Senin, 21 Desember 2015

Jokowi Tak Mampu Marahi Rupiah

Jokowi Tak Mampu Marahi Rupiah

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                                     HALUAN, 16 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mata pelaku bisnis tentu tak pernah lepas menyoroti rupiah yang kem­bali terjerembab ke posisi 14.000. Dengan fluktuasi mata uang yang ada, mau tak mau, dunia bisnis harus kembali memasang target konservatif dalam agenda bisnis tahun depan karena rupiah kembali dalam po­sisi beberapa bulan lalu, yakni posisi kurs yang susah dipegang.

Diperkirakan, tren penu­ru­nan rupiah juga memaksa pe­ngusaha menyiapkan ske­na­rio terburuk dalam pe­nen­tuan asumsi nilai tukar ru­piah. Karena, asumsi kurs ru­piah terhadap dollar AS yang tercantum dalam Ang­ga­ran Pendapatan dan Be­lan­­ja Negara (APBN) tahun 2016 sebesar 13.400 sulit un­tuk dipertahankan. Ba­gai­­manapun, bagi sejumlah pe­bisnis, patokan kurs sele­vel­ itu sudah tidak realistis dan tak relevan lagi. Akhir­nya, meereka harus berani membuat patokan kurs sen­di­ri dalam rentang Rp 13.500-Rp 14.500 per dollar AS.

Demikianlah suara-sua­ra dunia bisnis yang marak saya baca belakangan ini di harian-harian ekonomi na­sio­nal dan regional. Fakta­nya, sejak Agustus 2015 rupiah tak pernah menyen­tuh 13.400. Selain itu, di luar konteks kurs mata uang, masih banyak juga  faktor lain yang membuat bisnis tahun depan tampak su­ram. Mulai dari daya beli masya­rakat yang tak mem­baik, pelaksanaan me­ga proyek in­fra­struk­tur pemerintah masih tanda tanya, ekonomi global yang masih le­su, hingga harga ko­mo­ditas yang masih tertekan tak karuan.

Singkat cerita, di­te­ngah kondisi yang jauh dari ke­pas­tian ter­sebut, salah satu hara­pan dunia usaha adalah bahwa tahun depan ru­piah bisa stabil, tidak ter­lalu liar seperti tahun seka­rang. Pro­yeksi pergerakan mata uang garuda yang bisa dipegang adalah hal yang  penting. Dengan proyeksi yang rela­tif valid dan kredible, maka pengusaha bisa membuat perhitungan biaya yang le­bih pasti, terutama industri yang mengandalkan bahan baku impor.

Sebut saja misalnya un­tuk industri farmasi. Fluk­tuasi nilai tukar akan mempengaruhi beban peru­sa­haan. Dengan asumsi rupiah yang stabil, plus laju belanja pemerintah yang relatif lan­car, maka prediksi pertum­buhan bisnis farmasi secara umum bisa sangat optimis. Berdasarkan analisa yang berkembang, jika rupiah sta­bil, maka pertumbuhan industri farmasi bisa mencapai 11% tahun depan.

Namun jika yang terjadi justru berlawanan dengan harapan, niscaya laju indus­tri farmasi makin terberat­kan. Jika pertumbuhan ter­hambat, tidak hanya dividen untuk pemegang saham dan keuntungan korporat yang menipis, tapi ekspansi bis­nis yang diperkirakan akan membantu pertumbuhan lapangan kerja baru juga akan terhambat.

Selain itu, Rupiah yang stabil diperkirakan juga akan menjadi harapan pebis­nis makanan dan minuman. Hal ini tentu sangat bisa dipahami karena sekitar 25% bahan baku industri makanan masih mengan­dalkan impor. Mulai dari terigu, gula, hingga kemasan produk. Saat rupiah lemah, otomatis beban impor akan naik, yang bisa membebani biaya produksi. Dilemanya, pelaku bisnis di sektor ini tentu harus berpikir seribu kali untuk menaikkan harga jual saat daya beli konsumen melorot karena akan sangat berpengaruh terhadap de­mand dan pangsa pasar.

Buruknya performa ru­piah saat hari libur nasional Pilkada langsung  terutama disumbang oleh keper­ca­yaan pelaku pasar yang me­ro­sot terhadap perekonomian Tiongkok. Imbasnya, rupiah sempat menyentuh lagi level Rp 14.000 yang selama ini dihindari. Di pasar spot hari Rabu (9/12), posisi rupiah terpuruk 0,88% ke level Rp 14.016 per dollar AS dibanding hari sebelumnya. Sedang­kan kurs tengah Bank Indo­nesia sedang libur ketika itu alias tanpa perdagangan.

Walaupun data inflasi China dirilis positif di bulan November 2015 menjadi 1,5% dari sebelumnya sem­pat bertengger di level 1,3%. Namun data itu di­angg­ap kurang signifikan dan belum meng­indi­kasi­kan pemulihan pereko­no­mian China sama sekali. Karena sehari sebelum data inflasi dirilis, data neraca perdagangan China untuk bulan November 2015 ter­nyata surplusnya merosot dari 393 miliar yuan men­jadi 343 miliar yuan. De­ngan level impor yang turun 5,6% dan ekspor turun 3,7% dibanding tahun sebe­lum­nya. Bahkan cadangan devisa China pun ikut turun dari $ 87,2 miliar.

Dengan kondisi yang demikian, tang­gal 9 Desember 2015  lalu China mengambil kebijakan lanju­tan untuk membiarkan nilai tukar yuan melemah terha­dap dollar Amerika Serikat (AS). Hal ini terjadi setelah Negeri Panda tersebut me­mo­tong tingkat referensi yuan ke level terlemah sejak tahun 2011. Setelah masuk ke keranjang Special Dra­wing Rights (SDR) Dana Moneter Internasional, Pe­me­rintah China secara ber­tahap membiarkan depre­siasi yuan secara bertahap pula. Otoritas terkait akhir­nya  menepati janji untuk tak akan lagi mendevaluasi yuan seperti sebelumnya.

Jadi tertanggal 9 de­sem­ber 2015 kemaren, Chi­na me­netapkan kurs tengah yuan di level 6,4140 per dollar AS. Sebelumnya, kurs te­ngah yuan dipatok pada le­vel 6,4078 per dollar AS. Se­hing­ga mau tak mau kurs yuan akan menjadi lebih sensitif terhadap dollar AS. Me­nurut para analis, China se­dang melakukan stress test di pasar mata uang se­be­lum Bank Sentral AS me­naik­kan suku bunga un­tuk me­lihat apakah ada kepani­kan di pasar atau tidak. Dan fak­tanya memang demikian, di bursa Shang­hai, yuan ja­tuh 0,14% men­jadi 6,4172 per­ dollar AS setelah kebijakan terse­but. Bahkan sejak 10 Agus­tus 2015, kurs yang juga dikenal dengan sebutan ren­min­bi itu telah merosot 3,4%.

Pelemahan yuan tentu mempunyai sisi irisan de­ngan niatan pemerintah Tiongkok yang ingin meng­genjot eksport karena hasil produksi negara panda ini akan menjadi lebih murah dipasaran. Namun bagi ne­ga­ra seperti Indonesia, pele­mahan yuan akan berimbas kurang positif karena diper­kirakan akan terjadi serbuan produk-produk China di pasaran domestik dan akan memperlebar angka minus perdagangan antara China dan Indonesia, yang kemu­dian akan memberikan teka­nan ada mata uang Rupiah.

Selain faktor tiongkok, meningkatnya ekspektasi kenaikan tingkat suku bu­nga The Fed atau Bank Sen­tral Amerika juga kerap menggangu vitalitas Ru­piah, ditambah dengan kian merosotnya harga komo­di­tas andalan ekspor Indo­ne­sia akibat harga minyak du­nia yang terus terjun be­bas.

Nah, ketika rupiah bera­da ditengah kepungan yang demikian pelik tersebut, publik  hanya bisa menik­mati aksi-aksi para elit poli­ti­si yang tak henti-hentinya dirundung masalah. Mereka saling baku hantam dan saling jual kebolehan dalam hal bongkar pasang aib ma­sing-masing tanpa pernah ingat untuk apa mereka didaulat menjadi politisi.  

Apapun itu, catatan pen­ting dari saya terkait masa­lah rupiah dan politisi ini adalah bahwa semarah apa­pun Jokowi, bahkan jikapun kemarahannya menjadi head­­­line di semua media uta­ma nasional, Rupiah akan tetap begitu dan seperti itu, karena yang dibutuhkan oleh rupiah bukanlah ke­ma­rahan dan relasi konfliktual yang tak berbasiskan ke­pen­tingan rakyat, tapi kebijakan yang benar-benar berda­sar­kan pada kondisi funda­men­tal yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar