Senin, 25 Januari 2016

GBHN, PDIP, dan Amendemen UUD 1945

GBHN, PDIP, dan Amendemen UUD 1945

Bambang Sadono ;  Anggota DPD RI dari Jateng; Ketua Badan Pengkajian MPR RI
                                                  KORAN SINDO, 22 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Program pembangunan yang menyeluruh secara nasional dan menjangkau kurun waktu yang relatif panjang, semacam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), menjadi salah satu wacana dinamika sistem ketatanegaraan yang mendapat perhatian cukup besar.

Ini tersimpul dari serangkaian kegiatan pengkajian yang dilakukan Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sepanjang 2015. Kajian ini berangkat dari mandat yang diberikan MPR RI periode 2009-2014, yang dituangkan dalam Keputusan IV/MPR/2014, yang menyebut beberapa masalah ketatanegaraan memerlukan kajian, bahkan bisa ditindaklanjuti jika diperlukan dengan menyempurnakan undang-undang dasar.

Selain pengkajian kemungkinan menghadirkan kembali konsep pembangunan model GBHN, sejumlah masalah ketatanegaraan yang disebut dalam KeputusanIV/MPR/2014ituantara lain penegasan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, penguatan sistem presidensial, penguatan lembaga MPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), penataan lembaga seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dansebagainya.

Namun, respons yang paling kuat antara lain memang masalah GBHN tersebut, dengan implikasinya antara lain memberi kewenangan MPR untuk menetapkannya. Dimulai dari gagasan Forum Rektor Indonesia, yang bahkan sudah menyiapkan dalam bentuk naskah akademis, mengenai berbagai argumentasi mengapa diperlukan perencanaan pembangunan semacam GBHN tersebut.

Naskah akademis tersebut sudah diserahkan baik kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPD, maupun MPR. Ketiadaan perencanaan pembangunan yang terpadu itu karena presiden, gubernur, maupun bupati/wali kota bisa membuat programnya sendiri, berdasarkan visi-misi yang ditawarkan saat pemilihan langsung. Juga perbedaan masa kerja, menyebabkan kegiatan pembangunan secara nasional tidak saling berkorelasi. Memang secara politis, yang kemudian menyambut dengan serius dan konsisten, adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.

Mulai ketika berbicara di depan Lemhannas maupun ketika menjadi pembicara kunci dalam seminar yang diselenggarakan MPR. Secara sederhana Megawati bahkan mengkritik bahwa presiden saat ini adalah ”presiden visimisi”. Bukan hanya soal GBHN, mantan presiden RI tersebut juga menyebut bahwa MPR tidak boleh disejajarkan dengan lembaga tinggi negara lain.

MPR harus diperlakukan khusus karena posisinya sebagai lembaga permusyawaratan yang secara khas dulu dibangun para pendiri negara sebagai jati diri sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Market Leader

Walaupun tidak mengejutkan dilihat dari konsistensi berpikir Megawati atau bahkan sudah menjadi konsep bersama PDIP, ketika Rapat Kerja Nasional (Rakernas) awal 2016, baik Megawati maupun keputusan Rakernas berniat mengajukan amendemen menyangkut konsep semacam GBHN, yang disebut program pembangunan semesta berencana, dan sekaligus memberi kewenangan pada MPR, pasti akan menjadi wacana politik nasional.

Bukan hanya karena temanya, yang hampir menjadi keinginan bersama secara nasional, tetapi juga karena PDIP yang mendorongnya. Materi konsep pembangunan semacam GBHN salah satu dari 15 materi yang dikaji Badan Pengkajian MPR dan yang paling besar dukungan publiknya.

Badan Pengkajian telah mengadakan seminar dengan berbagai perguruan tinggi di Indonesia, berdiskusi dengan para tokoh masyarakat di berbagai daerah, bertemu dengan lembaga negara maupun lembaga kemasyarakatan seperti lembaga bisnis, media, dan sebagainya. Hampir tidak ada yang keberatan untuk menghadirkan kembali konsep pembangunan model GBHN ini. Gagasan ini menjadi makin ”seksi” ketika yang melontarkan adalah Megawati atau PDI Perjuangan. Pertama, karena PDIP merupakan partai pemenang pemilu, yang secara politis memang paling layak untuk mengambil inisiatif sebagai ”market leader”.

Partai-partai lain pasti akan sangat memperhatikan dan memperhitungkan apa yang menjadi gagasan partai terbesar tersebut. Kedua, PDIP adalah pengusung presiden dan wakil presiden, yang menjadi pembentuk dan pengendali pemerintahan. Secara matematika politik, apa yang menjadi gagasan PDIP pasti sudah dikomunikasikan dengan pemerintah dan pemerintah pasti akan mendukungnya. Ini juga terlihat dari respons Presiden Joko Widodo.

Memang yang perlu dilakukan PDIP kemudian adalah komunikasi politik, dengan partai-partai yang lain, juga DPD RI yang merupakan bagian dari MPR. Selain ide PDIP tersebut memerlukan dukungan untuk memenuhi prosedur amendemen, kemungkinan juga harus menenggang jika fraksi yang lain atau kelompok DPD mempunyai aspirasi yang perlu diadopsi. Setidaknya topiktopik yang sudah dibahas dan dikomunikasikan di Badan Pengkajian MPR RI.

Amendemen UUD 1945

PDIP sudah memulai memimpin pasar politik, dengan menawarkan amendemen UUD 1945, pasti berikutnya akan banyak tawaran yang menyambutnya. Setidaknya Partai Golkar, Gerindra, PAN, dan kelompok DPD mendukung gagasan tersebut.

Sebenarnya jalan untuk menuju penyempurnaan sistem ketatanegaraan sudah dipandu oleh Keputusan IV/MPR/ 2014 yang antara lain menyarankan agar MPR periode 2014-2019 ”melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tetap berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan kesepakatan dasar untuk tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertegas sistem pemerintahan presidensial serta melakukan perubahan dengan cara adendum”.

Selain itu juga ”melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model GBHN sebagai haluan penyelenggara negara; Melakukan penataan sistem peraturan perundang-undangan dengan berdasarkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara; memperkuat status hukum Ketetapan MPRS dan MPR dalam sistem hukum Indonesia”, dan sebagainya.

Di dalam Keputusan IV/ MPR/2014 yang disusun saat MPR RI dipimpin oleh Sidarto Danusubroto yang meneruskan jabatan Taufik Kiemas, keduanya mewakili PDIP, juga mencantumkan agar agenda amendemen yang perlu diperhatikan antara lain penguatan MPR, penguatan DPD, penguatan sistem presidensial, penataan kewenangan Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi, serta penataan Sistem Perekonomian Nasional berbasis Demokrasi Pancasila. Karena itu, sebenarnya langkah politik yang diambil oleh Megawati dan PDIP tidak bisa dilepaskan dengan langkah dan pemikiran jangka panjang yang sudah digagas dan diolah cukup lama di lingkungan partai tersebut.

Memang ada banyak pendapat yang mengatakan mengubah undang-undang dasar itu tidak mudah dan syaratnya secara legal dirumuskan supaya tidak terlalu mudah untuk mengamandemen konstitusi. Di sisi yang lain juga harus diakui bahwa selain yang ingin bertahan supaya tidak ada amendemen, ada juga yang secara keras ingin kembali ke UUD 1945 sebelum diamendemen.

Kedua pendapat yang saling bertentangan itu mungkin bisa ditengahi dengan di satu sisi menghargai upaya perbaikan melalui empat kali amendemen selama ini dan sekaligus mengembalikan ihwal fundamental dan esensial dari UUD sebelum amendemen. Pilihan PDIP pantas diapresiasi.

Tinggal menunggu sambutan dari unsur fraksi dan kelompok di MPR, apakah bisa mewujudkan perbaikan sistem ketatanegaraan yang lebih produktif bagi kepentingan bangsa dan negara, sekaligus dengan meminimalkan potensi kagaduhan yang tidak perlu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar