Selasa, 22 Desember 2015

Pimpinan KPK Jilid IV

Pimpinan KPK Jilid IV

Romli Atmasasmita  ;  Guru Besar Emeritus Unpad dan Guru Besar Unpas, Bandung
                                                KORAN SINDO, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak awal penulis telah tidak sepakat atas hasil kinerja Panitia Seleksi (Pansel) KPK jilid IV dengan formasi calon pimpinan (capim) KPK yang tidak berlatar belakang hukum, ekonomi, keuangan, dan perbankan serta lebih tidak sepakat lagi dengan tidak adanya unsur pimpinan penuntut umum nonjaksa.

Namun seleksi dilanjutkan dengan konsekuensi sebagaimana penulis perkirakan bahwa akan terdapat pimpinan KPK jilid IV yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam Pasal 29 huruf d jo Pasal 21 (4) jo Pasal 21 ayat (5) UU KPK 2002. Diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) dan ayat (3) UU KPK 2002.

Jika diteliti kembali bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut dan dihubungkan satu sama lain, terbentuk suatu konfigurasi pola kepemimpinan KPK yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat (Pasal 43 ayat 3 UU Tipikor 1999). Unsur pemerintah yang bergerak dalam pemberantasan korupsi adalah Polri dan kejaksaan.

Keterlibatan unsur pimpinan dengan latar belakang nonhukum bersifat limitatif dan bersifat komplementer terhadap unsur pimpinan KPK berlatar belakang hukum. Hal ini sesuai dengan mandat kepada pimpinan KPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UU KPK 2002 tentang tugas KPK dan wewenang KPK sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 7 sd Pasal 14 UU KPK 2002.

Intinya di sana membedakan tugas dan wewenang pro justisia (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) dan non-pro justisia (pencegahan dan monitoring penyelenggaraan negara) serta latar belakang nonhukum dibatasi hanya untuk keahlian di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan. Logika latar belakang keilmuan ini disebabkan relevan dengan modus operandi tindak pidana korupsi yang selalu berkaitan dengan pengetahuan akuntansi dan perbankan.

Penulis tidak ingin membebankan kekeliruan kepada siapa pun untuk menghormati jerih payah Pansel KPK jilid IV yang telah diberi kepercayaan oleh pemerintah, melainkan mari kita prediksi kemungkinan yang akan terjadi dari aspek hukum dan bagaimana solusi sementara yang perlu dilakukan.

Kemungkinan kinerja KPK jilid IV akan tersendat-sendat karena kekuatan hukum kelima pimpinan KPK terletak hanya di pundak Basaria Panjaitan dan Alex Marwata yang berlatar belakang hukum dan berpengalaman dalam praktik hukum. Mestinya kita sadar di dalam UU KPK 2002 telah ditegaskan bahwa pimpinan KPK adalah ”penyidik dan penuntut umum dan sekaligus penanggung jawab tertinggi KPK ” dan wajib bekerja ”secara kolektif, yaitu bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersamasama oleh pimpinan KPK ”.

Masalah pengambilan keputusan untuk mulai melakukan penyelidikan sampai pada peningkatan status kasus tipikor ke penyidikan dan penuntutan sangat ditentukan oleh hasil olah laporan pengaduan masyarakat (dumas) dari sisi aspek hukum pidana, khususnya Undang-Undang Tipikor Nomor 31 tahun 1999. Lebih dalam lagi, kelima pimpinan KPK harus memahami secara detail UU RI Nomor 31 Tahun 1999 dan turunannya UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Pemahaman kedua undang-undang aquo tidak terbatas pada pemahaman normatif setiap pasal-pasal di dalam kedua undang-undang aquo, melainkan juga harus dipahami latar belakang aspek filosofi, sosiologi, dan yuridis serta komparatif keberadaan UU KPK dan kedua undang-undang tersebut di dalam tataran praktis penanganan perkara tipikor sejak penyelidikan sampai dengan penuntutan.

Selain itu pemahaman teori atau doktrin hukum pidana serta yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam perkara tipikor dan TPPU merupakan prasyarat utama bagi kelima pimpinan KPK agar penanganan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Latar belakang pendidikan ilmu hukum selain nonilmu hukum penting untuk menghadapi upaya hukum tersangka/terdakwa sesuai KUHAP, termasuk objek praperadilan yang telah diperluas oleh yurisprudensi dan putusan MK RI.

Kebijakan pimpinan KPK yang menyerahkan sepenuhnya proses penanganan perkara tipikor kepada penyidik dan penuntut sekalipun berasal dari Polri dan kejaksaan merupakan tindakan yang tidak bijak dan tidak patut. Langkah itu bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal UU KPK sebagaimana telah diuraikan di atas.

Khusus penetapan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut dan penanggung jawab tertinggi dalam pemberantasan korupsi yang harus diartikan bahwa tanggung jawab sepenuhnya berada pada kelima pimpinan KPK, bukan pada penyidik dan penuntut KPK.

Tidak mungkin dan seharusnya tidak terjadi penyidik dan penuntut KPK lebih berpengalaman dari pimpinan KPK itu sendiri dan keadaan ini dapat menimbulkan moral hazard dalam proses penanganan kasus tipikor. Memang benar integritas dan akuntabilitas penyidik dan penuntut KPK tidak dapat diragukan setelah melalui tes integritas.

Namun control assessment yang bersifat pro justisia terhadap kinerja penyidikan dan penuntutan justru harus dilakukan oleh atasan yang memang memiliki keahlian paripurna melebihi keahlian penyidik dan penuntut KPK serta sekaligus menegakkan prinsip checks and balances .

Kelemahan control assessment dari kelima pimpinan KPK dapat mengakibatkan terjadi korban-korban penetapan tersangka yang keliru secara hukum sehingga rentan terhadap pelanggaran hak asasi tersangka/terdakwa yang seharusnya memperoleh perlindungan hukum sekaligus hak konstitusional yang bersangkutan. Ketentuan bahwa KPK tidak boleh menerbitkan SP3 merupakan sinyal merah bagi kelima pimpinan KPK dalam hal penetapan tersangka.

Sekali terjadi kekeliruan–tanpa bukti permulaan yang cukup sekalipun hasil penyadapan–, kekeliruan tersebut tidak dapat diperbaiki-dianulir. Jika hal tersebut terjadi, terjadi pula korban-korban yang tidak berdosa yang tidak perlu seperti pemblokiran rekening yang bersangkutan/istri dan anak-anaknya maupun pencekalan dan penyitaan harta kekayaannya tanpa dasar hukum yang kuat dan tidak jelas.

Hal-hal sebagaimana telah diuraikan penulis bukan isapan jempol belaka, melainkan fakta dari hasil pengamatan penulis terhadap kinerja KPK selama 2009 sampai dengan 2014, termasuk hasil analisis Lembaga Pengkajian Independen Kebijakan Publik (LPIKP) di mana penulis sebagai direktur LPIKP.

Kontrol eksternal terutama dari ICW dan koalisi LSM antikorupsi masih jauh dari harapan penulis dari sisi akuntabilitas dan integritas sebagai lembaga nonpartisan dalam pemberantasan korupsi yang diharapkan dapat membantu kinerja KPK dengan kontrol yang ketat dan memberikan masukan introspeksi atas kinerja KPK.

Alih-alih memberikan kontribusi hukum yang bermanfaat, sebaliknya LSM Koalisi Antikorupsi hanya fokus pada keberhasilan– output –secara kuantitatif, tetapi tidak memberikan dampak outcome secara kualitatif mengenai ketaatan pimpinan KPK terhadap asas-asas hukum pidana pada umumnya, khususnya asas legalitas termasuk asas nonretroaktif.

Keberadaan KPK untuk melengkapi kepolisian dan kejaksaan terbukti tidak juga dapat menaikkan peringkat Indonesia dalam forum internasional pemberantasan korupsi. IPK Indonesia, tahun 2014, hanya mencapai 34/100 dan peringkat 107/175, masih jauh di bawah Singapura (IPK 84/100, peringkat 7/175), Malaysia (IPK 52/100, peringkat 50/175), dan Filipina (IPK 38/ 100, peringkat 85/175).

Dari sisi penyelamatan kerugian keuangan negara yang diketahui LPIKP dari laporan tahunan KPK, ternyata selama 2009-2014 KPK hanya berhasil menyelamatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp722.687.955.078, sedangkan kejaksaan Rp6.637.161.971.801 (Laporan Penyelamatan Kerugian Keuangan Negara Tahun 2009-2014).

Solusi pertama yang harus dipertimbangkan adalah merevisi UU KPK 2002, yaitu strategi KPK mengutamakan pencegahan dan penindakan KPK hanya terbatas pada kasus korupsi tertentu dengan memberikan perhatian pada ketentuan Pasal 11 UU KPK 2002 yang diperluas. Selain itu strategi pencegahan juga harus memperkuat pemerintah membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN bekerja sama dengan inspektorat jenderal K dan SPI lembaga-lembaga negara serta pengawasan secara intensif oleh deputi pencegahan KPK.

Solusi kedua, untuk mencegah upaya hukum tersangka korupsi, KPK perlu bekerja sama dengan Kejaksaan Agung untuk melimpahkan tahap penuntutan perkara tipikor kepada kejaksaan. Solusi ketiga, perlu perluasan pengertian penyelenggara negara sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN sehingga dapat menjangkau direksi dan pegawai BUMN/BUMD, termasuk anak perusahaannya.

Solusi keempat, penguatan peningkatan kinerja KPK dengan mendayagunakan fungsi trigger mechanism diperkuat oleh fungsi koordinasi dan supervisi (korsup) yang selama ini dalam praktik tidak efektif memperkuat strategi pencegahan KPK dan memperluas fungsi tersebut meliputi terhadap penyelenggaraan sistem birokrasi di K/L.

Solusi kesatu sampai keempat merupakan alternatif solusi ketika kelima pimpinan KPK jilid IV harus melaksanakan UU KPK 2002—kecuali UU KPK hasil revisi melakukan perubahan orientasi KPK jilid IV sebagaimana perkembangan terkini di Korea Selatan. KPK Korea Selatan dibubarkan dan dialihkan ke Ombudsman dan fungsi penuntutan ke Kejaksaan Agung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar