Selasa, 22 Desember 2015

Utopia

Utopia

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “KREDENSIAL’ Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 20 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Thomas More (1478-1535) dikenal sebagai seorang ahli hukum, ilmuwan, penulis, anggota parlemen, dan Lord Chancellor Raja Inggris, Henry VIII. Ia membangun reputasinya sebagai ilmuwan, antara lain, dengan berkawan akrab dengan seorang teolog Katolik, Erasmus. Thomas More juga pernah terlibat berpolemik dengan Martin Luther (1483-1546) mengenai Reformasi Protestan.

Cerita tentang Raja Henry VIII ini sangat menarik. Raja Henry VIII yang semula Katolik, memilih memisahkan diri dari Roma karena ingin menceraikan istrinya dan kawin lagi—suatu hal yang tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan di Gereja Katolik. Ia tidak hanya kawin lagi, tetapi juga mendeklarasikan diri sebagai pemimpin tertinggi Gereja Inggris (1534) dan mendirikan Gereja Anglikan.

Menurut cerita, Henry VIII—yang sebelumnya bernama Henry Tudor—memiliki enam istri, yang dua di antaranya dihukum pancung. Keenam istri Henry VIII adalah Ratu Catherine, Mary Boleyn, Anne Boleyn (dihukum pancung), Jane Seymour, Catherine Howard (sepupu Anne Boleyn, yang juga dihukum pancung), dan Catherine Parr.

Akhir hidup Thomas More sangat tragis, tidak berbeda dengan Anne Boleyn dan Catherine Howard. Ia dihukum mati dengan cara dipenggal kepalanya. Hukuman mati itu dijalani pada tanggal 6 Juli 1535. Thomas More dihukum mati karena menentang keinginan Henry VIII menjadi pemimpin tertinggi Gereja Inggris, memisahkan diri dari Roma, mendirikan Gereja Anglikan, dan menolak meninggalkan Gereja Katolik.

Tindakan Henry VIII itu mendorong Thomas More mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penasihat raja. Akan tetapi, di luar, ia terus menyuarakan perlawanannya, sampai akhirnya ditangkap, ditahan, dan dihukum mati.

Thomas More dikenal dengan bukunya yang berjudul The History of Richard III (1515) yang menggambarkan raja sebagai seorang tiran. Inilah masterpiece/karya agung pertama historiografi Inggris. Namun, yang paling kondang adalah karyanya yang diberi judul Utopia (1516).

Kata ’utopia’, seperti tertulis dalam kamus Merriam Webster, diambil dari kata dalam bahasa Yunani, ou (no atau not atau tidak) dan topos (place, tempat). Dari konsepsi aslinya, kata utopia berarti sebuah tempat di mana kita hanya memimpikan firdaus yang sesungguhnya. Barangkali hampir sama dengan konsep Republic-nya Plato, yakni yang bercerita tentang sebuah negara sempurna yang diperintah oleh para raja-filsuf.

Franz Magnis-Suseno menulis, yang dimaksud utopi adalah segala macam pemikiran yang membayangkan suatu masa depan yang ideal tanpa perhatian sama sekali terhadap apakah masa depan itu nyata-nyata mungkin. Jadi, suatu khayalan tentang situasi yang baik, di tanah yang ”penuh susu dan madu”, di mana tidak ada lagi penderitaan, di mana manusia bersikap baik terhadap manusia, dan segala tetes tangisan diisap dari muka mereka yang pernah menderita, khayalan tentang zaman emas di mana segala-galanya akan menjadi baik (Dari Mao ke Marcuse, Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin).

Zaman emas itu seperti yang dilukiskan oleh Nabi Yesaya dahulu kala, ”Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya.”

Gambaran atau cita-cita itu sekarang ini sangat tidak mungkin. Coba lihat apa yang terjadi di Suriah—perang terus berkecamuk tiada henti. Nyawa manusia demikian murah. Anggota kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah, yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kelompok teroris, membunuh siapa saja yang tidak senapas, sehaluan dengan mereka. Konflik sektarian muncul di banyak tempat, Pakistan, Nigeria, dan Afganistan, sekadar menyebut. Di Perancis, dan juga di AS, orang membunuh dengan ringan, tanpa merasa bersalah.

Di negeri ini, Indonesia, rakyat disodori tontonan yang seolah-olah, seakan-akan panggung demokrasi. Namun, senyatanya panggung sandiwara. Masih ingat bukan bagaimana panggung sandiwara saat sidang MKD, beberapa hari lalu, dipertontonkan kepada rakyat.

Sindhunata, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, pernah menulis, pada zaman ini, semua bisa dipak menjadi kemasan barang. Barang-barang di mal atau supermarket dikemas amat rapi. Kendati menarik dan indah, dalam kemasan itu tiada lagi kehidupan. Semua diimpit-impitkan jadi kemasan ”beli tiga dapat empat” atau paling biasa ”beli satu dapat dua”.

Celakanya, pada zaman ini tak hanya barang, tetapi harga diri, moral, etika, bahkan idealisme pun dijadikan satu kemasan. Kemasan adalah format, semua bisa masuk. Kemasan seperti kantong, yang bisa menampung apa saja. Yang tak cocok pun bisa dimasuk-masukkan asalkan formatnya memungkinkan; asalkan memberikan keuntungan. Partai politik berkoalisi betapapun berbeda asas dan idealisme politiknya. Yang penting bisa diformat dalam satu kemasan karena politik adalah barang dagangan. Suatu hal yang sangat umum saat pilkada.

Karena itu, mengharapkan adanya ”zaman keemasan” adalah sebuah utopia belaka, seperti dikatakan oleh Thomas More. Sama utopianya kelompok NIIS ingin melanjutkan kebesaran Kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) dengan menyatukan lagi negara-negara Levant: meliputi wilayah Lebanon, Suriah, Jordania, Israel, dan Palestina. Kadang-kadang, Siprus, Sinai, dan Irak juga dianggap sebagai bagian dari Levant.

Namun, sebagai hiburan bolehlah berutopia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar