Rabu, 30 Desember 2015

Makelarisasi Gas Bumi Nan Dahsyat

Makelarisasi Gas Bumi Nan Dahsyat

  Agus Pambagio  ;  Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
                                                  DETIKNEWS, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rencana Pemerintah untuk mengkonversi bahan bakar minyak (BBM) dengan gas bumi dan energi baru terbarukan (EBT), sampai hari ini masih terkendala. Hasil investigasi saya menunjukkan, bahwa penyebabnya sangat sederhana, yaitu makelarisasi. Namun kali ini saya hanya akan membahas kendala yang terkait dengan gas bumi, sedangkan untuk EBT segera menyusul.

Kegagalan Pemerintah mengkonversi BBM ke gas bumi patut diduga memang dihambat oleh sekelompok elite bangsa ini yang bertindak sebagai makelar (trader). Mereka kencang membantai Kementerian ESDM dan BUMN Migas (PT Pertamina dan PT PGN), seolah-olah mereka orang paling paham dan paling jujur di republik ini.

Dengan cadangan gas bumi yang cukup besar (terhitung 1 Januari 2015 sebesar 151,33 TCF atau meningkat 1,36% dibandingkan cadangan gas bumi 1 Januari 2014 sebesar 149,3 TSCF, sumber: Indonesia Infrastruture News, Nopember 2015), Indonesia menjadi sasaran makelar gas paling menjanjikan. Menjamurnya makelar gas atau yang sering kita kenal dengan sebutan trader gas bermula ketika pada tanggal 14 Oktober 2004, Presiden Megawati menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi.

Sejak itulah model usaha gas bumi Indonesia dikuasai oleh trader yang mengakar di oknum politis dan pejabat negara beserta keluarganya. Makelar gas tidak kalah dahsyat sepak terjangnya dengan makelar minyak.

Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan kedahsyatan makelar gas mendulang 'fulus' dengan sangat mudah dan tanpa modal di tengah kesulitan masyarakat mendapatkan energi murah dari bumi Indonesia. Analisa saya kali ini berdasarkan dokumen resmi milik Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas) tentang Pengaturan Harga Gas Bumi, Oktober 2015.

Strategi Makelar Menguasai Gas Bumi Indonesia

Untuk mengatur gas bumi, antara lain Pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan, antara lain PP No, 30 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Migas, Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 19 Tahun 2009 Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa.

Kedua aturan tersebut dalam pelaksanaannya saling bertabrakan. Pasal 72 PP No. 30 Tahun 2009 menyatakan bahwa harga BBM dan gas bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 21 ayat (4) dan (5) Permen No. 19 Tahun 2009 menyatakan bahwa harga gas bumi melalui pipa untuk pengguna umum ditetapkan oleh Badan Usaha dan wajib dilaporkan ke Menteri, dalam hal ini Menteri ESDM.

Dengan tidak diaturnya harga gas bumi oleh Pemerintah tetapi oleh badan usaha, mendorong munculnya banyak trader bertingkat. Akibatnya muncul perbedaan harga yang sangat besar dan tidak terkontrol antara harga gas di pasokan (hulu) dengan harga gas di konsumen (hilir).

Kondisi saat ini, gas bumi yang berasal dari sumber gas milik Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), misalnya Petrochina di Tuban yang seharusnya dialirkan langsung ke beberapa pabrik (konsumen) di Sidoarjo yang berjarak sekitar 90 km, ternyata tidak dapat dilakukan langsung oleh Petrochina karena gasnya harus melalui segerombolan trader. Tidak percaya? Mari kita cermati ilustrasi berikut ini.

Misalnya gas dari salah satu KKKS (Petrochina Tuban) dijual/disalurkan ke konsumen melalui jaringan pipa transmisi (open access) milik PT Pertagas Niaga dan/atau PT PGN. Kemudian gas disalurkan melalui pipa distribusi yang masih dedicated hulu (umumnya milik PT PGN) ke konsumen. Konsumen akan membayar harga gas ditambah toll fee, misalnya sekitar USD 0.25/mmbtu. Harga gas Petrochina Tuban, misalnya USD 7/mmbtu, maka industri di Sidoarjo seharusnya hanya akan membayar untuk gas yang mereka butuhkan sebesar USD 7/mmbtu + USD 0.25/mmbtu = USD 7,25/mmbtu. Murah kan ?

Sayang konsumen harus membayar jauh lebih mahal, karena adanya sistem makelarisasi gas bumi. Mari kita lihat kisah perjalanan gasnya.

Pertama, gas Petrochina Tuban dialirkan melalui pipa transmisi, misalnya milik PT Pertagas Niaga dan/atau PT PGN ke PT Belian Energi (BE) seharga USD 9/mmbtu. Keuntungan PT BE adalah Rp 1,75/mmbtu. Lalu oleh PT BE, gas tersebut dijual lagi ke trader lain, misalnya PT Gembel Energi (GE), yang memiliki jaringan pipa 12 inchi sepanjang 'hanya' 850 meter, dengan harga USD 11,25/mmbtu. Selisih harga jual atau keuntungan PT GE adalah USD 2,25/mmbtu.

Kemudian PT GE menjual jatah gasnya ke trader berikutnya, yaitu PT Rakus Energi Utama (REU), yang sudah membangun pipa 6 inchi sepanjang 'hanya' 936 meter, dengan harga USD 12,75/mmbtu. Selisih harga atau keuntungan PT REU sebesar USD 1,50/mmbtu. Lalu pada akhirnya PT REU menjual gasnya ke konsumen (industri di Sidoarjo) sebesar USD 14/mmbtu. Keuntungan PT REU sebesar Rp 1,25/mmbtu. Semua keuntungan trader sudah termasuk toll fee pipa transmisi dan distribusi.

Semua pipa transmisi dan distribusi yang digunakan oleh trader, adalah milik PT Pertagas Niaga dan/atau PT PGN. Saat ini Pertagas mempunyai pipa transmisi di seluruh Indonesia sepanjang kira-kira 1.900 km dan PT PGN kira-kira sepanjang 2.200 km dan keduanya open access. Di luar pipa transmisi, PT PGN masih mempunyai jaringan pipa distribusi yang dedicated hilir sepanjang kira-kira 4.270 km.

Melihat situasi yang demikian, Pemerintahan JKW-JK kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta  Harga Gas Bumi. Namun berhubung para trader tidak berkenan, mereka berupaya keras supaya Menteri ESDM merevisi Permen ini sebelum tanggal 31 Desember 2015. Sebab kalau tidak direvisi, sebagian besar trader habis izinnya pada tanggal 31 Desember 2015.

Langkah Pemerintah Mengatur Harga Keekonomian Gas Bumi  di Hilir

Pertama, Pemerintah cq Kementerian ESDM harus tegas untuk tidak memperpanjang izin para trader gas, kecuali mereka sudah membangun jaringan pipa. Pembersihan trader gas oleh Pemerintah harus cepat dilakukan supaya konversi BBM ke gas bumi bisa cepat terlaksana.

Kedua, jika Pemerintah cq Kementerian ESDM kesulitan karena adanya tekanan lobi politik dari para trader gas terkait dengan revisi Permen ESDM No. 37/2015; pastikan hanya trader yang sudah membangun jaringan pipa transmisi dan/atau distribusi gas ke konsumen yang diberikan izin beroperasi kembali. Bukan yang abal-abal. Misalnya jarak ke konsumen 20 km, pipa transmisi dan/atau distribusi gas yang dibangun hanya sepanjang 900 m bukan 20 km.

Ketiga, awasi dengan ketat pelaksanaan peraturan perundang undangan yang ada, supaya tidak muncul lagi trader gas abal-abal.

Habisi makelarisasi gas bumi demi kelangsungan hidup energi bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar