Minggu, 31 Januari 2016

Kebebasan yang Kebablasan

Kebebasan yang Kebablasan

Jazuli Juwaini  ;  Ketua Fraksi PKS DPR RI
                                                KORAN SINDO, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masyarakat hari-hari ini banyak memperbincangkan dengan nada keprihatinan mendalam maraknya praktik dan kampanye lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) atau yang paling menonjol adalah tentang hubungan sesama jenis.

Aktivitas kelompok ini bahkan sudah mengarah pada upaya pelegalan perkawinan/pernikahan sesama jenis. Gelombang praktik dan kampanye terbuka pelegalan LGBT sendiri antara lain didorong pelegalan serupa di Amerika Serikat pertengahan tahun lalu. Berdasarkan keputusan Supreme Court Amerika Serikat, konstitusi Amerika menjamin pernikahan sesama jenis (Juni 2015).

Pelegalan ini menyusul 22 negara lain yang telah melakukan hal serupa di mana mayoritas negaranegara Barat yang berpaham liberal. Dalil kelompok LGBT dan para pendukungnya adalah hal ini merupakan ekspresi kebebasan dan hak asasi manusia sehingga negara harus menjamin eksistensi LBGT dan menjamin kesamaan perlakuan hukum (nondiskriminasi) kepada kelompok ini.

Dalil Kebebasan yang Terbantahkan

Argumentasi yang disampaikan kelompok LGBT masuk di akal dengan mengaitkan perilaku mereka dengan hak asasi manusia. Sayangnya, Indonesia tidak menganut kebebasan tanpa batas dan paham liberalisme sebagaimana yang dianut sebagian besar negaranegara Barat. Di sinilah leverage (keunggulan) bangsa ini dalam membangun negara-bangsa yang beradab dan bermartabat.

Pelaksanaan hak asasi tetap tidak boleh bertentangan dengan nilai agama dan budaya luhur. Hal itu jelas termaktub dalam Pasal 28 J UUD NRI Tahun 1945, ayat (1) ”Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Sementara ayat (2) ”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Dasar negara kita Pancasila jelas mencantumkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Pun, di banyak pasal konstitusi kita, UUD 1945, ditegaskan kembali hakikat identitas dan karakter kita sebagai sebuah bangsa, yang menempatkan nilai luhur moral, agama, dan budaya sebagai rujukan atau tuntunan utama dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Jelas dan tegas kita tidak menganut kebebasan dalam imaji masyarakat Barat.

Dalam kacamata negara, praktik dan kampanye LGBT tidak memiliki tempat dan bahkan terlarang. Praktik ini jelas melanggar norma agama dan hukum positif. Dua hukum ini adalah pegangan kita dalam hidup bernegara di Indonesia. Bisa saja negara lain, seperti di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, melegalkan, tapi sekali lagi identitas dan karakter negara kita beda, visi kebangsaan kita beda.

Dasar negara kita Pancasila dan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya, meski Indonesia bukan negara agama, by law dan by constitution nilai ajaran agama dijunjung tinggi, bahkan mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka itu, dengan sadar para pendiri republik melahirkan sila pertama Pancasila tersebut sehingga jelas kita bukan negara liberal, apalagi menganut kebebasan tanpa batas.

Tidak ada satu agama pun yang melegalkan hubungan sesama jenis karena jelas mudaratnya (kerusakannya). Terngiang dalam benak kita cerita tentang kaum Nabi Luth yang dikenal sebagai kaum Sodom yang gemar melakukan hubungan sesama jenis. Kisah mereka berakhir tragis, Tuhan menimpakan azab hujan batu ke kaum ini karena perbuatannya yang menyimpang.

Pertanyaannya, apakah kita punya imajinasi membangun masyarakat atau peradaban yang seperti ini? Tentu tidak! Jika kita rujuk hukum positif yang berlaku di Indonesia, juga jelas larangan tersebut. Praktik ini menyimpangi lembaga perkawinan yang sakral dan bertujuan mulia.

Berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 1 menyatakan, ”Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Melalui aturan ini, Indonesia menempatkan lembaga perkawinan di tempat yang mulia, dengan tujuan yang mulia, dilandaskan pada nilai dan ajaran agama. Lalu, di mana kita meletakkan hubungan sesama jenis? Selain itu, KUHP Pasal 292 juga menyatakan larangan dengan pidana: ”Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

Pasal pidana ini memang tidak eksplisit merujuk pada hubungan sesama jenis yang sudah samasama cukup umur, tetapi secara implisit menyiratkan perbuatan sejenis dilarang. Pun, saat ini ada semangat kuat untuk melarang hubungan sesama jenis dalam pembahasan RUU KUHP di DPR. Dus, ditinjau dari hukum agama maupun hukum negara, hubungan sesama jenis tidak dibenarkan.

Perilaku mereka melanggar agama (yang berarti dosa) dan melanggar hukum negara (yang berarti tindakan melawan hukum dan konstitusi). Kampanye LGBT bisa masuk kategori perbuatan makar terhadap konstitusi negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kembali pada Jati Diri

Globalisasi membawa ekses lunturnya identitas dan karakter kita sebagai bangsa. Budaya dominan cenderung akan mengooptasi budaya pinggiran (kecil). Tidak dapat dipungkiri budaya masyarakat kita makin permisif. Akibatnya, kebebasan dipahami secara kebablasan sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Sebagai bangsa yang berkarakter, globalisasi harus disikapi secara bijak dengan tetap berpegang teguh pada prinsip dan identitas kita dalam berbangsa dan bernegara.

Jangan sampai justru kita larut dalam kebebasan yang tanpa batas, kebebasan yang kebablasan, dengan abai, mengaminkan, atau bahkan mengampanyekan produk budaya yang tidak sesuai jati diri kita seperti perilaku LGBT. Karena itu, mari kita kembali pada jati diri kita, kembali pada falsafah Pancasila dan UUD 1945 dengan cara menanamkan nilai-nilai agama dan budaya luhur. Kita bentengi keluarga, khususnya anak-anak kita dari perilaku yang menyimpang.

Dan, kita ajak kembali mereka yang telanjur melakukan praktik menyimpang dengan cara yang bijak. Terakhir, negara harus hadir terdepan dalam membentuk dan menjaga identitas dan karakter kita sebagai bangsa sebagaimana termaktub dalam konstitusi. Kebijakan negara harus jelas dan tegas, bukan malah menyuburkan perilaku yang menyimpangi identitas kebangsaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar