Senin, 25 Januari 2016

Grand Prix

Grand Prix

Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
                                                  KORAN SINDO, 21 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Membaca berita tentang Thailand yang akan menggelar ajang Grand Prix bisa membuat bangsa kita sewot. Betapa tidak, belum pernah kita mendengar ada warga negara Thailand yang menjadi pembalap baik untuk MotoGP maupun Formula 1 (F1).

Begitu juga dengan Malaysia yang sudah menggelar MotoGP dan F1 di Sirkuit Sepang atau Singapura yang begitu gagah memasarkan pariwisatanya dengan menyelenggarakan ajang F1 di jalan-jalan raya negara itu. Tapi adakah warga negara Malaysia menjadi pembalap MotoGP? Apakah ada warga Singapura yang juga menjadi pembalap F1? Sama sekali tidak ada.

Mungkin itu tak terlalu penting bagi kegiatan ekonomi wisata. Di lain pihak, kita punya Rio Haryanto yang digadang-gadang bakal ikut balap F1. Rio sudah memenuhi kualifikasi untuk ikut F1 setelah bertahun-tahun mengikuti Grand Prix 2 Series, ajang balap sekelas di bawah F1. Apalagi sudah ada dua tim yang ingin merekrut Rio menjadi pembalap, yakni tim Force India dan tim Manor Marussia. Persoalannya, untuk bisa ikut balap F1 Rio butuh dana yang tidak sedikit.

Bisa mencapai 15 juta euro atau sekitar Rp226 miliar. Tapi saya optimistis masalah ini bisa diatasi. Pertamina sudah mengucurkan dana sponsor Rp75 miliar. Lalu Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi juga sudah menjamin kebutuhan dana agar Rio bisa ikut F1. Jadi, urusan pembalap kita sudah punya. Kebutuhan dana juga sudah ada yang menjamin. Sekarang tinggal arena balapnya. Tapi soal jualannya, kita ini memang masih kurang lihai.

Banyak Drama

Harap maklum, ajang Grand Prix seperti MotoGP atau F1 bukan sekadar ajang balap sepeda motor atau mobil biasa. Ini adalah tontonan kelas dunia. Sebuah pentas adu kecepatan. Maka tak mengherankan jika banyak drama yang terjadi di dalamnya. Anda tentu masih ingat dengan drama senggolan antara Valentino Rossi dengan Marc Marquez dalam ajang MotoGP di Sirkuit Sepang, Malaysia, pada Minggu, 25 Oktober 2015.

Keduanya sempat saling susul di hampir setiap tikungan. Lalu terjadilah insiden senggolan itu. Marquez terjatuh dan tak bisa melanjutkan lomba. Esok harinya, Senin, insiden itu menjadi pokok bahasan yang serius di berbagai media. Banyak orang membicarakannya. Kolega saya bercerita, dia sampai berdebat habis dengan teman sekantornya perihal insiden itu.

Ia menilai Rossi sengaja menjatuhkan Marquez, sementara koleganya berbeda pendapat. Asal Anda tahu, teman debat kolega saya adalah seorang ibu yang usianya menjelang 50-an tahun. Drama belum selesai sampai di situ. Akibat insiden tersebut, Rossi dihukum. Dalam putaran terakhir MotoGP edisi 2015 di Sirkuit Valencia, Spanyol, 8 November 2015, Rossi harus memulai start MotoGP di urutan paling belakang.

Hukuman itu membuat peluang Rossi untuk menjadi juara MotoGP 2015 sangat tipis. Kalau mau menjadi juara, ia harus finis di tempat kedua. Tapi bagaimana bisa kalau ia harus start di urutan paling belakang? Drama berlanjut. Dalam balap putaran terakhir di Valencia, semua perhatian penonton terpusat kepada Rossi.

Meski menempati posisi start paling akhir, Rossi dengan cepat menyalip pembalap-pembalap lain. Setiap kali Rossi berhasil mendahului pembalap yang ada di depannya, suara penonton bergemuruh. Mereka mendukung Rossi. Mereka ingin menyaksikan drama baru. Itulah salah satu drama dari ajang MotoGP. Anda tentu sudah tahu hasilnya. Rossi gagal menjadi juara karena ia hanya berhasil finis di urutan keempat. Drama serupa terjadi di ajang F1.

Duel tak hanya terjadi antara pembalap dari tim yang berbeda, tetapi juga antarpembalap dari tim yang sama. Misalnya Sebastian Vettel vs Daniel Ricciardo ketika sama-sama membela Red Bull. Atau Sergio Perez vs Nico Hulkenberg dari tim Force India, Lewis Hamilton vs Nico Rosberg yang keduanya dari tim Mercedes.

Duel semacam itu menjadi tontonan yang memikat dan membius jutaan pemirsa baik yang menonton secara langsung di arena balap atau lewat layar kaca. Andai saja duel-duel semacam itu (tanpa tawuran tentunya) terjadi di arena balap yang ada di Indonesia, mungkin nama negara kita dengan cepat dikenal di dunia. Bukan seperti sekarang, orang asing hanya mengenal Bali, tetapi tidak tahu di mana itu Indonesia.

Menjual Sendiri

Membangun arena balap Grand Prix sesungguhnya tak sulit-sulit amat. Singapura, Malaysia, atau Thailand sudah membuktikannya. Singapura bahkan tak perlu membangun arena balap baru lagipula mereka sudah tak punya lahan lagi. Mereka cukup menyiapkan jalan-jalan rayanya agar layak menjadi arena balap F1. Kita mungkin tak perlu meniru Singapura.

Lahan kita masih luas. Kita bisa meniru pola Malaysia atau Thailand. Dari berbagai referensi yang saya baca, untuk terpilih menggelar lomba sekelas Grand Prix, syaratnya tidak banyak. Misalnya, pertama , keamanan. Ini syarat mutlak. Kedua , adanya sirkuit yang berkelas internasional sesuai dengan standar FIA (Federation Internationale de l’Automobile).

Ini bukan hanya untuk sirkuit balapnya, tetapi juga infrastruktur pendukungnya seperti fasilitas safety. Ketiga, membayar sejumlah dana ke pengelola F1. Besarnya beragam. Pengalaman Australia, panitia penyelenggara F1 di sana membayar USD30 juta per pengelola F1. Kalau ini digelar di Indonesia, uang sebesar itu, saya merasa, bisa dengan cepat tertutup dari penjualan tiket dan perolehan sponsor.

Kini kita tinggal memilih di kota mana kita akan membangun sirkuit F1. Jakarta? Saya mungkin akan mencoret pilihan ini. Saya lebih suka jika ajang F1 digelar di daerah. Sebab, bagi saya, menggelar ajang F1 bukan hanya persoalan membangun sirkuit, tetapi juga membangun kota dan masyarakatnya. Sebuah kota, kalau kita siapkan sebagai ajang F1, akan mampu ”menjual” dirinya sendiri tanpa kita perlu membelanjakan banyak dana untuk berpromosi. Investor dalam dan luar negeri akan berdatangan untuk membangun hotel, restoran, serta berbagai fasilitas dan infrastruktur pendukung lainnya. Jalanjalan di seputar kota tersebut akan dibenahi.

Bandaranya harus berkelas internasional dan masih banyak lagi lainnya. Kondisi semacam itu juga akan memaksa pemerintah daerah membenahi aparat birokrasinya. Mereka harus mempunyai mental melayani, bukan dilayani. Izin-izin harus dibuat lebih jelas, lebih sederhana, dan lebih murah. Lalu yang tak kalah penting adalah perubahan perilaku masyarakatnya.

Bali mungkin membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengubah perilaku masyarakatnya agar siap melayani wisatawan. Lewat F1, saya kira, waktunya bisa dipangkas. Apalagi sekarang sedang eranya revolusi mental. Banyak kota menjadikan bandara sebagai pusat pertumbuhan bagi kawasan di sekitarnya. Konsep ini dikenal dengan nama Aerotropolis. Banyak kota juga menjadikan pelabuhan laut sebagai pusat pertumbuhan. Ini disebut dengan istilah Oceanopolis.

Apa jadinya jika sirkuit balap dijadikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi bagi kawasan di sekitarnya? Mungkin sebutannya bisa Racetropolis. Beranikah kita mencoba? Ayo! Masa kita ketinggalan terus dari Malaysia dan Thailand?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar