Selasa, 29 Desember 2015

Pansus dengan Misi Khusus

Pansus dengan Misi Khusus

Refly Harun  ;  Praktisi Hukum Tata Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana UGM
                                           MEDIA INDONESIA, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PANITIA Angket Pelindo II yang menyelidiki dugaan penyimpangan di BUMN pelabuhan tersebut ibarat mahasiswa yang membuat skripsi atau tesis. Baru selesai bab tiga dari keseluruhan lima bab yang harus diselesaikan, sudah sampai pada kesimpulan. Bahkan, langsung minta diuji. Padahal, jelas-jelas sang mahasiswa seharusnya menyelesaikan terlebih dulu semua bab untuk sampai pada tahapan dimaksud.

Fenomena ini terjadi ketika Pansus Pelindo II yang diketuai politikus PDIP Rieke Dyah Pitaloka menyampaikan laporan (sementara) pada Rapat Paripurna DPR, 18 Desember lalu. Pimpinan DPR memberikan kesempatan untuk menyampaikan laporan sementara (progress report), tetapi Pansus Pelindo II memanfaatkannya untuk mengeluarkan tembakan-tembakan melalui kesimpulan-kesimpulan yang dipaksakan untuk disetujui rapat paripurna. 
Anehnya, seluruh peserta Rapat Paripurna DPR seperti sekumpulan kerbau yang dicocok hidungnya, mengikuti saja kemauan Pansus Pelindo II akan kesimpulan-kesimpulan berikut rekomendasi-rekomendasi tersebut.

Agak sulit menepis kesan negatif publik bahwa Pansus Pelindo II merupakan instrumen kenegaraan (DPR) yang digunakan secara subjektif untuk menyasar dan menghantam pribadi tertentu yang sedang tidak begitu disukai oleh elite politik partai. Sulit pula menampik kecurigaan publik perihal adanya desain, skenario, dan tujuan politik tertentu di balik pembentukan pansus tersebut.

Salah satu rekomendasi yang menohok ialah pemecatan RJ Lino sebagai Direktur Utama Pelindo II dan pencopotan Rini Soemarno sebagai menteri badan usaha milik negara (menteri BUMN). Tidak ada yang surprise sesungguhnya karena dari awal publik juga bercuriga bahwa kehadiran pansus sesungguhnya memang untuk `menembak' Menteri BUMN. Lino hanyalah jembatan kepada Rini Soemarno. Rini Soemarno bisa jadi juga sekadar jembatan ke Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Tiga serangkai Kalla-Rini-Lino kerap-kerap dikait-kaitkan dalam proses bisnis di Pelindo II.

Khusus Rini Soemarno, sepertinya ia terus menjadi incaran yang tak berkesudahan bagi PDIP. Cerita singkat tentang `trio macan' menjelang reshuffle jilid I ternyata belum usai. Dari tiga nama yang dijuluki `trio macan', yakni Luhut Pandjaitan, Andi Widjajanto, dan Rini Soemarno, nama yang terakhir belum tersentuh.

Luhut telah digeser dari orang lingkar terdekat Jokowi sebagai kepala staf kepresidenan menjadi menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan. Andi, yang sebelumnya menjadi sekretaris kabinet, malah diberhentikan sama sekali, tidak hanya hilang dari lingkar istana. Tinggal Rini yang masih bertakhta di singgasana sebagai menteri BUMN.

Dari sisi teritori, Menteri BUMN tentu tidak berada di lingkar istana, tetapi siapa pun tahu hubungan Jokowi dan Rini sangat dekat karena Rini mantan ketua tim transisi, tim yang menyiapkan transisi pemerintahan dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada Jokowi.

Pembentukan Pansus Pelindo II, bisa jadi, sekadar sarana untuk menembak Rini. Bukan soal tata kelola BUMN yang sering digembar-gemborkan, termasuk perpanjangan kontrak dengan luar negeri.

Hal lain yang diincar, soal hikayat Pelindo II yang memiliki dana segar hingga Rp18 triliun di perbankan, yang pastinya akan membuat `ngiler' semua parpol. Terlebih gonjang-ganjing kontrak itu sesungguhnya baru akan berakhir pada 2019-tepat pada tahun pemilu--yang oleh Lino sudah diperpanjang lima tahun lebih awal.

Melanggar UU MD3

Politik adalah politik. Soalnya ialah, meski politik bisa menggu nakan segala cara dan motif untuk meraih kemenangan¬-karena politik adalah soal kalah dan menang bukan salah dan benar, Pansus Pelindo II harus taat pada aturan main dan sistem pemerintahan yang kita anut, yaitu sistem pemerintahan presidensial.

Soal aturan, sudah sangat jelas Pansus Pelindo II melanggar UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3). Pasal 206 UU MD3 menyatakan panitia angket melaporkan tugasnya kepada rapat paripurna paling lama 60 hari (kerja) sejak dibentuk. Lalu rapat paripurna akan mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket tersebut.

Lalu, pasal 207 kurang lebih menyatakan, setelah menyelesaikan tugasnya, panitia angket menyampaikan laporan dalam Rapat Paripurna DPR dan selanjutnya laporan tersebut dibagikan kepada semua anggota. Lalu, pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi.

Panitia Angket Pelindo II terbentuk pada 13 Oktober lalu. Tenggang waktu menyelesaikan pekerjaannya jatuh pada 5 Februari 2015. Apabila pekerjaan sudah selesai, tidak jadi soal jika pansus melaporkan lebih awal pekerjaannya kepada rapat paripurna karena kata-kata dalam undang-undang menyatakan `paling lama'. Soalnya ialah, pekerjaan mereka memang belum selesai.

Tidak ada pernyataan dari pansus bahwa mereka telah menyelesaikan tugasnya. Laporan kepada rapat paripurna 18 Desember lalu tersebut bukanlah laporan akhir, melainkan laporan sementara. Padahal UU MD3 jelas tidak mengenal laporan sementara. Kalaupun progress report mau disampaikan, tidak perlu disertai kesimpulan yang kemudian dikukuhkan di rapat paripurna. Terlebih rekomendasi-rekomendasi tersebut justru mau melabrak sistem pemerintahan presidensial dengan menyarankan agar Presiden Jokowi memberhentikan Menteri BUMN.

Sangat jelas terlihat pansus seperti mengejar target agar ada kesimpulan sebelum mereka reses pada tahun ini. Sangat mudah dikaitkan bahwa sikap `ngebet' DPR itu terkait dengan isu reshuffle jilid II yang tengah menggelinding dan menjadi wacana publik hari-hari belakangan ini.

Dengan merekomendasikan pemberhentian RJ Lino dan Rini Soemarno, pansus seperti berharap hal tersebut akan menjadi trigger, pemantik, yang mendorong Presiden Jokowi betul-betul mencopot Rini dari posisinya. Korban sudah jatuh ketika Lino akhirnya betul-betul diberhentikan setelah sebelumnya dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)-¬ penersangkaan yang agaknya patut dipertanyakan karena KPK seperti menari di genderang DPR.

Sistem presidensial

Dari sisi etika, rekomendasi pemberhentian seorang menteri patut dipertanyakan. Hal ini bisa dimaknai bahwa DPR hendak mengintervensi presiden. Mengganti atau tidak mengganti seorang menteri semata-mata hak prerogatif seorang presiden. Tidak ada lembaga negara lain dan bahkan kekuatan politik lain yang punya dasar konstitusional untuk mencampuri hak prerogatif presiden tersebut. Meskipun faktanya presiden-presiden Republik Indonesia sejak era Reformasi dalam pembentukan kabinet (mengangkat menteri-menteri) selalu mengakomodasi berbagai kekuatan politik sebagai mitra koalisinya, tetap saja wewenang mengangkat dan memberhentikan menteri ialah hak prerogatif presiden.

Apabila presiden merasa butuh mengganti seorang menteri, seharusnya ia bisa melakukan setiap saat. Demikian pula sebaliknya, apabila presiden ingin mempertahankannya, ia tidak terhalang untuk melakukakannya. DPR harusnya tidak mencampuri wilayah ini. Bila ada kinerja menteri yang dianggap tidak memuaskan atau melanggar undang-undang, dari sisi etika ketatanegaraan, DPR cukup menggunakan fungsi kontrolnya. Tidak perlu merekomendasikan pemberhentian. Dalam sistem pemerintahan presidensial, kewenangan eksekutif mutlak di tangan presiden. Kewenangan DPR hanyalah terbatas pada pengawasan.

Sejak empat kali perubahan UUD 1945, desain ketatanegaraan Indonesia semakin mempertegas format dan mekanisme checks and balances dalam hubungan presiden (eksekutif) dengan DPR (legislatif). UUD 1945 mengatur bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana lazim terjadi dalam sistem parlementer, dan sebaliknya DPR tidak dapat secara sepihak hanya dengan alasan politik untuk memakzulkan presiden. Lagi pula, memakzulkan presiden bukan perkara yang mudah karena harus berdasarkan alasan hukum dan melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagai wasitnya.

Dengan demikian, rekomendasi pansus yang disertai dengan ultimatum terhadap Presiden Jokowi, bahwa ia akan di jatuhkan bila tidak mengikuti rekomendasi tersebut, jelas melampaui batas wewenang konstitusional DPR.

Sikap aneh PDIP

Hal lain yang aneh dari Pansus Pelindo II ialah kengototan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang notabene partai pemerintah (the ruling party), untuk menggoyang-goyang kabinet Jokowi-JK, terutama terkait Menteri Rini.

Padahal, sebagai partai pemerintah, harusnya mereka bisa melakukan itu di belakang layar (back door). Mereka tinggal bicara kepada Presiden Jokowi untuk mengganti menteri tertentu seandainya ada agenda seperti itu.Tidak perlu diungkap secara telanjang di publik, terlebih menggunakan mekanisme pembentukan pansus segala yang jelas-jelas menyerap anggaran yang tidak sedikit.

Dengan menyerang Rini secara terbuka, bahkan melalui pansus DPR, terlihat bahwa ada hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah dan partai pendukung pemerintah. Hal ini sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum karena Presiden Jokowi memang tidak bisa sepenuhnya mengontrol PDIP karena loyalitas PDIP lebih pada Teuku Umar (Ketua Umum PDIP Megawati) ketimbang istana.

Soalnya ialah, dengan bersikap konfrontatif terhadap Presiden Jokowi, PDIP seperti tengah menguras tabungan simpati publik. Langkah-langkah partai pemenang Pemilu 2014 ini belakangan justru banyak berhadapan dengan keinginan publik.

Pemilu 2019 memang masih lama, tetapi hukum besi politik tetap berlaku seiring dengan berkembangnya kecerdasan publik; partai yang tidak setia kepada hati nurani publik, suatu saat akan ditinggalkan.

Sebagai catatan akhir, Presiden Jokowi tidak perlu terlalu risau dalam menghadapi rekomendasi DPR. Tunggu saja hasil akhir dari pansus, barulah Presiden bersikap. Bersikap saat ini terlalu prematur karena pansus memang belum menyelesaikan bab terakhir mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar