Rabu, 30 Desember 2015

Tahun Konsolidasi Sarat Gaduh

Tahun Konsolidasi Sarat Gaduh

  Bambang Soesatyo  ;  Anggota Komisi III DPR RI;
Presidium Nasional KAHMI; Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
                                                KORAN SINDO, 29 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 sarat gaduh. Dibuka dengan episode Polri versus KPK jilid II dan ditutup dengan mundurnya Ketua DPR akibat skandal ”Papa Minta Saham”.
Semua kegaduhan itu menjadi bagian tak terpisah dari proses konsolidasi pemerintahan baru pimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla. Selain faktor kegaduhan akibat ulah sejumlah figur atau tokoh, tahun ini pun sarat masalah atau tantangan. Ketidakpastian global menyebabkan pertumbuhan ekonomi nasional mengalami perlambatan.

Posisi rupiah pun mengalami tekanan di hadapan sejumlah valuta utama dunia. Terhitung sejak awal 2015 hingga pekan kedua September, depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah mencapai 15,87 persen. Selain itu, ada dua faktor lokal yang ikut menekan ekonomi dalam negeri.

Pertama, masih rendahnya harga komoditas unggulan Indonesia di pasar internasional. Kedua, kegagalan pemerintah memaksimalkan faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai motor pertumbuhan, yang ditandai dengan lambannya penyerapan anggaran sepanjang 2015. Bahkan, hampir semua pemerintah daerah juga gagal memaksimalkan anggaran. Hingga akhir 2015, sekitar Rp270 triliun anggaran pembangunan daerah hanya bisa diendapkan di sejumlah bank karena banyak pejabat daerah takut mengeksekusi proyek-proyek pembangunan yang anggarannya telah disetujui.

Peristiwa lain yang harus masuk dalam catatan penting tahun ini adalah kebakaran hutan dan lahan gambut. Kerugian negara akibat musibah ini ditaksir Rp200 triliun lebih. Menurut Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas area kebakaran hutan dan lahan sepanjang tahun 2015 mencapai 2.089.911 hektar. Rangkaian masalah itu memunculkan sejumlah ekses yang tentu saja menghadirkan ketidaknyamanan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.

Masyarakat harus menghadapi beberapa kali gejolak harga kebutuhan pokok, karena ketersediaan beras hingga daging ayam dan daging sapi bermasalah.
Depresiasi rupiah yang berkelanjutan pun membuat masyarakat pesimis karena dihantui krisis ekonomi. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi pada sejumlah subsektor usaha manufaktur akibat melemahnya konsumsi atau permintaan dalam negeri.

Itulah beberapa catatan penting yang patut digarisbawahi pemerintah sebelum menapaki awal tahun 2016. Sangat penting bagi Presiden Joko Widodo untuk meyakinkan rakyat bahwa konsolidasi pemerintahannya sudah selesai, agar 2016 dan tahun-tahun selanjutnya bisa berkonsentrasi penuh mengelola semua aspek dari agenda pembangunan nasional.

Menguji Presiden

Presiden sudah mengawali pemerintahannya dengan langkah cukup mantap, ketika memutuskan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada pekan kedua November 2014. Keputusan strategis ini ibarat modal awal pemerintahannya untuk mengarungi 2015 yang sarat tantangan itu. Sayang, segala sesuatunya tidak berjalan mulus karena proses konsolidasi pemerintahan Jokowi penuh rintangan.

Gangguan terhadap proses konsolidasi itu muncul pada Januari 2015, dipicu oleh persoalan siapa yang akan ditunjuk Presiden untuk menjabat Kepala Polri (Kapolri). Sosok perwira pilihan Presiden, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG), langsung dimentahkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Dalam hitungan jam setelah Presiden mengumumkan nama BG sebagai calon Kapolri, Ketua KPK (saat itu) Abraham Samad ”mengganggu” Presiden dengan mengumumkan BG sebagai tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan atau tidak wajar.

Akibatnya, Presiden harus menghadapi tekanan dari dua arah yang saling berlawanan. Publik pun bisa merasakan betapa tidak mudahnya presiden mengonsolidasi pemerintahannya.

Komunitas pendukung Jokowi, termasuk sejumlah politisi, mendesak presiden mempertahankan pilihannya dan melantik BG. Dari arah lain, presiden justru didesak membatalkan pencalonan BG. Eskalasi kegaduhan pun menjadi tak terhindarkan ketika elite PDIP melakukan serangan balik terhadap Abraham Samad, memanfaatkan apa yang disebut sebagai laporan publik yang tertuang dalam sebuah artikel berjudul ”Rumah Kaca Abraham Samad”. Artikel ini memuat tuduhan kepada Samad karena menjadikan KPK sebagai alat lobi politik untuk mencalonkan diri sebagai cawapres 2014.

Berangkat dari artikel itu, Pelaksana Tugas Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristyanto memberi perincian tentang manuver politik Samad menuju Pemilu Presiden 2014. Menurut Hasto, Samad melakukan enam kali pertemuan dengan petinggi PDI Perjuangan. Bahkan Samad juga menemui mantan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono dan mantan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto.

Samad akhirnya dinonaktifkan dari jabatannya. Karena diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua KPK, Samad kemudian memenuhi panggilan pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri sebagai tersangka. Kasus Samad dilaporkan Direktur Eksekutif KPK Watch Yusuf Sahide. Tidak berhenti sampai di situ, Samad pun harus merespons masalah lain, karena dia dilaporkan telah melakukan pemalsuan dokumen kependudukan. dengan tersangka awal seorang perempuan bernama Feriyani Lim.

Persoalan yang dihadapi KPK tidak berhenti di Abraham Samad. Polisi juga menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto untuk perkara rekayasa keterangan palsu saat menjadi pengacara dalam perkara Pemilukada 2010.
Tim Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto di sebuah jalan raya di Depok pada Jumat, 23 Januari 2015. Saat itu, wajah KPK benar-benar tampak babak belur. Setelah penangkapan Bambang, pimpinan KPK lainnya juga dilaporkan ke pihak berwajib oleh beberapa orang. Benar-benar gaduh dan tegang.

Efektivitas kepemimpinan Presiden Jokowi saat itu benar-benar diuji, bahkan mengalami ujian berat. Hal itu terjadi bertepatan dengan peringatan 100 hari kepemimpinannya, Imbauan bernada perintah presiden untuk tidak menahan pimpinan KPK tidak sertamerta ditaati. Seolah ada kekuatan lain di negara ini yang lebih berkuasa dari Presiden RI. Situasi serupa juga terlihat oleh publik ketika presiden harus menyikapi konflik internal yang melanda Partai Golkar dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan).

Kehendak Presiden agar Kementerian Hukum dan HAM bersikap objektif-proporsional tidak ditaati. Dalam kasus Golkar, kementerian Hukum dan HAM malah tergesa-gesa mengakui kepengurusan hasil Munas Ancol, tanpa mempertimbangkan dokumen keabsahan Munas Ancol. Begitu juga pada kasus PPP. Akibatnya jagat perpolitikan nasional pun ikut menabuh gaduh.

Dampak Nomenklatur

Dari rangkaian kegaduhan itu, terlihat bahwa tidak semua pembantu Presiden menunjukan loyalitas tunggal kepada Presiden. Sebaliknya, dalam proses mengonsolidasi kekuasaannya, Presiden Jokowi terpaksa harus merasakan ada pembantu atau menteri yang menunjukkan loyalitas ganda, loyal kepada Presiden dan loyal juga kepada pimpinan partai politik dari mana sang menteri berasal.

Jika saja para pejabat tinggi negara itu hanya loyal kepada Presiden, kegaduhan sepanjang 2015 ini bisa diminimalisasi. Akan tetapi aspek loyalitas itu masih menjadi persoalan. Pasca reshuffle kabinet, giliran para menteri berbuat gaduh dengan bertengkar di ruang publik. Respek beberapa menteri terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi terbilang minim.

Publik tentu masih ingat ketika seorang menteri dengan lantang menantang wakil presiden berdebat terbuka. Atau, menteri malah mengecam program prioritas kelistrikan yang telah ditetapkan presiden. Nomenklatur kementerian/ lembaga (K/L) yang bertele-tele juga mengganggu konsolidasi pemerintahan Jokowi. Dampaknya sangat serius terhadap efektivitas koordinasi pemerintah pusat dengan daerah.

Konsolidasi sejumlah K/L dirasakan sangat lambat setelah penggabungan maupun pemecahan instansi. Kelambanan lebih disebabkan oleh sulitnya pengisian jabatan. Kevakuman sementara itu tentu saja memberi pengaruh cukup signifikan terhadap aspek penyerapan anggaran. Komunikasi pusat dan daerah pun bisa terhenti sementara sambil menunggu rampungnya konsolidasi K/L.

Di tengah ragam rintangan dan masalah, presiden terus membangkitkan optimisme publik. Presiden memastikan pembangunan nasional tidak lagi Jawa sentris, melainkan Indonesia sentris. Dia berupaya merealisasikan proyek pembangunan infrastruktur strategis di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua berupa ruas jalan tol dan jalur kereta api. Untuk meyakinkan dunia usaha dan investor asing, Presiden juga terus mengupayakan terwujudnya iklim berusaha yang kondusif.

Sejak awal September 2015 hingga jelang akhir tahun 2015, Presiden sudah menerbitkan delapan paket deregulasi kebijakan ekonomi. Tujuannya mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum dan kepastian usaha.

Untuk menguatkan keyakinan semua elemen masyarakat, pemerintah berencana menurunkan harga BBM pada awal tahun 2016, mengikuti tren turunnya harga minyak dunia. Kalau tidak ada kegaduhan lagi, kebijakan BBM awal 2016 itu bisa menjadi stimulus yang menggerakkan roda perekonomian nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar