Rabu, 27 Januari 2016

Benang Kusut Gafatar

Benang Kusut Gafatar

Sudjito ;  Guru Besar Ilmu Hukum UGM
                                                KORAN SINDO, 26 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ruwet. Itulah kata singkat sahabatku, Mamad, si tukang pijat, ahli masjid, ketika ditanya persoalan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). ”Di Jawa salah, pindah di Kalimantan salah. Hidup pasrah dalam kemiskinan salah, bangkit untuk kehidupan lebih beradab salah. Hidup mandiri di rantau orang ditangkap, dikembalikan ke daerah asal, membebani sanak-saudara. Mana tahan, apa harus begini!”.

”Bagaimana persoalan ideologi mereka, Mad?” pertanyaan intelek saya lontarkan. ”Ah, enggak tahu. Saya wong cilik kok ditanya soal ideologi. Apa itu ideologi? Bisa lepas dari himpitan utang dan beban sosial sudah cukup.

Kalau mereka benar-benar kembali, nanti akan saya ajak ngurusi masjid dan bekerja apa adanya. Tidak usah ngoyo,” jawabnya. ”Oke, jangan sewot Mad, santai saja,” saya menenangkannya.

Urusan berbicara di depan publik, saya sudah banyak makan asam-garam. Tetapi, bicara dengan ”wong cilik”, nuansanya amat berbeda. Seakan berhadapan dengan wajah-wajah manusia polos dan lugu yang terjebak kemacetan dan keributan jalan raya. Mau menyeberang takut, tetapi kalau diam saja, kapan sampai tujuan. Sementara tempat tujuan berada di seberang jalan. Di kota jutaan manusia memandang curiga ke orang lain, pelit sekali dengan senyuman, pelit pula memberi pertolongan. Bicara kepada mereka semua, sikap sabar dan wawasan jauh ke depan amat diperlukan.

Gafatar tidak dapat dilihat sebagai hitam atau putih. Urusannya sedemikian kompleks, bagai benang kusut, tidak mudah diurai.
Gafatar merupakan potret kehidupan sosial-kenegaraan, baik yang tampak dalam wujud gerakan atau aliran maupun dinamika kehidupan secara menyeluruh. Dari sisi negatif, Gafatar muncul karena faktor kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan ideologi, kesenjangan keimanan, ketidakadilan ekonomi, politik, dan hukum, serta kerusakan tatanan kehidupan lainnya.
Konflik-konflik, aliran-aliran keagamaan, dan kriminalitas merupakan bagian dari dinamika sosial-kenegaraan itu.

Ketika pengelolaan negara bertumpu pada individualisme, liberalisme, dan kapitalisme, selanjutnya berkiblat pada keuntungan finansial-materialistik, nasib rakyat menjadi barang sekunder dan seakan sah dikorbankan demi terimplementasikannya kebijakan-kebijakan pemerintah.

Seorang spiritualis kondang Gede Prama menggambarkan kehidupan sekarang sebagai pengalaman yang diisi dengan rasa takut, curiga, dan waswas. Melihat televisi, isinya pembunuhan, perampokan, dan kejahatan lain sejenisnya. ”Wong gede maupun wong cilik” tak jauh berbeda perilakunya, saling mengobjekkan orang lain demi kepentingan dirinya.  Artinya, perubahan pandangan hidup sudah merambah ke seluruh strata kehidupan. Tesis Thomas Hobbes, homo homini lupus, benar-benar menyembul sebagai perilaku masif.

Pada zaman modern, khususnya pascareformasi, kehidupan sosial-kenegaraan serupa dengan pabrik yang sedang memproduksi manusia-manusia egois, materialistis, dan sekuler. Lihatlah, di pasar harus awas terhadap pencopet. Di rumah jangan mudah menerima tamu sebelum jelas identitasnya. Pintu, jendela, dan gerbang jangan lupa dikunci agar pengemis dan pengamen tidak masuk. Pagar keamanan, dulunya berupa tetangga yang akrab, kini telah tergantikan tembok tinggi.

Ketakutan dan kecurigaan diproduksi massal, padahal hidup dalam ketakutan sama maknanya dengan bunuh diri perlahan-lahan. Jangankan orang-orang miskin, golongan marjinal, siapa pun terbilang sudah mapan, aman, dan berkecukupan sering masih tebersit kecurigaan dan ketakutan akan masa depannya. Saudara kita yang terbujuk rayu Gafatar boleh jadi mengklaim sedang hijrah dari kehidupan hedonistik, tak beradab seperti itu.

Sebelumnya saya berpikir, hanya sedikit orang Indonesia yang protes terhadap situasi chaos, anomali, dan anarkistis itu. Namun, belakangan setelah sempat mengembara dan bertemu orang kaya maupun miskin, pejabat maupun rakyat, ulama maupun santri abangan, rupanya orang-orang tercampakkan bertebaran di mana-mana. Mereka gelisah dan takut mati perlahan akibat keganasan kehidupan.

Dalam penyimpangan keimanan dan ideologi, Gafatar perlu dikutuk. Tetapi, terhadap saudara-saudara kita yang dalam niat berani bersikap konkret, arif, dan bijak menata kehidupan lebih beradab, harmonis, dan sejahtera, apakah mereka salah? Kreativitas, inovasi, kecintaan pada bangsa, kesegaran berpikir, kepekaan kemanusiaan adalah sikap-sikap positif yang sedang dibangun bersama, apakah mereka salah? David Mc Clelland dalam teorinya ”Achieving Society” dan Max Weber dengan idenya tentang ”The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism”, keduanya sama-sama mengagungkan persaingan dan ketakutan sebagai motor kemajuan. Kita, sebagai bangsa ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, lebih meyakini bahwa kepekaan jiwa bisa diasah dalam lingkungan kehidupan sosial komunalistik-religius.

Bila keyakinan ini disemai massal, tak perlu ada kekeringan di tengah basahnya kekayaan, tak perlu ada Gafatar di tengah Pancasila, tak ada dosa di antara kita. Introspeksi dan berbenah diri bagi keluarga, masyarakat, dan pemerintah menjadi kunci solusi persoalan Gafatar, menuju kehidupan yang adil dan beradab. Pada saat publik disibukkan urusan Gafatar, ternyata wong cilik justru memiliki kepedulian sosial-kenegaraan tinggi. Ada langkah konkret yang akan dilakukan, merangkulnya ke dalam kehidupan komunalistik religus.

Sikap demikian akan menjadi obat mujarab pencegahan dan penindakan pengikut Gafatar bila dipadukan dengan kontribusi pemikiran lain menjadi kebijakan nasional. Damailah Saudaraku, kita arungi samudera kehidupan dengan perahu baru. Di mana pun, dalam keadaan apa pun, serta dengan siapa pun, kehidupan sejahtera dapat ditemukan. Sekali kita mampu melepaskan diri dari jeratan tali kehidupan hedonistik-sekuler, pastilah kesejahteraan rajin berkunjung. Amin. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar