Selasa, 22 Desember 2015

Xi Jinping dan Pemberantasan Korupsi di Cina

Xi Jinping dan Pemberantasan Korupsi di Cina

A Dahana  ;  Guru Besar Studi Cina Universitas Indonesia
                                               KORAN TEMPO, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Negeri kita yang dikenal dengan sebutan "untaian mutiara di bawah garis khatulistiwa" ini dihebohkan oleh kasus "Papa Minta Saham" yang melibatkan politikus papan atas Partai Golkar sekaligus Ketua DPR, Setya Novanto. Sampai pekan lalu, kendati sudah mundur dari jabatan Ketua DPR, Setya tak dinyatakan bersalah secara etik oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.

Sementara itu, di Republik Rakyat Cina—negeri tetangga terbesar di belahan bumi selatan—gerakan antikorupsi tampaknya berjalan dengan lancar tanpa pro-kontra. Penyebab utamanya adalah pusat kekuatan dan kekuasaan politik hanya berada di satu titik: Partai Komunis Cina (PKC)—yang paling berkuasa menentukan dalam segala segi, dari penentuan kebijakan sampai ke masalah apakah seseorang bersalah atau tidak.

Deng Xiaoping memperkenalkan reformasi pada 1978, dua tahun setelah Ketua Mao menghadap Thian. Reformasi pada dasarnya merupakan kombinasi antara kapitalisme dan kediktatoran satu partai. Jadi, ketika Deng memperkenalkan reformasi, tujuan utamanya justru untuk memperkuat kembali dan melanggengkan cengkeraman PKC atas segala kehidupan di negeri itu. Mengapa disebut memperkuat kembali? Karena rakyat Cina sudah lelah oleh kampanye politik Mao yang berlangsung selama lebih dari 20 tahun (1955-1976).

Warisan Deng itu dipegang teguh para penerus kepemimpinannya. Jiang Zemin memperkenalkan prinsip Tiga Representasi (Sange Daibiao) yang membolehkan para kapitalis (umumnya dari Shanghai) menjadi anggota partai. Tesisnya, kalau partai menguasai ekonomi, tidak akan ada yang bisa menentangnya.

Penggantinya, Hu Jintao, meninggalkan jejak politik lewat teorinya tentang "masyarakat harmonis" (hexie shehui). Hu mungkin merasa, dengan berlakunya sistem kapitalis, "parasit penyakit kapitalisme" juga ikut menyebar, khususnya jurang kaya-miskin. Hu berpendapat bahwa penciptaan masyarakat harmonis dan adil merupakan cara mengatasi "penyakit kapitalisme" itu dan kalau terealisasi, posisi PKC tak akan ada yang mampu menggugat.

Xi Jinping, yang berkuasa saat ini, lain lagi. Tak lama setelah dilantik menjadi Sekretaris Jenderal PKC pada 2012, ia mengeluarkan teori mengenai Impian Cina (Zhongguo Meng). Pada dasarnya itu merupakan isyarat bahwa, demi kesejahteraan rakyat dan kekuasaan negara dan partai serta kebesaran bangsa, reformasi ekonomi tetap dikembangkan.

Namun Xi bertindak lebih jauh lagi dan lebih konkret daripada kedua pendahulunya. Bagi dia, Impian Cina tidak mungkin terealisasi tanpa terlebih dulu membereskan rumah tangga sendiri (partai, birokrasi, dan angkatan bersenjata). Pembersihan terhadap korupsi adalah langkah pertamanya begitu memegang dua jabatan kunci: Sekretaris Jenderal PKC dan Presiden Republik Rakyat Cina.

Xi mengatakan ia akan mengganyang semua pelaku korupsi, dari tingkat paling rendah yang disebutnya kelas "lalat" (ying) sampai kelas paling tinggi yang dijuluki kelas "macan" (hu). Konon, sebagai hasil kampanye antikorupsi itu sampai menjelang akhir tahun, sudah ada sekitar 100 ribu lalat dan macan yang terjerat dan telah dijatuhi hukuman, dari eksekusi mati, hukuman seumur hidup, sampai hukuman penjara.

Untuk menjalankan kampanye antikorupsi ini, Xi membentuk sebuah satuan tugas dengan kekuasaan besar bernama Komisi Pusat untuk Inspeksi Kedisiplinan dan dipimpin oleh sekutunya, Wang Qingshan. Kata kunci untuk tindak korupsi adalah "pelanggaran atas disiplin partai". Diramalkan, sepuluh tahun lagi, ketika masa pemerintahan Xi berakhir, Wang yang akan memegang kemudi partai dan negara.

Sebegitu jauh kelihatannya kampanye antikorupsi itu dijalankan tanpa tebang pilih. Hingga kini, paling tidak ada tiga atau empat "macan" yang terperangkap. Yang paling dulu dikerjain adalah suami-istri Bo Xilai, bos partai di Kota Chongqing dan mantan Wali Kota Dalian.

Selama menjabat Wali Kota Dalian, dia dituduh telah menerima suap US$ 4 juta. Bersama istrinya, Bo Xilai dituduh membunuh seorang pengusaha Inggris rekan bisnis istri Bo. Tuduhan terhadap Bo lebih berat lagi: korupsi, penggelapan, penyalahgunaan kekuasaan, dan "melakukan hubungan seksual tak pantas dengan beberapa perempuan".

Korban kelas macan berikutnya adalah Zhou Yongkang. Tokoh yang paling ditakuti lantaran mengepalai keamanan dalam negeri ini dituduh menerima suap US$ 20 juta dan telah memanfaatkan posisinya untuk kepentingan pribadi.

Namun sebagian pengamat berpendapat kampanye antikorupsi ini tak bisa dilepaskan dari power struggle yang selalu menghantui PKC manakala partai penguasa itu memasuki pergantian kepemimpinan. Ada lagi tuduhan lain yang diarahkan pada kasus Bo dan Zhou yang mengarah ke politik. Kedua macan itu dituding, antara lain, telah "bersekongkol untuk merebut kekuasaan".

Bo Xilai dikenal sebagai politikus andal, cerdik, dan sebelumnya diperkirakan menjadi pesaing Xi Jinping. Kalau saja kariernya mulus dan hubungannya dengan Xi baik, paling tidak ia akan menjadi salah satu dari tujuh anggota Politbiro—badan partai yang paling berkuasa.

Di bawah sistem PKC tidak akan ada organisasi semacam Mahkamah Kehormatan Dewan dan permainan saling tuduh dan saling bela. Barangkali apa yang terjadi di Cina kurang layak ditiru, tapi hanya sebagai perbandingan dan menambah pengetahuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar