Kamis, 24 Desember 2015

Mengelola Transportasi di 2016

Mengelola Transportasi di 2016

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 23 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam beberapa hari menjelang penutupan tahun ini, berita yang menarik perhatian kita adalah sektor transportasi. Mulai dari larangan atas transportasi yang memanfaatkan aplikasi teknologi hingga mogoknya sopir-sopir Metromini selama lima hari belakangan ini. Dalam kasus transportasi berbasis aplikasi, perkembangan teknologi informasi telah melampaui zaman transportasi konvensional. Pada saat aturan tentang transportasi umum dibuat, belum ada yang berpikir bahwa ojek atau kendaraan pribadi bisa menjadi sarana transportasi melalui penguasaan teknologi informasi.

Selain aturan yang terkait dengan lalu lintas, hubungan antara pengemudi dengan pemilik aplikasi juga tidak masuk dalam aturan hubungan ketenagakerjaan yang diatur di dalam undang-undang. Sejauh yang saya ketahui, hubungan para pengemudi dan pemilik aplikasi lebih mirip hubungan antara pembeli dan penjual atau seperti mitra. Penyebabnya karena pengemudi tidak digaji oleh pemilik aplikasi, bahkan mereka justru memberi komisi kepada pemilik aplikasi. Pekerjaan juga diterima bukan dari perusahaan, tetapi dari penumpang yang memanfaatkan aplikasi tersebut. Pengemudi juga bisa bekerja sesuai dengan waktu yang ditentukannya sendiri. Ini bertolak belakang dengan konsep ketenagakerjaan konvensional yang di dalamnya lapangan kerja tercipta karena ada majikan yang mempekerjakan buruh atau tenaga kerja.

Perubahan zaman adalah hal yang harus dengan cepat diantisipasi Pemerintah Indonesia. Sejumlah penelitian telah dilansir negara-negara maju, yaitu mereka menyuarakan perlunya mewaspadai perubahan jenis lapangan kerja dan model relasi ketenagakerjaan yang makin dramatis dalam waktu-waktu ke depan. Kebutuhan praktis konsumen menjadi pemicu perubahan ini.

Di Australia, misalnya, kepiawaian pekerja mengoperasikan komputer dan ragam teknologi informasi termasuk juga mesin-mesin canggih berbasis robot telah dibicarakan sebagai masa depan ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan pengaturannya oleh pemerintah. Misalnya saja, meskipun pekerjaan sebagai sopir kendaraan umum tetap dibutuhkan, jenis kendaraan umum yang digemari bukan lagi taksi berpelat kuning, melainkan taksi gelap yang terlacak keberadaan dan kinerjanya lewat satelit. Karena sopirnya paham bahwa penumpang adalah majikan, perlakuan pada penumpang katanya lebih baik.  Di bidang konstruksi meskipun tetap dibutuhkan tukang dan kuli, mereka ini harus piawai menggunakan alat-alat berat dan siap beradu kompetensi lewat sertifikasi. Sementara itu petani tetap diperlukan, tetapi pekerjaan mereka perlu dibuat lebih bergengsi dengan diintegrasikannya proses produksi sektor pertanian dengan sistem logistik dan teknologi informasi yang canggih hingga bisa melacak tempat produk pertanian dihasilkan dan dikemas.

Jadi, upah tinggi tidak lagi dianggap sebagai barang yang tabu untuk dibicarakan karena gaya hidup masyarakat yang cenderung konsumtif dan merindukan kenyamanan tidak dikecam, melainkan dimaklumi. Kecenderungan masyarakat justru dijadikan peluang bagi siapa pun yang bisa menyediakan barang dan jasa secara cepat, tepat, bermutu atau sesuai dengan selera konsumen.

Saya membayangkan, tidak mustahil bahwa kurang dari 10 tahun lagi, kota-kota besar di Indonesia akan lebih dominan didiami oleh para pekerja yang secara kompetitif mempertahankan tingkat upah yang mereka idamkan. Rata-rata orang yang tinggal di kota-kota besar adalah mereka yang terampil menggunakan teknologi informasi dan punya inovasi dalaml ini pekerjaannya. Sementara itu mereka yang sekadar menunggu, bermental suruhan, dan kurang terampil harus siap tersingkir ke pinggiran atau mengais dari ruang rezeki yang tersisa.

Zaman telah berubah dan hal ini nyata terlihat di pusat aktivitas bisnis seperti di ibu kota provinsi. Pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% dalam 10 tahun terakhir ini telah menciptakan kelompok-kelompok menengah yang berpendapatan Rp2 juta-10 juta rupiah per bulan. Mereka biasa disebut sebagai kelas menengah yang punya gaya hidup konsumtif.

Apakah kelas menengah kita mumpuni? Lebih jauh lagi, apakah pemerintah kita sadar akan perubahan zaman ini dan mau menjadi lentera bagi bangsanya di tengah arus perubahan global yang dahsyat ini? Tahun 2016 sudah di depan mata, ada perlunya kita bergegas berbenah diri.

Dunia modern tidak akan ada maknanya tanpa manusia-manusia yang beradab. Beradab salah satu karakternya adalah sadar aturan, sadar bahwa dirinya harus mendorong keteraturan dan rela diatur atau diarahkan.

Kembali soal transportasi. Yang sedang digalakkan di tingkat global dan regional adalah konektivitas alias keterhubungan antarmanusia dan antara satu tempat dengan tempat lainnya. Di masa mendatang, barang atau jasa tidak boleh terhambat hanya karena tidak bisa ”diantar” kepada konsumen dengan tepat waktu. Itu sebabnya di bulan Januari mendatang, China meresmikan inisiatif Asian Infrastructure Investment Bank dan Indonesia menjadi salah satu pendukungnya. Di ASEAN, isu konektivitas dan pembangunan infrastruktur serta moda transportasi antarnegara sudah ada peta jalannya sejak 2010.

Artinya sangatlah tepat jika kita di dalam negeri bicara juga tentang cara-cara jitu membenahi konektivitas antarmanusia di Indonesia. Kalau bukan kita yang membenahi, nantinya kita yang akan dibenahi oleh tenaga-tenaga kerja asing yang piawai ”menjawab” kebutuhan konsumen Indonesia.

Berikut ini sejumlah perubahan zaman yang perlu diantisipasi pemerintah.

Pertama , kendaraan pribadi yang dijadikan alat transportasi massal adalah upaya pekerja mencari solusi dari tidak memadainya infrastruktur jalan dan moda transportasi umum. Ojek berbasis online justru model baru. Yang sudah lebih lama dipraktikkan sejak 1980-an adalah pooling mobil. Mereka yang bekerja di Jakarta tetapi tinggal di Depok, Bogor, Bekasi atau Cibubur memilih untuk ”nebeng” mobil-mobil pribadi di waktu pagi dan turun di titik-titik strategis seperti di samping Kampus Atmajaya di bilangan Sudirman atau di waktu malam ikut pulang di atas jam 9 malam hingga dini hari ke daerah rumah masing-masing. Ini menjadi alternatif transportasi yang dapat diandalkan setelah Metromini atau Kopaja pulang ke kandang untuk beristirahat.

Artinya tempatkanlah pengaturan moda transportasi dalam konteks menjembatani peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja dan pebisnis Indonesia. Hindarilah aturan-aturan yang justru menambah beban tenaga kerja dan pebisnis lokal yang tiap hari harus sabar membuang waktu 2-6 jam pergi-pulang ke tempat kerja.

Kedua, apa pun jenis moda kendaraan pasti ada risiko kecelakaan. Bagi yang mengoperasikan kendaraan, risiko ini masuk dalam kategori kecelakaan kerja, tetapi karena jenis pekerjaan ini belum terdeteksi oleh sistem ketenagakerjaan di Indonesia, kesadaran dari para pengemudi untuk mengasuransikan diri menjadi sangat penting. Jika tidak, risiko kecelakaan tidak hanya menjadi beban keluarga, tetapi juga beban negara. Bagaimana cara membangun kesadaran itu, tentu bukan dengan menghukum, tetapi dengan melakukan pendidikan publik yang menarik.

Korlantas Polri menyebutkan pada 2011-2013 kecelakaan lebih banyak terjadi di pagi hari (34%) dan sore hari (24,14%). Periode waktu ini menunjukkan bahwa frekuensi tingkat kecelakaan terjadi pada saat pekerja berangkat dan pulang dari tempat kerja. Dari jenis kendaraannya, Korlantas menyebut bahwa jenis kendaraan roda dua atau sepeda motor yang lebih banyak mengalami kecelakaan bila dibandingkan dengan alat transportasi lain. Secara statistik kecelakaan sepeda motor sebesar 52,5%, kendaraan roda empat atau mobil pribadi 20%, alat transportasi pengangkut barang 17,5%, dan bus 10%.

Penelitian Manajemen Sistem Keselamatan Jalan Terpadu (IRSM) mencatat dari sisi probabilitas, kemungkinan untuk hidup dari mereka yang mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, terutama kendaraan roda dua, juga sangat kecil karena data itu memperlihatkan bahwa 70% pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan pasti meninggal dunia dan sebagian besar usia mereka adalah usia produktif pada kelompok usia 15-29 tahun. Bayangkan bebannya bagi keluarga, anak-anak yang ditinggalkan, serta komunitas.

Ketiga , karena penguasaan atas data dan teknologi informasi sudah menjadi tren bisnis di sektor transportasi dan infrastruktur, tidak bisa tidak Pemerintah Indonesia harus lebih sigap mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif bagi pebisnis-pebisnis lokal untuk mengembangkan keahlian dan daya saing di bidang data dan teknologi informasi.

Generasi muda pun harus dibina. Program-program beasiswa dari pemerintah jangan lagi dihambur-hamburkan untuk sebebas-bebasnya program studi. Pemerintah bertanggung jawab menggerakkan orang muda Indonesia untuk mengembangkan keahlian dan keterampilan di bidang-bidang yang strategis.

Patut diketahui bahwa China, misalnya, yang saat ini memegang status sebagai mitra kerja strategis dan komprehensif bagi Indonesia, secara sistematis, mengirim mahasiswa program S-3 ke negara-negara maju untuk ilmu pasti dan menciptakan lapangan inovasi di beratus-ratus pusat studi dan pusat penelitian.
Jadi, kalau Indonesia tidak mengolah potensi Indonesia menjadi daya dorong yang sungguh dahsyat, kita berisiko menjadi bangsa yang sekadar mengais dari ruang rezeki global yang tersisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar