Minggu, 24 Januari 2016

Arti Pemilu Taiwan bagi Tiongkok

Arti Pemilu Taiwan bagi Tiongkok

Steven Yohanes Polhaupesy  ;   Peneliti The Habibie Center; Saat Ini Sedang Melanjutkan Studi Pascasarjana di Universitas Lund dengan Konsentrasi Studi Tiongkok
                                                       KOMPAS, 23 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kemenangan Tsai Ing Wen dalam pemilu yang digelar pada Sabtu (16/1) lalu berhasil menuliskan sejarah baru bagi Taiwan. Tsai menjadi perempuan presiden pertama Taiwan sekaligus presiden kedua berasal dari Partai Progresif Demokratik, partai yang dikenal sebagai partai pro kemerdekaan.

Tiongkok melihat kemenangan Tsai dapat memicu eskalasi dalam hubungan Tiongkok-Taiwan dalam empat tahun mendatang. Apa saja faktor yang memengaruhi pandangan Tiongkok tersebut?

 Setidaknya terdapat tiga faktor yang akan memengaruhi pandangan Tiongkok terhadap Taiwan pasca kemenangan Tsai. Pertama, domestik politik Tiongkok. Kedua, perkembangan internal sosial dan politik Taiwan. Ketiga, hubungan Tiongkok dan Amerika Serikat. Ketiga hal tersebut diyakini tidak hanya berdampak pada perubahan hubungan Tiongkok dengan Taiwan, juga pada stabilitas keamanan kawasan.

Domestik politik Tiongkok

Kemenangan Tsai dalam pemilu Taiwan direspons oleh Tiongkok yang langsung memberi penegasan terhadap konsensus 1992: "One China Policy". Penegasan ini merupakan gambaran bahwa Pemerintah Tiongkok tidak bereaksi berlebihan terhadap perubahan politik di Taiwan dan tetap menginginkan status quo. Tidak heran, respons Tsai pun melunak dengan menyatakan bahwa dirinya akan menjamin status quo hubungan Taiwan dengan Tiongkok.

 Sebab, bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT), Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan rezim adalah kemampuan mengakomodasi masalah Taiwan tetap dalam konsensus 1992. Menjamin status quo hubungan Tiongkok-Taiwan merupakan kalkulasi rasional, karena prioritas utama Tiongkok saat ini lebih condong pada upaya pertumbuhan ekonomi dan penguatan legitimasi PKT. Oleh karena itu, kegagalan rezim untuk menjamin status quo hubungan Tiongkok-Taiwan dapat berdampak pada kemarahan publik dan menciptakan instabilitas terhadap survavibilitas PKT.

 Opini publik Tiongkok juga menganggap urusan dengan Taiwan tidak semata-mata sebagai urusan kedaulatan dan integritas teritorial dari sudut pandang historis. Lebih dari itu, urusan Taiwan merupakan patriotisme kehormatan Tiongkok dan simbol dari nasionalisme Tiongkok. Upaya deklarasi kemerdekaan Taiwan akan menimbulkan gejolak yang sama pada Tibet, Xinjiang, maupun Hongkong.

Situasi internal Taiwan

Meskipun Tsai berhasil memperoleh dukungan sebanyak 56,1 persen suara dan 113 kursi Legislatif Yuan, perkembangan situasi politik, ekonomi, dan sosial Taiwan empat tahun mendatang akan memberikan tekanan terhadap pemerintahan Tsai untuk mendeklarasikan kemerdekaan. Tidak menutup kemungkinan, Partai Progresif Demokratik (DPP) yang memiliki platform politik demikian akan mendukung keinginan rakyat Taiwan.

Terlebih lagi, platform politik yang diusung DPP sering kali menciptakan eskalasi hubungan Taiwan dengan Tiongkok. Presiden Chen Shui Bian (2000-2008), yang berasal dari DPP, dapat dijadikan indikator platform politik tersebut. Pada 2004, Chen merencanakan referendum kemerdekaan Taiwan dan merencanakan penghapusan National Unification Council (NUC) dua tahun setelahnya. Meskipun Tsai bukanlah Chen, tetapi gerakan pro kemerdekaan yang diusung DPP bukanlah retorika nasionalisme Taiwan.

 Hal ini juga didorong oleh diskursus publik mengenai identitas kultural rakyat Taiwan. Survei yang dilakukan oleh National Chengci University di Taipei mencatat bahwa terdapat 18 persen responden yang menyatakan identitasnya sebagai Taiwan di tahun 1992. Hari ini, tercatat bahwa 59 persen responden menyatakan dirinya memiliki identitas sebagai Taiwan.

Selain itu, munculnya generasi muda yang mayoritas memiliki pemikiran progresif menolak reunifikasi dan lebih menghendaki kemerdekaan Taiwan. Poling yang dilakukan Taiwan Indicators Survey Research membuktikan bahwa 50 persen generasi muda Taiwan menginginkan kemerdekaan dan hanya 18 persen yang menghendaki unifikasi.

 Lemahnya pertumbuhan ekonomi Taiwan yang hanya mencapai 1 persen di tahun 2015, dan bertambahnya angka pengangguran serta stagnansi pendapatan, dapat menyulut gerakan-gerakan pro kemerdekaan Taiwan lebih cepat dalam empat tahun ke depan. Belum lagi publik Taiwan tidak merasa puas terhadap eratnya hubungan Taiwan dengan Tiongkok pada era Presiden Ma Ying Jeou yang dianggap menyebabkan ketergantungan dan menghilangkan independensi Taiwan.

Hubungan Tiongkok-AS

Kemenangan Tsai sebenarnya menempatkan AS pada dilema dalam menjaga hubungan dengan Tiongkok. Taiwan di bawah Presiden Ma dengan Partai Kuomintang (KMT)-nya lebih disukai AS dibandingkan Taiwan di bawah Presiden Tsai dengan DPP-nya.  Hubungan Tiongkok- Taiwan mengalami banyak kemajuan berarti, khususnya pasca pertemuan Presiden Xi dan Ma pada November 2015. Kemenangan Tsai dinilai akan banyak mengubah kemajuan tersebut menuju eskalasi.

 Pada satu sisi, AS tidak ingin terseret dalam skenario di mana rezim Tsai memiliki kecenderungan pro kemerdekaan lebih besar dibandingkan apabila Eric Chu dari KMT memenangi pemilu. Artinya, apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka intervensi militer AS adalah keniscayaan. Belum lagi ramifikasi Taiwan Relations Act (1979) juga membuat AS akan terjebak pada dilema ini. Pada sisi lain, AS juga harus tetap menjaga kredibilitas dan komitmen terhadap keamanan Taiwan.

 Miskalkulasi kebijakan AS terhadap Taiwan dapat menyebabkan efek domino terhadap konflik yang terjadi di Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan. Dengan kata lain, eskalasi  tensi hubungan Tiongkok dan Taiwan yang disertai dengan pendekatan militer akan memicu hal yang sama pada konflik lain, di mana Tiongkok dan AS juga terlibat.

 Bagi Tiongkok, kebijakan yang paling tepat untuk diambil adalah menunggu dan melihat (wait and see) terhadap perubahan politik di internal Taiwan dengan memberikan batasan (red line) terhadap Taiwan untuk menghormati konsensus 1992 "One China Policy". Dengan kata lain, menjaga status quo hubungan Tiongkok-Taiwan adalah prioritas utama Beijing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar