Minggu, 31 Januari 2016

BUMN, Trader, dan Harga Gas

BUMN, Trader, dan Harga Gas

Marwan Batubara  ;  Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (Iress)
                                                   REPUBLIKA, 26 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Penerbitan Permen ESDM No 37/2015 tentang Ketentuan Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi telah memberi harapan adanya perbaikan tata kelola gas bumi nasional. Namun, tak sampai sebulan, permen yang terbit 23 Oktober 2015 ini ditarik kembali. Pemerintah gamang menghadapi trader gas yang keberatan atas aturan baru dalam permen, terutama tentang alokasi gas yang hanya diberikan kepada BUMN dan BUMD.

Kuasa Hukum Asosiasi Pedagang Gas Alam Indonesia (INGTA) Yusril Ihza Mahendra meminta Menteri ESDM segera menyelesaikan revisi permen. "Peraturan tersebut berpotensi mematikan swasta dan pengusaha kecil yang selama ini bergerak di bidang penyaluran gas alam ke konsumen akhir," kata Yusril (30/12/2015). Menurut Yusril, substansi permen bertentangan dengan UU Migas dan UU Antimonopoli, sehingga berpotensi dibatalkan Mahkamah Agung melalui gugatan uji materi.

Yusril mengatakan, selaku kuasa hukum INGTA telah menyampaikan masukan kepada Menteri ESDM terkait revisi Permen No 37/2015 pada November 2015. Disebutkan, Menteri ESDM akan segera merevisi permen itu berdasarkan masukan berbagai pihak. Tulisan ini akan membahas apakah revisi permen layak dilakukan.

Pada prinsipnya, ketentuan baru dalam Permen No 37/2015 adalah perbaikan atas Permen No 3/2010. Berbagai ketentuan liberal dalam PP No 3/2010 sebagai turunan dari UU Migas No 22/2001 dan PP No 36/2004 pada hasil akhirnya membuat pelayanan gas kepada masyarakat, sektor industri, PLN, transportasi mengalami banyak kendala. Dampak negatif terjadi meliputi infrastruktur tidak terbangun, pelayanan menurun, kelangkaan gas, harga gas mahal (termahal di ASEAN), daya saing industri rendah, dan lainnya.

Mahalnya harga gas disebabkan sebagian pelaku industri membeli gas dari trader. Trader mendapat alokasi gas dari pemerintah (KESDM/SKK Migas) meskipun mereka tidak memiliki fasilitas. Bahkan, ada trader yang memperoleh gas dari trader lain, sehingga menambah rantai bisnis dan harga gas mahal.

Kondisi industri gas nasional saat ini melibatkan banyak trader sebagai perantara. Semakin banyak perantara, membuat industri tidak efisien dan harga yang dibayar konsumen menjadi lebih mahal.

Tak heran dengan rantai bisnis yang tidak efisien berdasar model peraturan yang liberal ini, harga gas di tingkat konsumen dapat lebih mahal 5,5 dolar AS-6 dolar AS per mmbtu dari seharusnya. Cukup pantas jika konsumen gas menyambut baik terbitnya Permen No 37/2015, terutama untuk mengoreksi tata kelola saat ini yang melahirkan penjualan berjenjang dan menyediakan celah berperannya para trader dan pemburu rente.

Pasal 6-12 Permen No 37/2015 mengatur penyaluran gas bumi kepada pengguna gas bumi hanya akan dijalankan oleh BUMN dan BUMD. Gas yang dialokasikan tak dapat diniagakan kembali selain kepada pengguna akhir. Permen ini memperjelas dan mengembalikan hak penguasaan dan pengeloaan sektor gas bumi kepada negara.

Pengelolaan sektor strategis dan menyangkut hidup orang banyak seharusnya dilakukan oleh BUMN dan BUMD sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, sangat disayangkan jika Menteri ESDM justru berkenan memenuhi tuntutan para trader, padahal perbaikan permen merupakan amanat konstitusi.

Yusril dan INGTA menyebut Permen No 37/2015 bertentangan dengan UU Antimonopoli dan berpotensi dibatalkan Mahkamah Agung sehingga harus direvisi. Padahal, kebijakan monopoli alamiah sektor pelayanan publik normal berlaku di dunia dan dijamin pula oleh konstitusi untuk dijalankan BUMN. Dengan monopoli alamiah tercipta pelayanan yang luas, harga wajar, cross-subsidy antarwilayah (dari yang padat ke yang jarang konsumen) dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan.

Menurut konstitusi dan UU, monopoli tidak dilarang. Hal yang dilarang adalah praktik monopoli yang merupakan penyalahgunaan dari monopoli. Sejak semula, industri gas di Indonesia bersifat monopoli alamiah. Tetapi, dengan berlakunya UU Migas, pelayanan dikompetisikan di beberapa segmen penyedia gas dan trader.

Karakteristik sektor gas dengan monopoli alamiah sebenarnya melekat, tapi diliberalisasi tanpa definisi yang jelas tentang fungsi trader. Akibatnya, terjadilah berbagai kerugian seperti disebutkan di atas.

Ada kekhawatiran hak monopoli akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang oleh BUMN, terutama dalam penetapan harga. Padahal, konsep monopoli harus dijalankan bersamaan dengan wewenang penetapan harga yang mutlak di tangan pemerintah. Pasal 72 PP No 30/2009 menyatakan, harga bahan bakar minyak dan gas bumi diatur dan ditetapkan oleh pemerintah.

Karena itu, bersamaan dengan terbitnya Permen No 37/2015, pemerintah pun seharusnya mencabut Permen No 19/2009 yang memberi wewenang kepada badan usaha/trader untuk menetapkan harga gas bumi (Pasal 21 ayat 4-5). Faktanya, harga gas mahal dan peran trader bukan akar masalah tata kelola gas, tetapi hanya gejala. Tidak tepat jika membuat kebijakan hanya berdasarkan gejala. Problem utama tata kelola ternyata karena kurangnya transparasi.

Di samping penentuan harga gas di tangan pemerintah, aspek governance pun harus ditingkatkan, baik di lingkup pemerintah maupun di BUMN. Selain itu, perlu dibentuk komite pengawas yang keanggotaannya berasal dari pemerintah, wakil konsumen gas, profesional sektor, akademisi, dan lainnya.

Terkait pengembalian monopoli BUMN, pemerintah pun perlu meningkatkan sinergi BUMN, PGN, dan Pertagas. Perlu integrasi infrastruktur melalui sinergi operasi sarana transmisi dan distribusi keduanya.

Konsep open access dan unbundling harus dijalankan, tapi berlaku terbatas hanya di antara kedua BUMN. Bundled service mestinya diberlakukan atas infrastruktur yang sedang dikembangkan. Selanjutnya, kedua BUMN perlu digabung dengan catatan mayoritas saham publik PGN harus dibeli kembali oleh negara.

Penerbitan Permen No 37/2015 seharusnya disambut baik seluruh kalangan, termasuk trader mengingat tujuannya mengoreksi berbagai peraturan yang telanjur liberal. Memang, mestinya perubahan dimulai dengan revisi UU Migas dan sejumlah PP di bawahnya.

Namun, karena faktor waktu dan upaya, sementara dampak negatif yang timbul semakin parah, maka langkah interim menerbitkan permen patut diapresiasi. Karena itu, penolakan atas permen patut dipertanyakan. Jika bukan oleh bangsa sendiri, siapa lagi yang akan menghormati konstitusi kita?

Peran swasta/trader di industri gas harus tetap diakomodasi pemerintah. Untuk itu, perlu disiapkan aturan, minimal melalui revisi Permen No 37/2015 yang secara perlahan mengalihkan keterlibatan trader untuk selalu bekerja sama dan berkontrak dengan BUMN dan/atau BUMD.

Bisnis yang dapat digeluti trader bersama BUMN atau BUMD, antara lain, menjadi retailer wilayah tertentu dan membangun infrastruktur di wilayah baru. Dengan kendali di tangan BUMN, minimal pemerintah telah memulai perbaikan sistem yang konsisten dengan konstitusi, tapi tetap membuka peluang kepada swasta untuk memperoleh kesepmatan berbisnis, sehingga tata niaga gas yang liberal dapat diperbaiki.

HAM Boleh Dilanggar

HAM Boleh Dilanggar

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                KORAN SINDO, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bolehkah hak asasi manusia (HAM) itu dilanggar atau dikurangi? Jawabannya, ”Boleh”. HAM boleh dilanggar asal berdasar hukum. Ini penting dikemukakan karena terkadang kita bertemu dan berdebat dengan orang yang agak genit, sok memperjuangkan HAM secara membabi buta.

Setiap ada yang melakukan tindakan atau penilaian minor terhadap perilaku orang langsung dituding anti-HAM. Bahkan ada aktivis yang mempunyai kecenderungan, kalau ada tindakan hukum terhadap orang oleh aparat, langsung dituding melanggar HAM. Padahal, HAM memang boleh dilanggar. Lho, kok? Mari kita runut dulu masalahnya.

Semua orang yang pernah belajar di sekolah tahu bahwa HAM adalah hak yang melekat pada manusia yang diberikan oleh Tuhan, bukan diberikan oleh negara atau siapa pun. Sebab itu, setiap orang harus menghormati HAM orang lain. Negara harus melindungi dan menjamin agar HAM dinikmati oleh setiap orang.

Ide adanya konstitusi sebagai instrumen paling penting dalam hidup bernegara didasarkan pada paham bahwa HAM harus dihormati oleh semua orang dan harus dilindungi oleh negara. Konstitusi selalu memuat, minimal, dua hal. Pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap HAM. Kedua, ada pemerintahan yang tugas dan kewenangannya dibatasi demi tegaknya perlindungan terhadap HAM.

Berdasar itu, konstitusionalisme diartikan sebagai paham bahwa negara harus mempunyai konstitusi yang memberi jaminan perlindungan terhadap HAM disertai dengan pembentukan lembaga-lembaga negara yang kekuasaan masing-masing dibatasi agar perlindungan atas HAM tersebut tak terlanggar. Tetapi, dengan begitu, bukan berarti, HAM itu tidak boleh dikurangi.

HAM boleh dilanggar berdasar UU kalau itu untuk melindungi HAM orang lain. Demi perlindungan HAM misalnya, jika ada orang bernama Fulan merampok, HAM si Fulan boleh dilanggar dan dirampas. Fulan itu boleh dikurung dan dirampas kebebasannya berdasar UU misalnya ditahan, diborgol, dipenjarakan, dirampas hartanya, bahkan bisa dijatuhi hukuman mati.

Itu semua adalah perampasan HAM yang diperbolehkan. Penembak yang mengeksekusi terpidana mati tidak bisa dikatakan melanggar HAM karena menembak itu ditugaskan oleh undang-undang. Adanya hukum pidana yang dituangkan dalam ratusan atau ribuan pasal undang-undang justru merupakan dasar pembolehan untuk mengurangi atau merampas HAM terhadap orang yang melanggar undang-undang.

Jadi, HAM bisa dibatasi, bahkan dirampas, demi perlindungan HAM bagi semua orang. Ketentuan bahwa HAM bisa dibatasi atau dilanggar itu sesuai ketentuan yang berlaku universal, berlaku kapan saja dan di mana pun. Di negara mana pun di dunia ini ada UU yang berisi pemberian izin kepada negara untuk melakukan tindakan melanggar HAM atas orang yang melanggar UU atau HAM orang lain.

Kalau ada konsep HAM yang harus diterima secara universal, yang berlaku universal adalah hukum HAM bahwa HAM boleh dibatasi, bahkan dirampas, berdasar UU. Selain itu, yang universal dari HAM itu sebenarnya adalah partikularnya yakni ada pembatasan atau pengurangan HAM berdasar situasi dan kondisi sosial masing-masing negara.

Ada perbuatan-perbuatan tertentu yang mungkin dianggap HAM yang mutlak harus dilindungi di negara-negara tertentu, tetapi dibatasi atau dilarang di negara-negara lain. Itulah yang disebut partikularisme dalam pemahaman dan pemberlakuan HAM. Faktanya, berbagai negara di dunia tidak selalu sama dalam memberlakukan masalah HAM tertentu ke dalam hukumnya.

Masalah perkawinan sejenis misalnya, ada negara-negara yang memperbolehkan dan mewadahinya di dalam hukum, tetapi jauh lebih banyak negara yang tidak membolehkan. Dari lebih 200 negara di dunia ini, hanya 22 negara yang memperbolehkan perkawinan sejenis. Partikularisme yang seperti itu bukan tidak berdasar.

Di dunia internasional ada dokumen yang bisa disebut sebagai dokumen deklarasi tentang tanggung jawab manusia. Deklarasi ini dikeluarkan oleh International Conference on Human Rights Policy (ICHRP) yang melibatkan tokoh-tokoh Barat dan Timur, termasuk 24 mantan kepala negara dan pemerintahan seperti Jimmy Carter (AS), Helmut Schmidt (Jerman), Lee Kuan Yew (Singapura), dan Malcolm Frazer (Austria).

Deklarasi yang dikeluarkan ICHRP ini menegaskan bahwa perlindungan HAM di dunia Barat dan dunia Timur itu berbeda. Di Barat menekankan pada kebebasan individu, di Timur lebih menekankan pada tanggung jawab dan komunitas. Di dunia Timur, HAM bisa dibatasi demi tanggung jawab dalam hidup bersama sebagai penyeimbang atas kebebasan individu.

Tegasnya, sebagai konsep dan fakta materi HAM yang harus dilindungi tidaklah universal, melainkan partikular, bergantung situasi dan kondisi masyarakat di negara masing-masing.

Undang-undang dasar yang berlaku di Indonesia, UUD NRI 1945, dalam Pasal 28J ayat (2) menegaskan bahwa HAM itu bisa dibatasi (dikurangi) berdasar UU demi ”... pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Tegasnya, konstitusi kita menganut paham, ”hak dan kebebasan manusia dihormati dan dilindungi, tetapi bisa dibatasi, bahkan dirampas, dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum”. Tidak ada HAM yang mutlak dan universal kecuali keuniversalan itu harus diartikan bahwa secara universal HAM itu tidaklah universal, melainkan partikular dan bisa dikurangi atau dilarang.

Kebebasan yang Kebablasan

Kebebasan yang Kebablasan

Jazuli Juwaini  ;  Ketua Fraksi PKS DPR RI
                                                KORAN SINDO, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masyarakat hari-hari ini banyak memperbincangkan dengan nada keprihatinan mendalam maraknya praktik dan kampanye lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) atau yang paling menonjol adalah tentang hubungan sesama jenis.

Aktivitas kelompok ini bahkan sudah mengarah pada upaya pelegalan perkawinan/pernikahan sesama jenis. Gelombang praktik dan kampanye terbuka pelegalan LGBT sendiri antara lain didorong pelegalan serupa di Amerika Serikat pertengahan tahun lalu. Berdasarkan keputusan Supreme Court Amerika Serikat, konstitusi Amerika menjamin pernikahan sesama jenis (Juni 2015).

Pelegalan ini menyusul 22 negara lain yang telah melakukan hal serupa di mana mayoritas negaranegara Barat yang berpaham liberal. Dalil kelompok LGBT dan para pendukungnya adalah hal ini merupakan ekspresi kebebasan dan hak asasi manusia sehingga negara harus menjamin eksistensi LBGT dan menjamin kesamaan perlakuan hukum (nondiskriminasi) kepada kelompok ini.

Dalil Kebebasan yang Terbantahkan

Argumentasi yang disampaikan kelompok LGBT masuk di akal dengan mengaitkan perilaku mereka dengan hak asasi manusia. Sayangnya, Indonesia tidak menganut kebebasan tanpa batas dan paham liberalisme sebagaimana yang dianut sebagian besar negaranegara Barat. Di sinilah leverage (keunggulan) bangsa ini dalam membangun negara-bangsa yang beradab dan bermartabat.

Pelaksanaan hak asasi tetap tidak boleh bertentangan dengan nilai agama dan budaya luhur. Hal itu jelas termaktub dalam Pasal 28 J UUD NRI Tahun 1945, ayat (1) ”Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Sementara ayat (2) ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Dasar negara kita Pancasila jelas mencantumkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Pun, di banyak pasal konstitusi kita, UUD 1945, ditegaskan kembali hakikat identitas dan karakter kita sebagai sebuah bangsa, yang menempatkan nilai luhur moral, agama, dan budaya sebagai rujukan atau tuntunan utama dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Jelas dan tegas kita tidak menganut kebebasan dalam imaji masyarakat Barat.

Dalam kacamata negara, praktik dan kampanye LGBT tidak memiliki tempat dan bahkan terlarang. Praktik ini jelas melanggar norma agama dan hukum positif. Dua hukum ini adalah pegangan kita dalam hidup bernegara di Indonesia. Bisa saja negara lain, seperti di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, melegalkan, tapi sekali lagi identitas dan karakter negara kita beda, visi kebangsaan kita beda.

Dasar negara kita Pancasila dan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya, meski Indonesia bukan negara agama, by law dan by constitution nilai ajaran agama dijunjung tinggi, bahkan mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka itu, dengan sadar para pendiri republik melahirkan sila pertama Pancasila tersebut sehingga jelas kita bukan negara liberal, apalagi menganut kebebasan tanpa batas.

Tidak ada satu agama pun yang melegalkan hubungan sesama jenis karena jelas mudaratnya (kerusakannya). Terngiang dalam benak kita cerita tentang kaum Nabi Luth yang dikenal sebagai kaum Sodom yang gemar melakukan hubungan sesama jenis. Kisah mereka berakhir tragis, Tuhan menimpakan azab hujan batu ke kaum ini karena perbuatannya yang menyimpang.

Pertanyaannya, apakah kita punya imajinasi membangun masyarakat atau peradaban yang seperti ini? Tentu tidak! Jika kita rujuk hukum positif yang berlaku di Indonesia, juga jelas larangan tersebut. Praktik ini menyimpangi lembaga perkawinan yang sakral dan bertujuan mulia.

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Melalui aturan ini, Indonesia menempatkan lembaga perkawinan di tempat yang mulia, dengan tujuan yang mulia, dilandaskan pada nilai dan ajaran agama. Lalu, di mana kita meletakkan hubungan sesama jenis? Selain itu, KUHP Pasal 292 juga menyatakan larangan dengan pidana: ”Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Pasal pidana ini memang tidak eksplisit merujuk pada hubungan sesama jenis yang sudah samasama cukup umur, tetapi secara implisit menyiratkan perbuatan sejenis dilarang. Pun, saat ini ada semangat kuat untuk melarang hubungan sesama jenis dalam pembahasan RUU KUHP di DPR. Dus, ditinjau dari hukum agama maupun hukum negara, hubungan sesama jenis tidak dibenarkan.

Perilaku mereka melanggar agama (yang berarti dosa) dan melanggar hukum negara (yang berarti tindakan melawan hukum dan konstitusi). Kampanye LGBT bisa masuk kategori perbuatan makar terhadap konstitusi negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kembali pada Jati Diri

Globalisasi membawa ekses lunturnya identitas dan karakter kita sebagai bangsa. Budaya dominan cenderung akan mengooptasi budaya pinggiran (kecil). Tidak dapat dipungkiri budaya masyarakat kita makin permisif. Akibatnya, kebebasan dipahami secara kebablasan sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Sebagai bangsa yang berkarakter, globalisasi harus disikapi secara bijak dengan tetap berpegang teguh pada prinsip dan identitas kita dalam berbangsa dan bernegara.

Jangan sampai justru kita larut dalam kebebasan yang tanpa batas, kebebasan yang kebablasan, dengan abai, mengaminkan, atau bahkan mengampanyekan produk budaya yang tidak sesuai jati diri kita seperti perilaku LGBT. Karena itu, mari kita kembali pada jati diri kita, kembali pada falsafah Pancasila dan UUD 1945 dengan cara menanamkan nilai-nilai agama dan budaya luhur. Kita bentengi keluarga, khususnya anak-anak kita dari perilaku yang menyimpang.

Dan, kita ajak kembali mereka yang telanjur melakukan praktik menyimpang dengan cara yang bijak. Terakhir, negara harus hadir terdepan dalam membentuk dan menjaga identitas dan karakter kita sebagai bangsa sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Kebijakan negara harus jelas dan tegas, bukan malah menyuburkan perilaku yang menyimpangi identitas kebangsaan.

Bagaimana Menakar Kemujaraban Kebiri?

Bagaimana Menakar Kemujaraban Kebiri?

Reza Indragiri Amriel ; Psikolog Forensik;
Penulis Buku ”Ajari Ayah, ya Nak”; Staf Yayasan Parinama Astha
                                                KORAN SINDO, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sejumlah kesempatan, KPAI menyebut ada hubungan antara wacana kebiri bagi predator seksual anak dan jumlah pengaduan masyarakat terkait kekerasan seksual terhadap anak.

Menurut KPAI, hubungan tersebut adalah sejak pemerintah mengemukakan rencana penerapan kastrasi kimiawi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, jumlah laporan yang masuk ke KPAI menurun dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Kenyataan tersebut, simpul KPAI, mengindikasikan bahwa sebatas wacana pemberatan hukuman pun sudah berhasil menimbulkan efek jera di masyarakat.

Di bawah ini adalah beberapa catatan terkait pandangan KPAI tersebut. Pertama, hingga kini di Indonesia belum tersedia data terpusat dan terintegrasi tentang kejadian atau bahkan sebatas laporan tentang kekerasan maupun penelantaran terhadap anak. Berbagai lembaga yang berurusan dengan kejahatan tersebut memiliki basis datanya masing-masing. Isian data pun diperoleh dengan metode yang belum diseragamkan.

Akibat itu, sangat sulit memastikan jumlah kejadian yang sesungguhnya ataupun setidaknya jumlah laporan yang terhimpun. Pada sisi lain, sebagai sebuah lembaga layanan, aset terpenting bagi KPAI adalah kepercayaan publik. Manakala di tengah masyarakat telah terbangun sikap positif terhadap KPAI, masyarakatutamanya korbanakan merasa lebih terdorong untuk mengadukan masalah- masalah yang berhubungan dengan anak yang mereka hadapi.

Kepercayaan publik pada gilirannya berujung pada meningginya data laporan atau pengaduan yang KPAI terima. Data laporan yang meninggi, dengan demikian, lebih tepat apabila dijadikan sebagai indikator kepercayaan publik ketimbang sebagai angka kejadian itu sendiri. Dengan logika sedemikian rupa, penurunan angka laporan yang masuk ke KPAI pun akan lebih baik jika ditafsirkan sebagai tanda-tanda berkurangnya kepercayaan publik.

Bukan sebagai berkurangnya kejadian kejahatan seksual terhadap anak. Penafsiran sedemikian rupa diharapkan akan membangun keinsafan bagi KPAI selaku lembaga induk perlindungan anak di Indonesia untuk terus-menerus meningkatkan layanannya kepada masyarakat dan organisasi- organisasi mitra. Karena, semakin banyak jumlah laporan yang KPAI terima, semakin positif pula sesungguhnya upaya penguatan kepercayaan publik dan pembangunan kapasitas lembaga.

Kedua, sebagai suatu bentuk hukuman, filosofi efek jera (deterrence effect) telah terlihat sejak awal wacana kebiri hormonal dilontarkan ke publik. Efek jera sesungguhnya memiliki dua proses, yaitu efek langsung dan efek tidak langsung. Efek langsung terjadi ketika predator yang telah dikebiri tidak mengulangi perbuatan jahatnya, sedangkan efek jera tidak langsung dapat diamati ketika orang-orang tidak meniru kelakuan jahat si predator.

Dengan kata lain, kastrasi hormonal akan terasa manfaatnya dalam memunculkan efek jera tidak langsung ketika tidak ada predator-predator baru. Menarik untuk ditelisik lebih jauh, efek jera manakah yang sedang KPAI coba simpulkan ketika mengeluarkan pernyataan terkait wacana kastrasi dan penurunan jumlah laporan masyarakat. Apakah penurunan itu merupakan efek jera langsung kebiri?

Pasti bukan, mengingat sampai kini belum ada satu pun predator yang sudah dikebiri. Bahkan, jangankan eksekusi kebiri, keputusan resmi tentang pemberatan hukuman berupa kastrasi bagi predator pun belum kunjung dirilis pemerintah. Apakah penurunan itu diakibatkan oleh efek jera tidak langsung?

Ini lebih kompleks lagi karena sebagaimana isi laporan kinerja KPAI akhir 2015, lembaga tersebut juga tidak melakukan identifikasi spesifik tentang jumlah kejahatan seksual terhadap anak yang dilakukan pelaku yang sama (residivis). Andai suatu saat nanti kebiri bagi predator seksual jadi diterapkan, efek langsung sanksi tersebut lebih mudah ditakar daripada efek tidak langsung.

Tambahan lagi, data mengenai residivisme lebih bisa diandalkan (dipercaya). Asumsi ”gunung es” tidak berlaku karena nama-nama pelaku kriminal kambuhan yang kembali dibui bisa dipastikan terdokumentasi dalam basis data Polri, Kejaksaan, dan Ditjen. Lembaga pemasyarakatan. Tinggal lagi, ke depan KPAI juga mengompilasi data tersebut.

Kebiri hormonal hanya bisa dinilai ampuh untuk menekan kejahatan seksual terhadap anak hanya apabila pelaku tidak menjadi mengulangi perilaku jahatnya serta tidak ada pemunculan pelaku-pelaku baru dalam jumlah yang signifikan. Jadi, apabila predator yang menjadi residivis berjumlah kecil, dapat disimpulkan bahwa kebiri kimiawi memang mujarab sebagai sanksi ekstra bagi para predator durjana.

Sebaliknya, kalau jumlah predator-residivis itu tinggi, kebiri kimiawi tidak terbukti ampuh memunculkan efek jera langsung. Bahkan, karena efek jera langsung saja tidak terbentuk, apalagi efek jera tidak langsung - tentu lebih diragukan lagi. Poin tentang efek jera di atas memberikan garis bawah terhadap gagasan yang saya angkat berulangkali tentang pentingnya sebuah basis data khusus predator.

Basis data tersebut harus didesain sedemikian rupa sehingga menjadi semacam riwayat kejahatan setiap predator yang dapat diakses oleh publik secara terbuka. Basis data seperti itu akan memudahkan semua pihak untuk memfungsikan efek jera, baik langsung maupun tidak langsung, sekaligus sebagai ”kompensasi” (sanksi sosial) atas kurang memuaskannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada para terdakwa kejahatan seksual terhadap anak.

Ketiga, mirip dengan rekapitulasi data yang diumumkan oleh berbagai lembaga pelayanan publik, KPAI menjadikan jumlah laporan yang diterimanya dari masyarakat sebagai indikator kerjanya. Meski tidak salah, laporan atau rekapitulasi KPAI tersebut seyogianya disusun lebih komprehensif lagi.

Yang tak kalah pentingnya bagi KPAI dan publik adalah menginformasikan kepada masyarakat ihwal jumlah kasus yang tertangani dan tidak tertangani, jumlah kasus yang terselesaikan, serta jumlah kasus yang terselesaikan dengan solusi dan putusan yang benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik anak.

Lebih jauh, sebagai lembaga dengan fungsi koordinatif, KPAI juga sepatutnya memasukkan ke dalam rekapitulasinya jumlah serta peran kementerian maupun lembaga nonkementerian yang terlibat dalam penanganan kasus-kasus di lapangan.

Semakin banyak penanganan kasus-kasus anak yang diselenggarakan secara lintas lembaga, semakin komprehensif pula masalah anak teratasi. Seberapa jauh kapasitas KPAI selaku badan noneksekutorial akan bisa diukur dari situ. Allahu a’lam.

Proeksistensi

Proeksistensi

Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                KORAN SINDO, 29 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Candi Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, oleh UNESCO ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Sekalipun candi ini merupakan warisan Hindu-Buddha yang dibangun sekitar abad ke-7, masyarakat sekelilingnya mayoritas beragama Islam, termasuk mereka yang bekerja sebagai penjaga keamanan, penjual suvenir, pemandu wisata, dan pekerja lain yang berkaitan dengan Borobudur.

Oleh karena itu, sulit dipahami oleh masyarakat Islam sekitar ketika dulu pernah ada orang meledakkan bom dengan tujuan untuk menghancurkan monumen sejarah ini dengan alasan akan merusak akidah umat Islam.

Patung-patung itu dianggap berhala yang diharamkan untuk disembah. Padahal, jangankan agama Islam, agama Hindu-Buddha pun tidak mengajarkan menyembah batu.

Orang Islam yang bertawaf mengelilingi Kakbah dan berebut mencium Hajar Aswad juga bukan memuja Kakbah.

Terbayang, andaikan Borobudur ini berada di Timur Tengah, mungkin sekali telah dihancurkan oleh kelompok Taliban atau pun ISIS karena mereka memang rendah apresiasinya terhadap warisan dan monumen sejarah. Sekian banyak warisan budaya keagamaan, termasuk gereja yang usianya ratusan tahun, merekahancurkan.

Karena terlahir dan tumbuh dewasa di daerah Magelang, saya merasakan dan melihat sendiri betapa masyarakat di sana hidup damai dalam keragaman agama dan budaya. Di sana terdapat pusat pendidikan seminari Katolik yang terkenal di tingkat Asia Tenggara, yaitu di Muntilan dan Mertoyudan.

Tak jauh dari situ terdapat pondok pesantren tua yang tersohor, misalnya saja Pesantren Watucongol, Pesantren Pabelan, Pesantren Tegalrejo, dan Pesantren Payaman. Di Muntilan juga terdapat bangunan Kelenteng Konghucu tertua di Indonesia. Jadi, Magelang merupakan daerah titik temu berbagai agama dan budaya tua yang semuanya hidup damai, berdampingan, dan tidak saling menghancurkan, yang saya istilahkan proeksistensi, bukan sekadar koeksistensi.

Akhir-akhir ini muncul suasana batin sebagian umat Islam yang selalu menekankan perbedaan yang mengarah pada kebencian dan permusuhan terhadap kelompok umat beragama lain. Bahkan terhadap sesama muslim hanya karena berbeda mazhab, mereka mudah melakukan kekerasan. Perlu kita sadari bahwa ajaran dasar Islam itu satu, namun memungkinkan muncul tafsiran yang berbeda, sehingga melahirkan beragam mazhab.

Namun, ajaran dasarnya tak pernah berubah sejak zaman Rasulullah sampai hari ini. Sejak dari doktrin bagaimana salat, puasa, zakat, dan haji, semuanya sama dan tak berubah. Tetapi ketika menyangkut kekuasaan politik yang berimplikasi pada keuntungan ekonomi, muncullah ketegangan dan pertikaian antarkelompok.

Situasi ini semakin memburuk ketika ada kekuatan luar yang mendompleng mengambil keuntungan. Apa yang terjadi di Timur Tengah dan Indonesia selalu terkena dampaknya, akarnya adalah persaingan politik-ekonomi dan kekuasaan dengan melibatkan kekuatan asing, Amerika dan Rusia.

Khususnya di wilayah Magelang, saya mengalami sendiri. Dulu perbedaan agama dan mazhab itu tidak menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat. Namun, akhir-akhir ini umat beragama di berbagai kawasan cenderung menjadi sensitif dan pemarah ketika melihat perbedaan. Berbeda itu tidak bisa dinafikan, bahkan kini kian membesar dengan hadirnya revolusi teknologi informatika, terutama internet. Kalau kita tidak siap menghadapi maka jangan-jangan keberagamaan justru akan menjadi pemicu keresahan dan perpecahan masyarakat. Agama bukan memperkuat negara, melainkan malah jadi beban negara.

Kalau setiap perbedaan, lalu disikapi dengan penindasan dan ancaman, ini menunjukkan negara gagal melindungi dan mendidik warganya untuk hidup damai saling menghormati. Lebih dari itu, kalangan intelektual dan ulama berarti gagal menawarkan jalan damai bagi umatnya yang bertikai. Kesimpulan akhir bisa mengarah bahwa umat beragama, termasuk partai keagamaan, lebih disibukkan oleh percekcokan ketimbang memajukan peradaban, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.

Slogan Bhinneka Tunggal Ika dan Islam sebagai rahmat hanya berhenti sebagai pernyataan verbal. Ini mesti menjadi keprihatinan kita semua, jangan sampai organisasi semacam ISIS yang merupakan urusan internal Irak dan Suriah menjalar ke Indonesia. Apa urusan kita dengan ISIS?

Pertanyaan serupa juga berlaku dengan ide mendirikan kekhalifahan, yang sesungguhnya bagi umat Islam Indonesia tidak relevan. Karena umat Islam Indonesia justru memiliki prestasi politik yang luar biasa, yaitu ikut mendirikan Republik Indonesia, bukan negara agama, bukan negara sekuler, bukan pula sistem dinasti atau khalifah sebagaimana yang masih berlaku di Timur Tengah.

Dulu di Indonesia berdiri banyak kesultanan yang kemudian bergabung masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, isu dan agenda kekhalifahan yang diusung ISIS tidak relevan untuk gerakan Islam Indonesia.

Mengajak Kembali Pengikut Aliran Sesat

Mengajak Kembali Pengikut Aliran Sesat

Biyanto  Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya;
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
                                                KORAN SINDO, 29 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan 10 kriteria untuk menilai kesesatan suatu aliran keagamaan. Ke-10 kriteria itu meliputi (1) mengingkari salah satu rukun iman atau rukun Islam, (2) mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syarsyari, (3) meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, (4) mengingkari otentisitas dan kebenaran Alquran, (5) menafsirkan Alquran dengan tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, (6) mengingkari kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam, (7) menghina nabi dan rasul, (8) mengingkari Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, (9) mengubah ajaran pokok ibadah, dan (10) mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syarsyari.

Berdasar kriteria yang terbuka untuk diperdebatkan itu, sejak 1980-an MUI telah memvonis sesat sejumlah aliran.  Kini MUI sedang mengkaji ideologi keagamaan eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Langkah MUI menetapkan kriteria sesat tidaknya suatu aliran menunjukkan adanya keinginan untuk menjadi pengadil (hakim) dari perdebatan mengenai berbagai aliran keagamaan.

Sebagai organisasi tempat berhimpunnya para alim ulama, MUI memang berotoritas untuk memberikan fatwa keagamaan. Tapi penting dipesankan kepada MUI agar dalam setiap fatwa yang dikeluarkan, apalagi berkaitan dengan kesesatan suatu aliran, selalu disertai larangan bagi masyarakat untuk main hakim sendiri.

Seruan MUI penting agar suasana kehidupan bermasyarakat tetap kondusif. Sebab apa pun alasannya masyarakat tidak boleh bertindak anarkistis terhadap pengikut aliran yang diduga sesat. Peringatan ini penting karena tindakan anarkistis masih sering terjadi dalam banyak insiden intoleransi di daerah. Apalagi dalam insiden intoleransi itu negara sering tidak hadir.

Kasus pembakaran perkampungan eks anggota Gafatar di Mempawah, Kalbar, menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola keragaman. Berbagai kelompok ternyata juga belum siap hidup dalam suasana perbedaan.

Apa pun alasannya, insiden pengusiran, pembakaran rumah, perusakan tempat ibadah, dan pengejaran terhadap berbagai pengikut aliran yang diduga sesat seharusnya tidak boleh terjadi. Berbagai insiden intoleransi pasti akan mereduksi citra negeri tercinta sebagai bangsa yang toleran terhadap perbedaan agama dan paham keagamaan. Pada konteks inilah MUI dan organisasi kemasyarakatan (ormas) harus berperan untuk menenteramkan masyarakat. Di samping itu, ajakan kembali ke jalan yang benar kepada pengikut aliran yang diduga sesat juga harus disampaikan secara manusiawi.

Jika diamati, aliran sesat selalu muncul di tengah dominasi budaya keberagamaan kelompok mayoritas. Dalam budaya keberagamaan kelompok mayoritas ini pengikut aliran sesat akan dipinggirkan. Dalam relasi dominasi budaya kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas itulah dibutuhkan kesadaran betapa nilai-nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Berarti tidak boleh ada kekerasan atas nama apa pun.
Agama memang mengajarkan prinsip amar makruf nahi munkar. Tapi harus diingat, agama juga mengajarkan nilai-nilai kasih sayang dan saling menghormati.

Pemerintah melalui kejaksaan dan kepolisian memang bisa mengambil tindakan terhadap aliran sesat. Aparat pemerintah memiliki dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1965 tentang proses melarang ajaran agama (tata cara larangan kepercayaan). Melalui peraturan ini pemerintah bisa menetapkan aliran tertentu sesat dengan alasan melakukan penistaan agama. Tapi konstitusi memerintahkan negara untuk memberikan jaminan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing. Berkaca pada amanah konstitusi ini berarti aparat pemerintah harus menjaga hak-hak kemanusiaan pengikut aliran sesat.

Kemunculan aliran sesat sesungguhnya bisa menjadi pelajaran bagi ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU. Fenomena aliran sesat menunjukkan dakwah keagamaan belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Hal itu dapat diamati dari latar belakang sosial pemimpin dan pengikut aliran sesat. Bahkan di antara mereka berlatar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang mapan. Mereka umumnya baru belajar agama. Dalam situasi ini bisa dibayangkan jika ada kelompok orang yang menawarkan paham baru. Apalagi jika paham baru itu dikemas dengan argumentasi yang logis.

Kemunculan aliran sesat juga menunjukkan bahwa pengalaman keberagamaan merupakan sebuah pergumulan yang panjang. Bahkan dalam pergumulan menjadi muslim sejati itu seseorang terkadang harus membandingkan satu aliran dengan aliran lain. Dalam dialektika pemikiran itulah seseorang sering kali tergoda dengan aliran baru yang dipandang lebih religius, rasional, praktis, dan pragmatis. Setiap orang harus menyadari bahwa dirinya sejatinya sedang berproses menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik.

Karena perilaku keberagamaan itu berproses (becoming), maka yang penting dilakukan adalah pembinaan secara terus-menerus sesuai dengan kebutuhan sasaran dakwah. Pembinaan harus diprioritaskan pada pemimpin dan ideolog aliran yang telah divonis atau diduga sesat. Pada konteks inilah eks pemimpin dan pengikut Gafatar juga harus dibina. Mereka harus diajak untuk berdiskusi (sharing) mengenai berbagai pengalaman keagamaan. Yang juga sangat penting dilakukan adalah menghormati hak-hak kemanusiaan mereka.