Jumat, 30 Desember 2016

Breakthrough

Breakthrough
Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
                                              KORAN SINDO, 29 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kita mulai jarang mendengar istilah breakthrough atau terobosan. Itu mungkin karena dulu istilah tersebut kerap dipakai Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia.

Tapi juga mungkin karena kata ini sangat tak disukai para auditor, penegak hukum atau para manajer compliance. Mungkin, bagi mereka, breakthrough diartikan sebagai jalan pintas dan melanggar aturan. Di masyarakat kita istilah jalan pintas kerap berkonotasi negatif.

Anda yang berurusan dengan birokrasi pemerintahan dan ingin cepat selesai kerap menempuh jalan pintas dan itu pasti menyuap. Anda yang kerap ke toko buku tentu menemukan banyak buku yang membahas soal jalan pintas. Salah satunya cara cepat menjadi orang kaya. Atau cara cepat menggapai kesuksesan, instant learning, dan sebagainya. Bukannya mengajarkan kerja keras.

Fenomena semacam inilah yang membuat istilah breakthrough menjadi kurang laku dan dijauhi. Padahal, menurut saya, breakthrough adalah konsep manajemen yang vital dan negara kita masih memerlukan sangat banyak terobosan. Kita misalnya pernah terkagumkagum dengan terobosan yang dilakukan Dahlan Iskan, baik ketika menjadi wirausaha, direktur utama (dirut) PT PLN maupun saat menjadi menteri BUMN. Ada saja idenya.

Beberapa di antaranya kerap menabrak-nabrak. Tapi itu demi kelancaran yang sering disumbat. Misalnya sewaktu menjadi dirut PLN. Dahlan sebal betul dengan olokolok tentang PLN yang dilabeli sebagai Perusahaan Lilin Negara atau kalau listrik mati “Pasti Lama Nyalanya”. Dahlan pun melakukan banyak terobosan. Di antaranya program 3459. Artinya listrik hanya boleh padam selama 3 jam dalam setahun, waktu respons 45 menit, dan 9 kali padam per pelanggan per tahun.

Semua target itu kemudian dijadikan indikator kinerja perusahaan. Lalu diteruskan lagi menjadi indikator direksi, wakil direktur, general manager, manajer, dan terus sampai lini terbawah di PLN menggunakan key performance indicator (KPI)— sesuatu yang ketika itu kurang lazim diterapkan di BUMN.

Maklum, BUMN kita masih banyak yang menganut prinsip sama rata, sama rasa. Kerja keras atau kerja kendur, gajinya sama. Masih banyak terobosan lain yang dilakukan Dahlan ketika menjadi menteri BUMN. Anda ingat dengan mobil listrik yang diujicobanya sendiri? Idenya mengalir deras dan kebanyakan di luar pakem. Maka tak mengherankan kalau jajaran birokrasinya terkaget-kaget.

Empat Faktor

Di industri migas, Pertamina termasuk salah satu BUMN yang juga kerap melakukan terobosan. Namun mereka melakukannya secara sistematis. Ada rencana, eksekusi hingga evaluasi. Saya masih ingat saat membantu CEO Transformatif Ari Sumarno memimpin perubahan. Pertamina mengemasnya dalam Breakthrough Project (BTP)—program yang sudah mereka lakukan sejak 2015.

Hasilnya pun kelihatan. Kini hasilnya kelihatan di era Dwi Soetjipto saat Pertamina mengalihkan impor minyak dari Petral, anak usahanya yang berbasis di Singapura, ke integrated supply chain (ISC). Melalui program ini ternyata sepanjang Januari-Juni 2016 Pertamina mampu menghemat biaya hingga USD91 juta.

Lalu Pertamina juga mengubah pola pengadaan barang dan jasa dari desentralisasi ke sentralisasi. Perubahan ini juga mampu menghemat anggaran. Program BTP lainnya yang menekan biaya adalah pembenahan tata kelola dan arus minyak, di antaranya untuk memperkecil volume losses minyak dan produk minyak.

Tentu masih banyak lagi lainnya. Hasilnya selama semester I/2016, melalui program BTP, Pertamina mampu menghemat anggaran USD1,089 miliar atau 144% dari target. Angka penghematan itu jelas berpengaruh signifikan terhadap kinerja bisnis Pertamina. Sebagai gambaran, selama semester I/2016, laba bersih Pertamina adalah USD1,83 miliar.

Pengalaman Pertamina dengan program BTP-nya membuktikan bahwa kita masih memerlukanbanyakterobosan, termasuk di industri migas. Apalagi menurut kajian Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Indonesia, tingkat kesejahteraan yang kita peroleh dari industri migas selama tahun 2000 hingga 2011 terus menurun.

Sebaliknya pada periode yang sama, tingkat kesejahteraan para kontraktor migas justru meningkat. Apa penyebabnya? Menurut kajian itu, ada empat faktor yang semuanya berkaitan erat dengan cost recovery. Pertama, lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengendalikan cost recovery yang diajukan para kontraktor.

Banyak biaya yang kurang relevan dengan kegiatan eksplorasi, tetapi dimasukkan para kontraktor sebagai biaya. Kedua, sangat tingginya barrierto entry untukpengadaan berbagai barang dan jasa di sektor hulu migas. Alasan utama adalah karena industri migas adalah bisnis yang padat modal dan teknologi.

Maka pengadaan barang dan jasa harus selektif. Namun, ini yang ketiga, ternyata banyak juga kontraktor skala kecil yang masuk di bisnis hulu migas. Ini menciptakan inefisiensi. Keempat, sesuai dengan isi production sharing contract, peran kontraktor sangat dominan dalam mengendalikan aspek keuangan.

Butuh Keberanian

Saya kira kondisi yang menimpa industri migas juga terjadi pada industri-industri lainnya, termasuk yang dikelola BUMN. Inefisiensi masih terjadi di mana-mana. Lalu apa solusinya? Pembentukan holding company bisa menjadi salah satunya. Melalui pembentukan holding company, misalnya, Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk tak perlu duplikasi membangun jaringan pipa di jalur sama.

Cukup salah satu saja. Ini tentu akan menghemat biaya. Sejatinya sebagai sebuah gagasan, pembentukan holding company, adalah hal biasa sebagaimana juga merger atau akuisisi. Atau di sisi lainnya ada spin off, penjualan anak usaha, dan bahkan penutupan perusahaan. Banyak teknik untuk melakukannya.

Namun yang ingin saya tekankan adalah meski pembentukan holding company hal biasa, untuk mewujudkannya butuh banyak terobosan. Anda tahu, banyak BUMN kita yang perilakunya masih bak organisasi pemerintahan. Birokrasinya berbelit. SDM-nya belum bermental melayani dan belum memiliki mindsetbahwa setiap masalah adalah peluang.

Ini bukan hanya di level bawahan, tetapi juga manajerial. Mereka belum memiliki mindset seperti ucapan Michael Dell, “Every breakthrough business idea begins with solving a common problem. The bigger the problem, the bigger the opportunity.” Jadi, ke depan resistensi pembentukan holding company bakal sangat tinggi. Saat ini ibarat fenomena gunung es, yang kelihatan di permukaan tak sebesar masalah yang sesungguhnya.

Namun kita beruntung. Duet Jokowi-JK adalah sosok yang terbiasa melakukan terobosan dan bernyali. Ini penting, sebab setiap BUMN punya backing, termasuk dari kalangan politisi. Melakukan terobosan kadang tidak bisa sukarela. Bahkan bisa memaksa. Maka dibutuhkan keberanian.

Saya bermimpi seandainya pembentukan holding company BUMN sesuai dengan bidang industrinya bisa kita realisasi, kelak bukan hanya Pertamina yang masuk daftar Fortune Global 500. Mungkin akan ada lima atau enam BUMN lainnya yang menyusul.

Dan itu artinya kita akan punya reputasi dan kemampuan me-leverage financial yang lebih produktif. Sebab dengan mengatasi masalah ekonomi hari ini, kita akan menghadapi masalah baru di masa depan, yaitu energi akan selalu dirasa kurang. ●

Kita dan Sejarah Masa Depan

Kita dan Sejarah Masa Depan
M Alfan Alfian  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
                                              KORAN SINDO, 29 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menandai ujung tahun 2016, Quote of the Day KORAN SINDO beberapa hari lalu menampilkan kata-kata Thomas Jefferson, ”Saya lebih suka mimpi tentang masa depan yang lebih baik daripada sejarah masa lalu”.

Sepintas lalu, manakala tak dicermati secara lebih mendalam, sepertinya ujaran presiden ketiga Amerika Serikat tersebut menafikan sejarah masa lalu. Tetapi, tampaknya bukan begitu maksudnya. Sejarah masa lalu penting, tetapi sejarah masa depan jauh lebih penting. Istilah sejarah masa depan pernah di populerkan sosiolog Iran, Ali Syariati. Dia pernah menulis ”A Glance of Tomorrow’s History”.

Saya tidak akan memaparkan isi buku itu, tetapi terkesan dengan pandangannya yang menegaskan bahwa sejarah masa depan itu merupakan cara pandang yang lebih revolusioner. Penjelasannya seperti di atas bahwa sejarah masa lalu bukan tak penting, tetapi ia merupakan referensi yang sangat berharga sebagai cermin atau bahan-bahan yang diperlukan untuk menyusun perencanaan- perencanaan umat manusia dalam menyongsong masa depannya.

Pemahaman sejarah masa depan tampaknya segera berkait dengan visi masa depan. Bagaimana masa depan suatu bangsa tentu ditentukan oleh sejauh mana para elite penentu kebijakan dan segenap warga bangsa berikhtiar mewujudkan visi kebangsaannya. Setiap pemimpin bangsa punya paradigma untuk meraih visi kebangsaan tersebut kendatipun secara politik seringkali bisa bertolak belakang.

Hal ini dapat dimaklumi karena setiap pemimpin memiliki pandangan soal bagaimana cara untuk mewujudkan visi bangsanya. Suatu paradigma sebagai cara atau pendekatan bisa berbeda dari kekuatan politik yang satu dengan lain. Tetapi, kontinuitas merupakan sesuatu yang masih bertahan kendatipun suatu bangsa harus melalui jalan liku-liku rezim-rezim kekuasaan yang berbeda-beda.

Kita akan bisa menilik sejauh mana perubahan dan kontinuitas membuat perjalanan politik bangsa begitu dinamis. Dalam pengelolaan kebangsaan Indonesia, titik temunya adalah konsensus dasar negara Pancasila. Sejarah masa depan Indonesia tidak akan terputus dari jangkarnya, Pancasila, manakala konsensus kebangsaan tersebut dihormati oleh berbagai pihak sebagai perekat atau resultan yang mempersatukan perbedaan dan memberdayakan segenap potensi kemajemukan.

Pemahaman sejarah masa depan kita perlukan dalam dua hal sekaligus. Pertama, sebagai sarana untuk mencandra masa depan secara rasional dan terukur dalam bingkai ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Mencandra masa depan, dalam hal ini, bukan dalam pengertian ramalan-ramalan mitologis, tetapi lebih pada konteks implementasi ilmu futurologi, bagaimana kecenderungan- kecenderungan masa depan, termasuk perkembangan perilaku manusia, mampu dipetakan. Kedua, sebagai pertimbangan dalam ikhtiar respons dan antisipasi.

Kalau peta masa depan jelas, respons dan antisipasinya bisa lebih tepat. Nilai-nilai dan pengalaman masa lalu bagaimanapun memiliki posisi yang penting dalam memahami sejarah masa depan. Hukum keberulangan sejarah (le histoire se repete) merupakan hal penting untuk merumuskan strategi ke depan.

Sejarah sebagai suatu kontinuitas masa lalu kini dan hari esok tentu ditandai oleh peristiwa-peristiwa yang secara hakikat terus berulang. Inti pesan peristiwa sejarah, kapan pun kejadiannya, akan selalu menemukan contoh kasusnya yang lain di masa kini dan masa yang akan datang.

Misalnya, masalah krisis ekonomi pada masa lalu dan kini antara lain disebabkan oleh keserakahan manusia, pada masa depan faktor ini juga bisa terjadi. Demikian pula dalam sejarah politik. Jatuh dan bangun rezim-rezim politik selalu seolah-olah merupakan peristiwa yang contoh kasusnya dapat dijumpai sepanjang masa. Selalu ada paralelisasi sejarah.

Sejarawan tak jarang menjelaskan fenomena kenaikan seorang tokoh ke puncak kekuasaan hari ini, paralel dengan peristiwa yang hampir sama pada masa lalu, sebagai suatu déjà vu. Hukum-hukum kekuasaan abadi sepanjang masa. Maka itu, hukum sejarah masa depan kekuasaan hakikatnya identik dengan hukum sejarah itu sendiri. Seorang penguasa akan bertahan atau jatuh bergantung kemampuannya mengelola kekuasaan.

Apakah kekuasaan akan dikelola secara lembut (soft) atau keras alias dominatif, semua itu memunculkan konsekuensinya. Sejarah perlawanan terhadap kekuasaan yang dihadapi oleh penguasa secara persuasif kompromistis atau keras konfrontatif juga masih menjadi pilihan-pilihan eliteelite penguasa masa kini dan masa datang.

Hantu-hantu kekuasaan atau salah satu versinya sebagaimana dipopulerkan Thomas Hobbes sebagai Leviathan, monster dasar laut, di satu sisi, dan hantu-hantu penggerogot kekuasaan, juga pada hakikatnya sama kendati bentuknya berbeda bergerak di dunia nyata dan maya.

Maka itu, yang kita butuhkan adalah, apa yang pernah disinggung oleh futurolog John Naisbitt sebagai kepekaan intuisi atau nurani justru agar yang mengemuka adalah kearifan atau kebijakan. Bagaimana menjadi arif dan bijak di masa ketika banjir informasi tak bisa dibendung, yang asli dan palsu tumpang tindih? Naisbitt menganjurkan agar kepekaan intuisi dikedepankan.

Tetapi, intuisi yang dimaksud bukan dalam konteks insting hewani, tetapi kepekaan kita sebagai manusia, kemanusiaan kita. Kemampuan membedakan yang ”benar dan salah”, ”baik dan buruk” ada pada manusia kendatipun semua itu relatif. Kearifan dan kebijakan itulah filternya agar manusia tidak tergilas oleh gelegar perkembangan sejarah yang terus menyeretnya ke arus masa depan.

Para aktor sejarah, terutama lapisan elite maupun noelite, akan seperti masuk ke lorong labirin sejarah masa depan sedemikian rupa dan mereka bisa terjebak pada ihwal yang dapat menyanderanya. Mereka tak mampu mengendalikan kereta sejarah, tetapi terjebak pada lorong kepentingan jangka pendek yang buntu dalam lingkaran labirin sejarah.

Kepentingan kepentingan parsial jangka pendek itu ibarat kolesterol jahat yang mampu menyumbat pembuluh darah. Kalaupun kita cari istilah lain yang barangkali lebih tepat, kepentingan jangka pendek yang dimaksud identik dengan egoego manusia dalam berpolitik, berekonomi, dalam kehidupan sosial, penegakan keadilan, dan sebagainya.

Mereka tak mampu mengelola ego-ego yang mereka miliki sehingga yang mengemuka adalah perilaku-perilaku destruktif. Puncaknya adalah peperangan yang saling menghancurkan. Dalam hal ini, sepanjang masa pun kita masih akan terus jumpai, bagaimana sejarah manusia, pada hakikatnya juga sejarah peperangan.

Maka itu, mimpi kita semua tentang masa depan barangkali apa yang pernah dimimpikan Thomas Jefferson. Dia menorehkan mimpi-mimpinya sebagai pijakan bangsa Amerika Serikat, yang sesungguhnya juga mimpi-mimpi yang universal. Manusia diciptakan sederajat. Manusia harus bersama-sama menggapai kedamaian dan kebahagiaan kendati di alam nyata yang dijumpai paradoks-paradoksnya. ●

Presiden di Antara Perang Industri Pertahanan Dunia

Presiden di Antara Perang Industri Pertahanan Dunia
Connie Rahakundini Bakrie  ;   Dewan Pembina National Air and Space Power of Indonesia; President Indonesia Institute for Maritime Studies
                                              KORAN SINDO, 29 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dengan beberapa bidikan dari tempat tersembunyi, paparazzi military industry Rich Pittman berhasil mengambil foto jarak jauh dari heli AgustaWestland AW 101 yang dibeli TNI AU di pusat pabriknya di Yeofil, Inggris pada 19 Desember 2016.

Hal ini telah kembali berhasil membuat heboh belantika industri pertahanan Tanah Air karena Pittman tidak lupa menyisipkan info penyesatan bahwa heli tersebut merupakan bagian dari helikopter AW 101 yang sedianya dibeli India, tetapi dibatalkan karena kasus korupsi. Berita plesetan ini membawa ke pertanyaan, apa yang sebenarnya sedang terjadi di belantara industri pertahanan kita?

Siapa yang bermain dan untuk tujuan apa? Dalam membahas industri pertahanan, patut diingat bahwa terdapat kaitan (link) yang erat antara politik dan perdagangan senjata. Kaitan tersebut dapat mengakibatkan perkembangan sebagaimana digambarkan Presiden AS Dwight D Eisenhower sebagai sebuah pertarungan di mana angkatan bersenjata, perdagangan, industri, dan politik terjalin dalam hubungan erat.

Terkadang proses tender yang kompetitif terjadi, di mana keputusan dibuat berdasarkan bukan hanya pada harga alutsista yang dipilih, melainkan juga pada manfaat dari desain, kelengkapan persenjataan, keterkinian technology, offset, and transfer of technology, serta beragam peraturan dan kontrak yang diajukan antara perusahaan penjual dan negara pembeli.

Karena kelihaian dalam mengelola link antara politik dan perdagangan inilah, hingga kini Amerika tetap mengambil bagian terpenting pemasok senjata ke negara berkembang (36% dari penjualan senjata dunia), diikuti oleh Rusia, Inggris, Jerman, dan China.

Pembelian AW 101 sejak akhir 2015 memang terlihat jelas sengaja dibuat untuk terus mengundang kontroversi dan kegaduhan. Proses pengadaan ini awalnya menjadi konsumsi publik karena mendapat kritik keras sebab helikopter ini dinilai berspesifikasi sama dengan EC725 Cougar (Super Puma) yang ”dianggap” telah mampu diproduksi PT Dirgantara Indonesia.

Kontroversi lalu disusul pemberitaan Presiden Jokowi menolak pembelian heli VVIP seharga USD55juta(Rp761miliar) iniuntuk menunjang tugasnya karena dianggap terlalu mahal. Terdapat dua hal yang terus dengan sengaja dicampurbaurkan dalam pemberitaan tendensius terkait AW 101: Pertama, terkait heli VVIP untuk tugas kenegaraan Presiden.

Kedua, terkait aspek pembelian heli sesuai daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dalam memenuhi tuntutan penyerapan anggaran dan tugas pokok TNI AU. Terkait kegaduhan AW101 di Indonesia dan proses pengadaannya, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi: Pertama, KASAU dalam hal pengadaan AW 101–bukan, tidak pernah dan tidak sedang– melawan perintah Presiden selaku panglima tertinggi, melainkan KASAU dengan peran tugasnya justru sedang berusaha memenuhi tuntutan terkait perpres, UU tentang pelaksanaan buku DIPA, dan penyerapan anggaran.

Saat anggaran VVIP heli kembali ke TNI AU, untuk mengalihkan anggaran tersebut ke heli angkut KASAU bersurat pada semua institusi terlibat, baik Kabaranahan Kemhan, Mabes TNI, Depkeu, Sekab, maupun Setneg. Ini dilakukan karena masing-masing matra juga memiliki anggaran yang dikelolanya sendiri sehingga yang paling mengetahui placement anggaran akan pemenuhan kebutuhannya adalah hanya matra terkait.

Itu mengapa ketika Kemhan sekalipun berkeinginan membeli alutsista atau apa pun itu yang nanti akan didistribusikan ke masing-masing matra, Kemhan harus meminta spesifikasi ke angkatan masingmasing dan tidak dapat mengintervensi spesifikasi dan anggaran matra tersebut. Kedua,AW 101 yang sedang dalam proses persiapan serah terima pada 2017 mendatang bukanlah heli VVIP yang diperuntukkan bagi Presiden, melainkan heli angkut pasukan, evakuasi bencana, dan medis TNI AU.

Itu mengapa pengoperasian AW 101 bukan pada Skadron 45 (SkadronVVIP), melainkanoleh Skadron 6 di Lanud Atang Sanjaya, Kalijati, untuk segera menggantikan Puma yang masa pakainya tinggal dua tahun. Ketiga, tidak pada tempatnya untuk membandingkan AW101 terhadap Puma Cougar (EC725). Dari segi bobot, AW 101 berbobot 16 ton, sedangkan Puma hanya 11 ton.

Dari segi engine and endurance, AW101 ditopang tiga engine dengan endurance 900nm, sedangkan EC725 ditopang tiga engine dengan endurance 600nm sehingga sangat tidak fair jika dari perbedaan antara bobot, endurance and machine tersebut, kemudian Presiden dan masyarakat dipaksa membandingkannya semata dari segi harga. Selain itu, patut dicatat bahwa dengan harga USD55 juta, setiap AW 101 telah mencakup suku cadang, peralatan kerja, pelatihan, paket pendidikan, dan sebagainya.

Keempat, sehebat-hebatnya manusia dan teknologi yang terlibat dalam industri pertahanan, industri ini bukanlah industri sulap dan abrakadabra. Artinya, ia memerlukan waktu untuk tumbuh, belajar, dan berkembang. Di lain sisi, militer dari seluruh angkatan termasuk juga TNI AU sebagai pengguna dalam pemenuhan tuntutan tugas pokoknya juga jelas tidak dapat menunggu kesiapan terwujudnya kemampuan kemandirian industri pertahanan (indhan) tersebut.

Inilah jawaban mengapa AW 101 menjadi pilihan KASAU yang juga sebagai Preskom PTDI sadar sangat akan kemampuan PTDI yang masih tertatih dan jelas tidak dapat ditunggu jika dihadapkan pada tuntutan tugas yang wajib dilaksanakan.

Patut diketahui oleh masyarakat bahwa dari dua unit EC725 yang telah diserahkan masing-masing ke TNI AU dan dua unit Dauphin AS355 ke Basarnas, hanya dua yang bisa beroperasi karena dua lainnya juga mengalami kebocoran pada gearbox sehingga sampai hari ini belum dapat dioperasikan. Jelas hal ini mengancam pemenuhan tugas pokok pengguna, baik TNI AU maupun Basarnas.

Kelima, indhan dan pembangunannya bukanlah hak prerogatif BUMN, tapi juga hak setiap perusahaan swasta yang tertarik dan mampu untuk dapat menjadi industri pertahanan. Mengapa swasta harus didorong dan difasilitasi untuk juga dapat tumbuh besar? Karena, swasta tidak memerlukan dana bantuan negara untuk mewujudkan industrinya.

Menurut SIPRI pada 2015 dan 2016 negara penggelontor anggaran pertahanan terbesar adalah Amerika, China, Rusia, Arab Saudi, dan Inggris. Sementara kontraktor terbesar dunia sebagai pemasok persenjataan adalah Leonardo Finmeccanica (USD14,56 miliar), EADS (USD16,39 miliar), Northrop Grumman (USD21,39 miliar), Raytheon (USD22,74 miliar), General Dynamics (USD23,76 miliar), BAE Systems (USD29,15 miliar), Boeing (USD31,83 miliar), dan Lockheed Martin (USD36,27 miliar).

Bisakah BUMN dan BUMNIS kita mengejar mereka? Tentu bisa dengan syarat negara memberikan keleluasaan yang besar padaend user untuk menentukan pilihannya berdasarkan kebutuhan operasi dan kajian teknis. Pengembangan indhan perlu mempertimbangkan transparansi teknologi dan nilai tepat guna dari segi pertahanan.

Karena itu, indhan harus memprioritaskan TNI sebagai konsumen utama karena dengan keterlibatan TNI dapat dihasilkan feedback system yang dapat menunjang perkembangan industri penerbangan baik militer dan nonmiliter yang dinamis. Terkait hal ini, seharusnya terdapat transparansi dalam aspek local content dari EC725 yang diserahkan ke TNI AU, 11 PanthermilikTNIAL, sertaDauphin AS365 milik Basarnas.

Sehingga, pertanyaan apakah Eurocopter adalah hasil produksi ataukah hasil pembelian PT DI dapat terpapar dengan jelas. Bukankah Presiden serta rakyat negeri ini berhak mengetahui tentang kemandirian indhan dirgantara yang sesungguhnya?

Karena diperlukan proses identifikasi prioritas dalam pengadaan alutsista serta peningkatan profesionalisme indhan dalam segi produksi, distribusi, maupun pelayanan, end user harus memiliki kemandirian menentukan produk pilihannya (Sikorsky, Leonardo, Belltextron, Eurocopter, MI, dan sebagainya).

Setelah itu, baru kemudian memilih BUMN dan BUMNIS mana yang mampu menangkap peluang berkolaborasi dengan manufaktur terkait sesuai kebutuhan pengembangan kekuatan dan teknologi heli yang diperlukan.

Jelaslah sangat, proses pengadaan alutsista yang memiliki objective pembangunan kekuatan dan kemandirian indhan harus dapat kita jaga dari jebakan persaingan raksasa indhan dunia di mana dengan sekadar jepretan paparazzi berujung menjadi ajang benturan kepentingan yang saling menjatuhkan antara komponen bangsa dan memecah belah persatuan.

Hanya dengan kesadaran tersebut, bangsa ini akan semakin mampu memperkuat kemampuan militer dan kemandirian indhannya dan yang terpenting, berarti membebaskan Presiden dan TNI tercinta kita dari perangkap permainan licin perang industri pertahanan dunia! ●

Merespons Ketidakpastian Global 2017

Merespons Ketidakpastian Global 2017
Bambang Soesatyo  ;   Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar;
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
                                              KORAN SINDO, 29 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jelang berakhir 2016, Amerika Serikat (AS), Rusia, dan China sudah terperangkap dalam benih-benih konflik. Eskalasi ketidakpastian global pun tak terelakan sepanjang 2017.

Sudah barang tentu ketidakpastian global yang tereskalasi itu akan berdampak ke Indonesia. Namun, jika mampu mewujudkan kepastian politik dan tertib hukum, Indonesia niscaya bisa menarik manfaat dari ketidakpastian global itu. Eskalasi ketidakpastian global bersumbu pada faktor Amerika Serikat yang terbelah pascapemilihan presiden November 2016, yang dimenangkan kandidat Partai Republik, Donald Trump.

Faktor lain adalah perilaku kepemimpinan Trump sendiri. Kemenangan Trump yang mengejutkan itu tak hanya membelah AS, tetapi juga menghadirkan sejumlah persoalan baru, baik di dalam negeri AS maupunbagi dunia pada umumnya. Periode transisi pemerintahan dari Presiden Barack Obama ke rezim Trump diwarnai suasana tidak kondusif di AS.

Trump harus memetik buah dari tema-tema rasis yang digaungkannya selama periode kampanye. Kemenangannya membangkitkan sentimen supremasi kulit putih, kemarahan warga kulit hitam, ujaran kebencian kepada komunitas Yahudi, muslim, dan warga imigran, hingga ancaman sejumlah perusahaan terkemuka AS untuk hengkang dari negeri itu.

Rangkaian persoalan ini bagaikan api dalam sekam karena belum tuntas penyelesaiannya. Persoalan lain yang cukup sensitif dimunculkan komunitas intelijen. Sensitif karena mengarah pada upaya mereduksi legitimasi kemenangan Trump. CIA (dinas intelijen AS) sudah mengungkap sepak terjang Rusia mengintervensi pemilu 2016 guna membantu kemenangan Trump.

Persoalan ini menjadi makin sensitif karena para pembantu Obama di Gedung Putih dan CIA yakin Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi otak di balik aksi meretas ribuan e-mail Komite Nasional Partai Demokrat dan Partai Republik. Hanya e-mail petinggi Partai Demokrat yang diungkap ke publik oleh WikiLeaks, termasuk e-mail ketua tim kampanye Hillary Clinton.

Komunitas intelijen menuduh Donald Trump tahu betul tentang aksi peretasan e-mail oleh intelijen Rusia. Maka, Trump pun mengecam Gedung Putih dan CIA. Namun, masalahnya adalah tuduhan kepada Rusia dan Putin diduga sudah menjadi keputusan bulat CIA sebagai institusi, bukan orang per orang atau sekelompok intelijen.

Hasil temuan CIA itu bahkan sudah dipresentasikan secara tertutup kepada sejumlah anggota senat AS. Seorang pejabat AS pun sudah mengeluarkan ancaman bahwa pada waktunya nanti Rusia akan menerima balasan. Tentu saja isu ini tidak hanya membuat Trump tidak nyaman, tetapi juga berpotensi merusak hubunganAS-Rusia. Sebesar apa skala kerusakan hubungan dua negara superpower itu akan terlihat pada 2017.

Coba mengalihkan perhatian dari isu di dalam negeri, Trump mengusik para pemimpin China di Beijing. China melancarkan protes keras karena Trump melakukan pembicaraan via telepon dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Tidak terima dengan protes Beijing, Trump membuat pernyataan tentang kemungkinan AS mengakhiri Kebijakan Satu China.

Jika rezim Trump akhirnya benar-benar mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara terpisah dari China daratan, Beijing sudah pasti tidak akan tinggal diam. Masyarakat internasional juga masih harus menunggu kejelasan sikap Trump terhadap progres pengembangan senjata nuklir milik Iran dan Korea Utara. Sikap rezim Trump terhadap dua negara itu sedikit-banyak akan berkontribusi pada ketidakpastian global sepanjang 2017. Sesuai jadwal, Trump akan diambil sumpahnya sebagai presiden AS pada 20 Januari 2017.

Itulah faktor-faktor utama yang diperkirakan akan mengeskalasi ketidakpastian global sepanjang 2017. Karena perilaku Trump sudah memerangkap AS, Rusia, dan China dalam benih konflik, Indonesia tentu harus mengamati dengan seksama progres dari persoalan- persoalan yang menyelimuti tiga negara kekuatan utama itu.

Tertib Hukum

Sebab, entah besar atau kecil, dampaknya sudah pasti akan dirasakan oleh Indonesia juga. Memang, untuk Indonesia dan banyak negara lain, dampak langsung ketidakpastian global bukan sesuatu yang baru. Biasanya ditandai dengan fluktuasi nilai tukar valuta, tinggi-rendah suku bunga, arus keluar-masuk dana asing, fluktuasi harga energi, khususnya minyak, hingga arus investasi langsung.

Untuk mereduksi dampak ketidakpastian global itu, Pemerintah Indonesia hendaknya tetap menjaga hubungan baik dengan tiga negara itu. Sudah ada landasan untuk menjaga hubungan baik itu karena Indonesia bersama AS, China, dan Rusia sudah terikat oleh sejumlah program kerja sama di sejumlah bidang.

Khusus dengan China, Indonesia harus mempertahankan sikap dan pendirian terkait potensi konflik di Laut China Selatan. Tegas mempertahankan perairan kepulauan Natuna sebagai bagian tak terpisah dari kedaulatan NKRI, sambil tetap menjaga hubungan baik dengan Beijing.

Dampak ekonomis ketidakpastian global itu, sebagaimana lazimnya, akan ditangani dengan pendekatan atau penyesuaian kebijakan ekonomi. Improvisasi kebijakan-kebijakan seperti itu tentu menuntut suasana dalam negeri yang kondusif. Dengan begitu, untuk mengantisipasi ekses dari eskalasi ketidakpastian global sepanjang 2017 itu, tantangan dan beban persoalan yang akan dihadapi sudah cukup jelas.

Persoalan-persoalan ekonomi akan direspons oleh para menteri ekonomi di Kabinet Kerja bersama Bank Indonesia (BI). Dan, untuk menjaga kondusivitas dalam negeri, menjadi kewajiban Polri dan institusi penegak hukum lainnya menjaga dan memelihara ketertiban umum.

Harus dipastikan bahwa agenda nasional seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di lebih dari 100 daerah pemilihan pada Februari 2017 berjalan tertib dan damai. Perhatian khusus memang harus diberikan pada agenda Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.

Proses menuju Pilgub Jakarta menjadi agak panas karena ada kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan kandidat petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Apa pun reaksi publik atas putusan majelis hakim yang menyidangkan kasus ini harus diantisipasi dan dikelola dengan bijaksana oleh Polri.

Aksi pengerahan massa untuk merespons vonis majelis hakim kasus Ahok sebaiknya tidak lagi dilakukan. Karena, pengerahan massa ke pusat pemerintahan dan jantung bisnis Jakarta tidak hanya menimbulkan rasa takut, tetapi juga membuat ibu kota negara menjadi tidak produktif sebab masyarakat enggan melaksanakan kegiatan produktif mereka.

Tidak kalah pentingnya adalah terus mengamati pergerakan terbaru dari kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pascakekalahan di Aleppo Timur, Suriah. Jika pasukan Suriah dan Rusia terus menggempur, tidak tertutup kemungkinan pasukan ISIS akankeluardari kawasanitu.

Dengan begitu, pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte menjadi relevan untuk digarisbawahi, sekaligus faktor pendorong meningkatkan kewaspadaan. Panglima TNI dan Presiden Filipina sudah mengungkap rencana ISIS membangun basis di Filipina Selatan untuk mewujudkan kekhalifahan baru di Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Rencana ISIS itu relevan untuk dikaitkan dengan kembalinya puluhan simpatisan ISIS warga negara Indonesia (WNI) ke Tanah Air. Pertanyaannya, mereka kembali untuk apa? Kembali untuk menjalani kehidupan normal? Atau, kembali untuk mewujudkan rencana ISIS membangun kekhalifahan di Asia Tenggara?

Maka, belajar dari kegagalan Pemerintah Irak dan Suriah melumpuhkan ISIS, Pemerintah Indonesia patut memberi wewenang penuh dan keleluasaan kepada TNI dan Polri untuk mempersempit ruang gerak para simpatisan ISIS di Indonesia. Apalagi, ada semacam gelagat bahwa sel-sel terorisme di Indonesia juga memberi respons positif terhadap rencana ISIS membangun basisnya di Asia Tenggara.

Kelompok-kelompok teroris itu sudah terang-terangan melampiaskan kebencian pada segenap jajaran Polri. Sejumlah prajurit Polri telah menjadi target serangan. Untuk memperkecil atau melumpuhkan potensi ancaman itu, perlakuan hukum terhadap para terduga dan tersangka teroris harus ekstrategas.

Termasuk pada mereka yang diduga sebagai simpatisan ISIS di dalam negeri. Para simpatisan ISIS harus dilumpuhkan agar mereka tidak memiliki peluang mewujudkan pembangunan basis ISIS di Asia Tenggara. Faktor lain yang juga akan meningkatkan kondusivitas di dalam negeri adalah melihat progres dari program pemerintah memberangus pungutan liar (pungli).

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87/2016 sebagai payung hukum bagi Satuan Tugas Sapu Bersih (Satgas Saber) Pungli melaksanakan tugasnya. Kerja memberangus pungli tidak boleh terhenti, bahkan harus berkesinambungan. Kerja ini jangan sampai berujung sia-sia seperti sebelumnya. Pemberantasan pungli harus berhasil dan menghadirkan manfaat sebesar- besarnya bagi rakyat di semua pelosok negeri.

Semua elemen masyarakat mendukung dan mengapresiasi kesungguhan pemerintah memberantas pungli. Bagi masyarakat sebagai pelanggan ragam jasa dari pemerintah pusat dan daerah, keberhasilan Satgas Saber Pungli hanya diukur dari dua indikator. Pertama, berkurangnya praktik pungli pada semua lini layanan publik.

Kedua, tumbuhnya efek jera dari pegawai negeri sipil dan pegawai daerah melakukan pungli. Upaya mengurangi praktik pungli tentu saja bergantung pada dua hal, yakni efektivitas kerja Satgas Saber Pungi, dan kesungguhan pengawas internal pada setiap institusi (inspektorat jenderal) meningkatkan efektivitas pengawasan.

Dan, jangan lupa bahwa praktik pungli nyaris sudah menjadi kebiasaan tak tertulis. Karena itu, tidak realistis jika diasumsikan pungli bisa diberantas dalam waktu singkat. Bisa diprediksi bahwa Satgas Saber Pungli memerlukan kerja tahunan untuk mewujudkan keberhasilan yang maksimal.

Lebih dari itu, kerja memberantas pungli tidak akan bisa mencapai hasil yang diharapkan jika dilakoni dengan sekadar menangkap dan menjatuhkan sanksi ala kadarnya kepada oknum pelaku pungli. Maka, pelaku pungli yang terbukti harus diganjar dengan sanksi keras sebab hasil maksimal dari pemberantasan pungli ditentukan oleh efek jera.

Para petugas pelayan publik harus dibuat takut atau jera untuk melakukan pungli. Dan, efek jera ditentukanolehberapaberatsanksi yang dijatuhkan terhadap oknum yang terbukti melakukan pungli. Kalau ukuran sanksi terbilang ringan, pungli akan sulit dihilangkan, seperti korupsi. Keberhasilan mereduksi praktik pungli akan menampilkan wajah birokrasi Indonesia yang ramah dan produktif.

Pada gilirannya, investor asing dan lokal akan merasa nyaman dan berani merealisasikan investasi. Presiden sudah berhasil mempromosikan potensi investasi di berbagai negara dan meraih begitu banyak komitmen investasi asing di dalam negeri. Jika bisa menjaga stabilitas politik dan tertib hukum, bukan tidak mungkin Indonesia justru bisa mendapatkan manfaat berupa arus masuk investasi langsung di tengah ketidakpastian global sepanjang 2017. Selamat Tahun Baru 2017. ●

Memprihatinkan Politik Global

Memprihatinkan Politik Global
Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
                                           SUARA MERDEKA, 27 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MASYARAKAT internasional akhir-akhir ini diliputi waswas dan prihatin melihat dan membaca realitas politik global yang sedang dan akan terjadi. Apa gerangan yang membuat publik dunia berperasaan demikian? Tentu, pertama, yang membuat masyarakat dunia cemas dan prihatin adalah masih banyak dan kompleks konflik bersenjata di berbagai belahan bumi mulai dari konflik Palestina-Israel yang sudah berlangsung 68 tahun. Kemudian perang di Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, hingga Libya. Ancaman (serangan) terorisme di banyak negara termasuk Indonesia.

Adanya potensi konflik bersenjata di sejumlah kawasan, seperti Laut China Selatan dan Semenanjung Korea. Potensi konflik bersenjata di dua kawasan ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena sangat potensial menyeret kekuatan- kekuatan besar, yaitu Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, untuk terlibat langsung dan saling berhadapan. Potensi konflik di dua kawasan itu termasuk bersumbu pendek.

Sangat mudah tersulut menjadi perang terbuka yang mendistabilisasi keamanan dan politik di kawasan Asia Tenggara atau Asia Timur pada umumnya. Ancaman (serangan) terorisme di banyak negara juga tak bisa dianggap remeh. Keberadaannya jelas nyata, bukan sekadar isapan jempol.

Bahkan negara-negara Eropa, seperti Prancis, Jerman, dan Turki belakangan termasuk kerap disasar serangan teroris hingga menimbulkan korban jiwa. Salah satu kelompok teroris (ekstremis) yang sangat berbahaya dan selalu diwaspadai adalah Islamic State (IS) yang bermarkas di Irak (Mosoul) dan Suriah (Aleppo) pimpinan Abu Bakar Al-Bagdadi. Meski basis mereka di Mosoul dan Aleppo belakangan diporak-porandakan oleh gempuran masif militer loyalis pemerintah Irak dan militer rezim Bashar Assad di Suriah yang di-back up penuh pasukan Rusia, tidak serta-merta pengikut IS yang masih hidup mau bertekuk lutut.

Diberitakan, sebagian dari mereka melarikan diri ke Asia Tenggara dan bakal menjadikan wilayah Filipina Selatan, Indonesia (Sulawesi dan Kalimantan), Brunei Darussalam, serta Malaysia (Sabah dan Sarawak) sebagai basis baru Kekhalifahan IS.

Keberhasilan Kepolisian RI membongkar “persembunyian” simpatisan (pengikut) IS di Bekasi dan Solo yang akan melancarkan serangan bom bunuh diri ke Istana Negara baru-baru ini tentu menjadi indikasi kuat akan ketercakupan Indonesia sebagai area target yang bakal dijadikan salah satu markas IS di Asia Tenggara.

Tentang konflik bersenjata yang masih berkecamuk di Timur Tengah atau kawasan lain, tentu hal itu sudah lama menjadi keprihatinan global. Publik dunia (PBB) pun sejatinya sudah kelewat banyak berikhtiar guna mengupayakan penyelesaiannya.

Tapi semua belum membuahkan hasil positif. Israel masih saja belum mau merelakan Palestina merdeka dan memiliki negara sendiri. Para pihak bertikai di Afghanistan, Irak, Suriah, Yaman, dan Libya belum mau berdamai. Malah perkembangan mutakh i r terutama di Irak dan Suriah (terkait perang melawan IS) makin memprihatinkan.

IS Keras Kepala

Sudah disinggung di atas, meski markas IS di Mosoul dan Aleppo sudah hancur, ratusan penduduknya terdiaspora dan mengungsi di negara lain, serta sebagian besar wilayah sudah dikuasai militer pemerintah Irak atau pemerintah Suriah, loyalis IS yang tersisa tak kunjung mau menyerahkan diri.

IS benar-benar keras kepala, tak mau takluk. Pesan singkat dari fakta tersebut, IS bertekad menjadi ancaman serius keamanan yang terusmenerus bagi keamanan publik dunia. Kedua, suksesi nasional di AS. Inagurasi alih tongkat estafet kepemimpinan Negeri Paman Sam akan dilakukan pada 20 Januari 2017 dari Barack Hussein Obama (Partai Demokrat) ke Donald John Trump (Partai Republik).

Trump berhak menggantikan Obama dan dinobatkan sebagai Presiden Ke-45 AS setelah menang dalam Pemilihan Presiden 8 November lalu atas kandidat Demokrat Hillary Roddam Clinton. Tetapi tidak semua masyarakat AS menyambut gembira kemenangan Trump. Malah sebagian warga AS berunjuk rasa di jalan-jalan memprotes kemenangan konglomerat real estat asal New York itu. Mereka menolak keterpilihan Trump.

Tidak cuma itu, masyarakat di Negara Bagian California berniat memisahkan diri dari AS (Suara Merdeka, 12 November 2016). Mereka menolak kemenangan Trump karena suami Melania itu bersikap rasis. Di luar itu, Trump berkepribadian temperamental. Bagaimana jadinya seorang temperamental memimpin negeri adidaya yang notabene pemegang kendali pengaruh dunia dewasa ini?

Akankah Trump tampil sebagai inspirator sekaligus pelopor bagi upaya-upaya penyelesaian konflik bersenjata yang kini masih berkecamuk di berbagai kawasan? Atau sebaliknya, Trump bakal tampil sebagai provokator yang makin mempersulit upaya penyelesaian konflik-konflik bersenjata yang tengah berlangsung? Bahkan lebih dari itu, menjadi pemicu bagi kobaran api peperangan baru? Tentu, pertanyaan-pertanyaan itu akan terjawab saat Trump menduduki singgasana Gedung Putih. ●