Rabu, 30 Desember 2015

Semoga Kesuraman Tidak Berlanjut di 2016

Semoga Kesuraman Tidak Berlanjut di 2016

  Emerson Yuntho  ;  Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)
                                                    JAWA POS, 24 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TAHUN 2015 dalam waktu dekat segera berakhir. Namun, dalam isu hukum dan pemberantasan korupsi, banyak peristiwa penting yang terjadi di tahun ini, yang dapat menjadi bahan refleksi dan sekaligus pembelajaran menghadapi tahun depan. Harus diakui, 2015 merupakan tahun yang cukup berat, bahkan dapat dikatakan sebagai tahun yang suram, bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Setidaknya terdapat lima peristiwa penting yang bisa memberikan gambaran suramnya pemberantasan korupsi pada tahun ini.

Pertama, gencarnya upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui tindakan kriminalisasi dan revisi Undang-Undang (UU) KPK. Kriminalisasi terjadi terhadap dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, yang oleh sejumlah pihak dianggap kontroversial.
Itu terjadi tidak lama setelah lembaga antirasuah tersebut sedang membidik dugaan korupsi yang melibatkan petinggi kepolisian. Dampak kriminalisasi tidak hanya mengakibatkan Abraham dan Bambang harus nonaktif sebagai pimpinan KPK. Sejumlah penanganan perkara korupsi kakap yang ditangani KPK juga jadi macet dan dihentikan.

Upaya pelemahan KPK juga dilakukan melalui upaya revisi UU KPK. Substansi dalam revisi tersebut sangat kental dengan nuansa pelemahan daripada penguatan terhadapKPK. Mulai usulan pembatasan usia institusi KPK hingga 12 tahun mendatang, memangkas kewenangan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri, hingga membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani KPK.

Selama 2015 setidaknya ada tiga kali upaya DPR mendorong revisi UU KPK, yaitu pada Juni, Oktober, dan Desember. Meski proses revisi UU KPK tidak selesai pada 2015, ancaman tidak dapat dikatakan berhenti. Sebab, proses pembahasan akan dilanjutkan DPR tahun depan.

Kedua, masih terjadinya pemberian remisi atau potongan masa hukuman untuk koruptor. Meskipun dikecam banyak pihak karena dianggap prokoruptor, pemerintah tetap saja melakukan obral remisi untuk koruptor. Yaitu remisi Idul Fitri, remisi Hari Kemerdekaan RI, dan dasawarsa kemerdekaan. Sejumlah pemberian remisi untuk koruptor dinilai menyimpang dari Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menjadi dasar hukum pemberian remisi. Terakhir, pemerintah memberikan remisi dasawarsa kemerdekaan untuk 1.938 narapidana korupsi.

Ketiga, tidak munculnya regulasi yang pro pemberantasan korupsi. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Tunai, dan revisi UU Tindak Pidana Korupsi yang sedianya mendorong optimalisasi pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas pada 2015.

Pemerintah dan DPR justru lebih bersemangat ingin mempercepat revisi UU KPK yang dinilai berupaya melemahkan KPK. Instruksi Presiden (Inpres) tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi 2015 ternyata baru dikeluarkan Mei 2015. Selain terlambat, Inpres Antikorupsi yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) diragukan soal implementasinya.

Keempat, masih ringannya vonis terhadap koruptor. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), hukuman untuk koruptor di semester I 2015 masih masuk kategori ringan dengan rata-rata hukuman hanya 2 tahun 1 bulan penjara. Vonis koruptor di atas 10 tahun penjara tergolong minim. Hukuman ringan tentu tidak akan menjerakan koruptor. Apalagi dengan adanya obral remisi atau pembebasan bersyarat.

Kelima, masih terpilihnya calon kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi. Pada pengujung 2015 dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di 269 daerah, persisnya 9 pemilihan gubernur dan 260 pemilihan bupati/wali kota. Gagasan mendapatkan kepala daerah yang berintegritas pada pilkada mendatang, tampaknya, juga bukan sesuatu yang mudah. Persyaratan dalam UU Pilkada yang lentur pada akhirnya masih membuka peluang bagi orang-orang yang tidak berintegritas –misalnya tersangka dan bahkan mantan terpidana– untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah.

Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya sebelas calon kepala daerah yang ikut proses pilkada serentak 2015 yang berstatus tersangka atau pernah menjadi terpidana dalam perkara korupsi. Kabar buruknya adalah hingga saat ini terdapat dua mantan narapidana dan dua tersangka korupsi yang meraih suara tertinggi dalam proses pilkada 2015. Keempatnya adalah Gusmal (calon bupati Solok), Vonnie Anneke Panambua (calon bupati Minahasa Utara), Fud Syaifuddin (calon wakil bupati Sumbawa Barat), dan Hatta Rahman (calon bupati Maros).

Selain lima peristiwa di atas, upaya pemberantasan korupsi 2015 yang suram tidak bisa dilepaskan dari kinerja pemerintahan Presiden Jokowi. Kinerja pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi yang juga dilakukan kejaksaan dan kepolisian masih belum memuaskan.

Suramnya pemberantasan korupsi pada 2015, harapannya, tidak terjadi lagi di 2016. Tahun 2016 tetap menjadi tahun yang krusial bagi masa depan KPK dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Segala upaya pelemahan terhadap KPK sudah selayaknya dilawan dan jangan dibiarkan. Presiden Jokowi juga sudah saatnya tampil sebagai figur pemimpin antikorupsi dengan membuat kebijakan yang tidak prokoruptor, tetap konsisten memperkuat KPK, dan menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai prioritas.

Pimpinan KPK jilid keempat yang baru dilantik juga harus mampu menjawab keraguan dan kritik banyak pihak dengan cara bekerja lebih optimal. Serta tetap mempertahankan KPK sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi, bukan semata Komisi ”Pencegahan” Korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar