi.

Namun, jangan mengabaikan penindakan yang awalnya didasari hasil penyadapan. Transaksi suap dan gratifikasi di ruang-ruang gelap hanya bisa dideteksi dan diungkap dengan penyadapan. Sebelum ada KPK, tidak pernah terdengar ada kasus suap dibawa ke pengadilan. Kenapa begitu, karena penyidik polisi dan kejaksaan dibatasi wewenang penyadapannya yang harus mendapat izin.

Selain proses administrasinya rumit dan lamban, juga informasi penyadapan bisa bocor. Saya juga setuju penyadapan KPK diperbaiki agar lebih efektif, tetapi tidak dibonsai dengan proses administrasi. Penyadapan harus dilakukan dengan memerhatikanetika, tidakmenyalindan merekam pembicaraan orang yang bersifat pribadi yang tidak ada kaitannya dengan perkara.

Begitu pula pencegahan KPK yang masih lemah, juga perlu ditingkatkan. Pasal 13 UU KPK mengatur tugas pencegahan yang harus diefektifkan. Pertama, pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Harus ada sanksi bagi penyelenggara negara yang lalai melaporkan harta kekayaannya. Kedua , menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi.

KPK harus memotivasi pegawai negeri dan penyelenggara negara bersikap jujur dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Itulah filosofi pengaturan gratifikasi, bukan diarahkan pada penindakan semata. Ketiga, menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada jenjang pendidikan.

Di sini KPK berkoordinasi dengan Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah untuk meramu kurikulum antikorupsi. Di perguruan tinggi misalnya mata kuliah pemberantasan korupsi masih banyak yang tidak berdiri sendiri. Ia membonceng pada mata kuliah ”Tindak Pidana Khusus” sehingga amat sedikit porsi pembahasannya karena hanya diberikan dalam dua kali pertemuan. Keempat, program sosialisasi dan kampanye antikorupsi.

Sebetulnya KPK cukup intensif melakukan hal ini dengan melibatkan aktivis antikorupsi, kampus, media massa, dan instansi pemerintah. Kelima, kerja sama bilateral dan multilateral dalam upaya memberantas korupsi. Semua pola pencegahan begitu penting disinergikan. Tetapi, lebih penting lagi kesungguhan setiap institusi pemerintah dan swasta melakukan pencegahan di lingkungannya. Jangan hanya berharap pada KPK.

Kepercayaan Publik

Penelitian Center for Strategic and International Studies (CSIC) menyebut sebagian besar masyarakat menginginkan pemiskinan para koruptor. Sebesar 92,4% responden setuju ketegasan hukum untuk memiskinkan koruptor.

Sementara hasil survei Indo Barometer menempatkan KPK sebagai institusi penegakhukumyang” palingdipercaya publik”, disusul Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mengacu pada survei itu, tentu tidak keliru jika KPK dan TNI mendapat tempat terhormat di hati publik. Setidaknya dua aspek yang mendasarinya. Pertama, publik melihat KPK dan TNI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya membawa rasa keadilan dan kepastian bagi rakyat.

Ada keyakinan publik bahwa KPK dan TNI senantiasa tegas dan tanpa kompromi dalam melaksanakan amanah rakyat. Keberanian menindak para koruptor bagi KPK, dan ketegasan menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi TNI, telah mengonfirmasi kehadiran rasa keadilan dan kepastian bagi rakyat. Kedua, publik melihat dua institusi itu selalu membawa kesejukan dan kepercayaan. Para pengemplang uang rakyat yang ditangkap KPK dirasakan langsung manfaatnya. Kenapa begitu?

Karena, rakyatlah yang ”menjadi korban” para koruptor. Kalau ada yang ditetapkan tersangka atau ditangkap tangan KPK, rakyat merasa ada perlindungan lantaran korupsinya tidak berlanjut, bahkan uang yang dikorup bisa dikembalikan. Publik ingin KPK jilid keempat tidak luntur ketegasan dan profesionalitasnya seperti KPK sebelumnya.

Jika lima pimpinan KPK yang kemarin dipilih DPR berangkat dari ”pesimisme” publik, sebaiknya dijadikan cambuk untuk berbuat lebih baik. Kalau hanya melulu melakukan pencegahan, tetapi abai pada penindakan, publik bisa menilai buat apa institusi khusus dibentuk. Kalau ada penilaian, penindakan KPK tidak berbanding lurus dengan penurunan perilaku korupsi karena korupsi memang banyak dan masif. Itu sebabnya kasus korupsi juga banyak diungkap KPK, kepolisian, dan kejaksaan.

Saya khawatir perang terhadap perilaku korup tidak akan pernah kita menangkan jika pola penanganannya bergeser drastis. Perlu diingat, pelaksana pengadaan barang dan jasa selalu ingin menggampangkan prosedur yang diatur dalam Perpres Nomor 4/2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54/2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar