Senin, 25 Januari 2016

Buaya Versus Budaya dan Humaniora

Buaya Versus Budaya dan Humaniora

Mudji Sutrisno  ;   Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pasca Sarjana UI; Budayawan
                                                  KORAN SINDO, 21 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Humaniora berasal dari kata bahasa latin humanus-humana-humanum, yang harfiah berarti manusiawi. Dalam bahasa cakap sehari-hari merupakan watak manusia.

Maka kata humaniora lalu memuat makna usaha untuk menjadi lebih manusiawi karena superlatif kata sifat lebih manusiawi termuat di dalamnya ketika ditaruh dalam konteks pendidikan. Pendidik dan filsuf Indonesia Driyarkara menggunakannya dalam dua ranah. Ranah pertama untuk menunjuk proses pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia dalam pendidikan anak muda.

Sehingga cita-cita yang mau dituju dan dicapai untuk pendidikan anak muda agar ia semakin manusiawi dengan proses memanusiakan manusia. Ranah kedua, Driyarkara menunjuk wilayah sosialitas manusia yang ia cita-citakan sebagai lawan dari kondisi sosial hubungan antar manusia yang karena dimotori oleh hasrat menguasai dan nafsu ekonomis dan politisnya oleh Thomas Hobbes berciri saling mengerkah, seperti serigala yang berebut makanan yaitu homo homini lupus.

Maka Driyarkara menunjuk sosialitas manusia lawan (antitesis) keadaan saling mengerkah, menggigit, membunuh sebagai binatang (serigala) itu dalam relasi saling bersahabat manusia, yaitu homo homini socius : manusia adalah kawan, atau rekan di dunia ini. Ke mana? Menuju kesejahteraan, menuju kebahagiaan dalam hubungan sosial mereka.

Pendidikan anak muda diproses untuk mengutuhkan atau mengintegrasikan unsurunsur fisik manusia, raganya dengan sisi-sisi biologisnya dalam hominisasi. Sedangkan dimensi jiwa atau olah batin diproses dalam humanisasi. Humanisasi adalah proses pendidikan yang terus-menerus untuk mengolah pengalaman menghayati kehidupan, penyerapan dan pembatinan (internalisasi yang berharga dan yang bernilai dalam hidup ini) agar manusia semakin berharkat dan bermartabat dalam kemanusiaannya.

Humanisasi agar manusia semakin manusiawi atau humaniora ini, lalu menjadi usaha sederhana langkah-langkah kecil bersahaja sebagai laku untuk gaul bersama atau srawung : komunikasi interpersonal sebagai sesama kawan dengan perbedaan watak dan tetap memperjuangkan hormat pada keunikan masing-masing orang agar lebih human, lebih manusiawi.

Di mana proses gaul bersama atau srawung ini mewujud dan dirajut? Dalam ranah budaya sebagai ranah yang benar, yang baik, yang indah dan yang suci dari kehidupan ini yang secara canggih dirumuskan sistematis logis sebagai sistem nilai. Dan yang sehari-hari dihayati tanpa potensi merumus-rumuskan rasional merupakan arti hidup. Di sinilah untuk orang-orang biasa setiap tindakan atau laku hidupnya yang diberi makna, itulah kebudayaan.

Kalau tindakan atau perilakunya masih didorong oleh hasrat kuasa, naluri hominisasi, maka Driyarkara dengan cerdik menamainya tindakan kebuaya- an. Ia meski orang tetapi tingkah laku sebagai buaya. Kebuayaan ini musuh-musuh yang harus diproses agar menjadi kebudayaan. Oleh karena itu dengan mengambil logika sejajar alias analogi antara kebuayaan (dari buaya) versus kebudayaan (dari kata budaya).

Perumus dan pemikir dua cara hidup yang berlawanan ini dilanjutkan sebagai cara hidup mau memiliki semuanya secara tanpa batas alias serakah yaitu having (pemilikan) dan yang kedua adalah cara hidup menghayati makna esensi keberadaan atau being . Inilah Erich Fromm yang membagi dua cara manusia menghayati hidup. Dari mana Erich Fromm menimba dua cara hidup ini?

Sigmund Freud-lah yang menjadi sumber pengembangannya lantaran psikologi bawah sadar dan kesadaran hasil psikoanalis Freud menemukan empiris dari para pasienpasiennya, bahwa terdapat dua naluri kehidupan manusia yang menyumberinya yaitu naluri untuk hidup (eros) dan naluri untuk menghancurkan hidup (thanatos). Oleh karena itu pula dua rajutan kebudayaan sebagai konsekuensi dua naluri ini adalah life culture (budaya yang memperjuangkan, merawat hidup) dan death culture : budaya yang antikehidupan alias meniadakan, merusak hidup.

Ketika pendidikan digarap, dikembangkan dan dikonstruksikan tidak hanya untuk menyediakan ruang-ruang yang lebih menciptakan life culture daripada death culture , maka di sana pertanyaan kunci mendasar untuk pilihan arah pendidikan humaniora adalah siapakah si subyek sekaligus obyek proses memanusiakannya agar semakin manusiawi?

Bila ranah pendidikan mengutamakannya sebagai obyek pendidikan dan pandangan manusianya adalah ia harus didisiplinkan, ditanami yang baik, yang benar secara penuh keras dan disiplin karena asumsi antropologisnya ia adalah buaya, maka model-model pendidikan spartan yang keras, fisik dan komandolah yang akan diambil seperti riwayat asal pendidikan klasik ala Sparta Yunani.

Namun bila manusia dipandang sebagai subyek, pelaku yang sudah mengolah sendiri dari budayanya nilai-nilai, maka model pendidikan kebidanan Socrates-lah yang diterapkan. Inti pendidikan kebidanan atau maiutike tekhne adalah asumsi antropologis bahwa tugas pendidikan adalah seperti bidan yang menyiapkan, mengondisikan ruang bersalin optimal bagi lahirnya bayi.

Dalam menyiapkan lahirnya dan pencarian kebenaran hidup, guru mengajak terus dengan pertanyaan- pertanyaan mendasar pada murid sampai ia sendiri melahirkan kebenarannya. Ketika budaya diartikan tegas sebagai daya atau kekuatan budi dan budi dimaknai sebagai hanya pikir serta dilupakan makna-makna mata budi sebagai mata batin pengolah apa-apa yang dihayati dengan indra-indranya apalagi dilupakannya makna budi sebagai ranah nurani tempat penderahan kebenaran hidup, maka akibatnya terjadi reduksionisme (pemikiran) pemaknaan budi hanya pada rasionalitas lalu pengetahuan kognitif atau rasionalitas daya pikir nalar belaka.

Herankah kita bila ketegangan proses pendidikan berada dalam dua pendulum pembuayaan versus pembudayaan? yang dalam puncak ekstremnya dua proses menjadi hasil akhir pembudayaan untuk pendidikan humaniora semakin manusiawi dengan puncaknya yaitu keadaban. Sedang pembuayaan yang terus dikejar akhirnya menjadi kebiadaban. Yang pertama karena daya budi life culture membuahkan kemartabatan. Yang kedua dengan sumber death culture membuahkan kematian.

Dari paparan di atas saya ingin mengerucutkan dalam urai pentingnya pendidikan kebudayaan sebagai daya dari budi yang dengan kesadarannya mampu memilah nilai-nilai pro life (life culture) dan death culture (anti kehidupan). Ketika manusia dengan kesadaran budi (dan mata nurani) serta berdaya untuk diberi ranah pengembangannya agar semakin manusiawi, maka pendidikan kesadaran diperlukan sebagai penyadaran untuk membereskan sisi-sisi kebuayaan (buaya)nya atau dorongan-dorongan anti kehidupan alias thanatos-nya.

Inilah yang diajakkan pada penyediaan ruang-ruang hidup pondok, seminarium (ada interaksi saling mencontoh antara guru dan murid karena tingga bersama dalam menghayati ruang hidup bersama) yang oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya dinamai pawiyatan.

Ki Hajar dengan jernih menunjuk ranah pendidikan adalah seperti ranah sawah dari paman-paman tani (ada lagunya) untuk menabur benih padi sebagai keunikan subjek murid yang beda perawatannya dengan jagung atau kayu jati (simbolik murid-murid dengan watak-wataknya yang unik). Maka laku pendidikan menjadi saling mengasuh, saling mengasah dan saling mencerdaskan demi kehidupan.

Guru dalam sosialitas dengan murid-murid sehari-hari, lalu hadir berperan sebagai: ing ngarso sung tuladha (di depan dijadikan teladan); ing madya mangun karsa (di tengah medayakan tumbuhnya kehendak); dan ing wuri (tut wuri) handayani (di belakang memberi penguatan, mendorong menguatkan. Bukankah senafas dan sama ruh-nya dengan homo homini socius-nya Driyarkara?

Bukankah sesemangat yang serupa dengan proses pembidanan maieutike tekhne ? Untuk menutup tulisan ini, ketika humaniora sebagai kata kerja budaya untuk memberi makna dalam kebersamaan kita yang bineka dan ika di Indonesia, maka humaniora lalu menjadi tindakan-tindakan (laku hidup) untuk memberi dimensi manusiawi dalam proses pembuatan ranah-ranah pendidikan, pembuatan struktur, penciptaan rumah-rumah budaya agar tiap warga masyarakat semakin dihormati dalam harkatnya karena ia adalah manusia.

Ia tak boleh dijadikan obyek atau alat untuk mencapai tujuan. Humaniora di ranah hukum adalah keadilan. Humaniora di ranah ekonomi adalah pemerataan. Di ranah sosial kebudayaan adalah sejahtera. Manusia sebagai manusia yang terus diperjuangkan karena ia berharkat dan bermartabat, lantaran ia gambar Allah sendiri, citra agung-Nya untuk pria dan citra ayu-Nya untuk perempuan.

Dan betapa dahsyat pengalaman sejarah kita sebagai bangsa lantaran para pendiri bangsa dengan kesadaran matangnya sadar budi dan nuraninya kalau perjuangan humaniora ini mustahil tanpa kemerdekaan. Lebih dahsyat lagi karena para pendiri bangsa menyadari kemerdekaan kita sebagai berkat dan rahmat Tuhan Allah sumber dan pencipta kehidupan.

Lihatlah itu ditulis mendalam dalam preambul (mukadimah UUD 1945). Semoga ikhtiar pendidikan kita penuh dengan kesadaran historis dan humaniora ini. Dan juga lupa-lupa memori kita harus setiap kali dibangunkan!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar