Selasa, 22 Desember 2015

Mahkamah

Mahkamah

Putu Setia  ;  Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                               KORAN TEMPO, 19 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sebuah mahkamah bersidang berhari-hari dengan seru. Tontonan menarik di televisi bagi yang bosan dengan sinetron dari India. Namanya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Tugasnya memeriksa apakah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto menyalahi etika ketika bertemu dengan Direktur Utama PT Freeport yang disertai seorang juragan minyak.

Ini mahkamah yang lucu. Puncak lucunya ketika mengakhiri sidang tanpa keputusan. Apakah Setya Novanto dihukum ringan, sedang, atau berat, sesuai dengan kriteria hukuman yang ada, tak jelas disebut. Memang, ketika 17 anggota MKD memberikan "keputusan pribadi", ada 10 orang menyatakan Setya patut diberi hukuman sedang, sementara tujuh lainnya mengganjar hukuman berat. Selain tak memutuskan apa-apa, MKD malah membacakan surat pengunduran diri Setya sebagai Ketua DPR, padahal MKD hanya mendapatkan tembusan.

Prof. Mahfud Md., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, heran dengan ulah MKD ini. Kata dia, dampaknya nanti adalah Setya Novanto tak pernah secara formal dinyatakan bersalah. Setya mundur bukan karena keputusan MKD tetapi "kesadarannya" sendiri. Apa kata Ketua MKD, Surahman Hidayat? Dia berkukuh bahwa Novanto sudah menyalahi etika, terbukti semua anggota menyatakan begitu. Namun sidang MKD tidak diteruskan karena keburu ada surat pengunduran diri.

Pakar hukum bertanya, untuk apa bersidang kalau tak membuat keputusan? Sementara itu, Surahman berpegang pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang di pasal 127 berbunyi: Pengaduan pelanggaran terhadap anggota DPR tidak dapat diproses apabila teradu: a. meninggal dunia; b. telah mengundurkan diri; atau c. telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik. Karena Novanto sudah mengundurkan diri, meski saat-saat terakhir, sidang tak bisa diteruskan.

Berdebat soal ini tentu percuma. Sejak dari perundang-undangan, MKD itu "tidak normal". Tingkat kesalahan etika ada tiga: ringan, sedang, dan berat. Tapi pelanggaran berat harus dilanjutkan dengan membentuk panel, melibatkan empat orang di luar DPR dan tiga anggota MKD. Hasil panel ini dibawa ke sidang paripurna dan panel bisa menganulir keputusan MKD. Celah ini yang ditempuh pendukung Novanto sehingga mendadak sontak "menghukum berat". Lucu, anggota MKD yang tadinya meragukan rekaman itu asli dan menolak menyebut Setya melanggar etika, malah sang pelapor disebut tak beretika, tiba-tiba balik menghukum berat.

Manuver MKD vulgar sejak awal. Mereka memakai "busana hakim" dan mengumumkan di awal sidang mereka harus dipanggil "yang mulia"—sebutan formal untuk hakim-hakim di pengadilan negeri. Tapi ulah mereka jauh dari hakim. Para "yang mulia" tak segan-segan bertengkar di dalam sidang, mana ada hakim seperti itu. Bahkan tiga "yang mulia" menemui seorang saksi yang terkait dalam perkara. Mereka melecehkan kemuliaannya. Anehnya, pada saat sidang terakhir untuk menjatuhkan vonis—meskipun vonisnya tidak jadi ada—sebutan "yang mulia" hilang. Bahkan baju yang "diduga meniru hakim" pun tak dikenakan lagi.

Inilah mahkamah sesuka hati. Sesama hakim saling mengadukan. Akbar Faisal diadukan Ridwan Bae, pengaduan diterima pimpinan DPR, lalu Akbar dinonaktifkan menjelang memberi keputusan. Adapun Akbar yang mengadukan Ridwan Bae tak direspons pimpinan DPR. Lucunya, usai sidang MKD, Ridwan mencabut pengaduan itu.

Pertanyaan tersisa, apakah wawasan MKD mencerminkan parlemen keseluruhan? Kalau urusan sidang mengadili etika begini saja tak dipahami, bagaimana DPR bisa menghasilkan undang-undang untuk bangsa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar