Selasa, 26 Januari 2016

Aburizal Bakrie Lempar Handuk?

Aburizal Bakrie Lempar Handuk?

J Kristiadi ;  Peneliti Senior CSIS
                                                      KOMPAS, 26 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Panggung politik adalah pergelaran seni mengolah berbagai kemungkinan untuk memenangkan perjuangan seperangkat cita-cita guna mewujudkan kehidupan bersama yang ideal melalui adu strategi, siasat, dan kecerdikan. Namun, pakem tersebut dalam praktiknya selalu terdistorsi berbagai kepentingan sempit dan pragmatis. Bahkan, tidak jarang terjadi saling siasat dan adu cerdik dilakukan untuk memenuhi hasrat kekuasaan semata.

Melalui dalil tersebut, masyarakat dapat mencerna lebih dalam tentang pentas politik yang berlangsung dengan lakon Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar 2016. Perhelatan tersebut mungkin dimaksudkan untuk merespons masyarakat yang menginginkan Partai Golkar utuh kembali setelah lebih dari setahun dibelit konflik kepengurusan, yaitu antara kepengurusan hasil Munas Bali yang diketuai Aburizal Bakrie dan hasil Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono.

Harga konflik itu sangat mahal: kredibilitas partai berlambang pohon beringin ini merosot di mata publik. Kondisi itu membuat publik banyak mengharap dua kubu kepengurusan Golkar segera bersatu dan partai itu dapat segera menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Mencermati isi pidato Aburizal yang disampaikan saat pembukaan rapimnas, publik menangkap pesan sebagai berikut. Pertama, Aburizal sebagai tokoh sentral kubu Munas Bali telah ”melempar handuk” dan berniat untuk segera menyelamatkan Partai Golkar dari kemelut internalnya. Lebih mengharukan lagi, ia bahkan tidak bersedia mencalonkan lagi sebagai ketua umum apabila rapimnas memutuskan perlu digelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub).

Metafora lempar handuk dalam konteks rapimnas untuk menunjukkan bahwa Aburizal telah memperlihatkan sikap mulia, terhormat, dan sportif, seperti olahragawan yang mematuhi aturan main dan mengutamakan sportivitas. Kalah dan menang hanya sebuah permainan, yang paling utama adalah menjunjung tinggi nilai-nilai dalam aturan main.

Kedua, Partai Golkar juga mendeklarasikan diri sebagai partai pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Janji yang melegakan sebagian besar publik yang mendambakan pemerintah yang bekerja dan tidak sekadar menimbulkan kegaduhan. Tampaknya, sikap itu sudah diantisipasi pemerintah sehingga pemerintah mengutus Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly saat pembukaan rapimnas.

Meskipun demikian, dinamika rapimnas berkembang dengan cepat dan mengejutkan. Wacana munaslub yang akan dijadikan skema persatuan kembali dua kubu yang berseteru di Golkar sempat ditolak oleh sebagian besar, yaitu 21 ketua DPD I (Provinsi) Partai Golkar. Perkembangan itu mengagetkan mengingat wacana munaslub, bahkan sudah disampaikan Aburizal, mempunyai peran yang sangat sentral dan dominan. Sebagian masyarakat tentu menduga-duga, ada apa di balik perlawanan para ketua DPD I Golkar itu terhadap gagasan ketua umumnya? Sulit dapat dipercaya bahwa sosok yang sangat berwibawa di partainya dilawan secara terang-terangan oleh organ di bawahnya.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau banyak spekulasi di kalangan masyarakat yang menganggap rapimnas kali ini hanya skenario kubu Munas Bali untuk mendapatkan legitimasi publik.

Logika yang hendak dibangun, apabila munaslub ditolak forum rapimnas, berarti dalam perspektif internal Partai Golkar, kepengurusan Munas Bali sudah sah. Penafsiran lainnya, seandainya akan dilakukan munaslub, kubu Munas Bali merasa sudah solid dan munaslub hanya mengukuhkan eksistensi kepengurusan versi mereka.

Langkah Aburizal yang saat pidato penutupan rapimnas menyatakan munaslub tetap digelar pada Mei atau Juni tahun ini tak hanya makin mengukuhkan penafsiran bahwa munaslub hanya mengukuhkan eksistensi kepengurusan Munas Bali. Namun, juga memperkuat posisi Aburizal karena munaslub seperti menjadi keputusannya sendiri.

Apabila jalan pikiran itu dilanjutkan, ketidaksediaan Aburizal dicalonkan lagi sebagai ketua umum Golkar pada periode berikutnya bukan berarti ia akan melepaskan kendali dan otoritas absolut di partai itu. Dengan ketokohan, peran sentral, serta dominasinya di Golkar, ia dapat berada di posisi apa saja di partai itu. Namun, hampir dapat dipastikan ia akan tetap sebagai penentu dalam Partai Golkar. Misalnya, ia dapat menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai dengan kewenangan yang lebih besar daripada Dewan Pimpinan Partai. Ini semacam daur ulang dari posisi Ketua Dewan Pembina Golkar yang mempunyai hak veto pada zaman Pemerintahan Orde Baru.

Mengikuti alur logika di atas, langkah Golkar mendukung Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang semalam ditegaskan lewat deklarasi resmi jangan-jangan juga hanya bagian dari siasat politik yang belum tentu menjamin efektivitas pemerintahan. Jika dugaan itu benar, tentu disayangkan. Pasalnya, panggung politik akan makin gaduh, tetapi tanpa roh yang menuntun para petinggi negara bertindak bijak.

Akhirnya, dinamika di Rapimnas Golkar tampaknya hanya skenario untuk mengukuhkan legitimasi kubu Munas Bali. Sangat disayangkan, perhelatan yang merupakan lembaga tertinggi kedua setelah munas itu hanya menuju jalan buntu. Dari segi tontonan, panggung politik itu sangat mengasyikkan, tetapi ongkosnya sangat mahal, karena mengorbankan harapan rakyat yang menunggu kiprah partai yang tak sekadar memperebutkan kedudukan, melainkan juga karya nyata bagi rakyat. Masyarakat menunggu kapan Aburizal melempar handuk demi kepentingan rakyat yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar