Senin, 25 Januari 2016

Kegaduhan Blok Masela

Kegaduhan Blok Masela

Fahmy Radhi  ;   Dosen UGM; Mantan Anggota Tim Anti-Mafia Migas
                                                  KORAN SINDO, 21 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kegaduhan akibat pertentangan antara Menteri Energi dan Sumber Mineral (ESDM) Sudirman Said versus Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli terjadi lagi.

Kegaduhan kali ini terjadi akibat pertentangan dalam pemilihan skema pengembangan Blok Masela, ladang Gas Abadi yang terletak di Laut Arafuru Maluku. Awalnya Sudirman Said sudah akan menetapkan pengembangan Blok Masela, dengan skema terapung di laut (offshore), yang kemudian ditentang keras oleh Rizal Ramli, dengan menawarkan skema pengembangan di darat (onshore) Kegaduhan Blok Masela semakin menyeruak pada saat Pertamina mengajukan kepada Pemerintah untuk ikut menggenggam 25% saham Blok Masela.

Adanya kegaduhan tersebut menyebabkan hingga kini pengembangan Blok Masela belum juga diputuskan oleh pemerintah. Ujung-ujungnya, keputusan pengembangan Blok Masela akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi.

Offshore versus Onshore

Pertentangan antara Sudirman Said dan Rizal Ramli dalam pemilihan skema offshore atau onshore sebenarnya menggunakan dasar pendekatan yang berbeda. Sudirman Said menggunakan pendekatan perhitungan biaya investasi dan biaya operasi (investment and operational cost), sedangkan Rizal Ramli menggunakan pendekatan multiplier effect sebagai acuannya.

Wajar kalau perbedaan pendapat antara keduanya sulit untuk dikompromikan. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Inpex, selaku operator Blok Masela, menyimpulkan bahwa biaya pengembangan offshore lebih murah ketimbang onshore. Biaya investasi untuk offshore diperkirakan sebesar USD14.8 miliar, sedangkan untuk onshore diperkirakan sebesar USD19.3 miliar.

Sedangkan untuk biaya operasional offshore sebesar USD304 juta per tahun lebih kecil dibanding biaya operasional onshore yang mencapai USD356 juta per tahun. Kalau hanya mendasarkan pada pendekatan biaya, pemilihan skema offshore memang lebih murah biayanya dibanding skema onshore. Hasil kajian konsorsium Perguruan Tinggi Indonesia dan Poten and Partner, konsultan independen dari Amerika Serikat juga mendukung hasil kajian Inpex bahwa skema offshore dinilai lebih layak daripada skema onshore.

Bahkan Rizal Ramli sendiri juga mengakui bahwa offshore lebih menarik lantaran invesment rate of return (IRR) bisa mencapai 15%, dengan potensi pendapatan negara sebesar USD43.8 miliar, dan penggunaan teknologi yang lebih canggih. Meskipun demikian, Rizal Ramli tetap saja bersikukuh bahwa pengembangan Blok Masela harus menggunakan skema onshore lantaran akan memberikan multiplier effect dalam peningkatan kesejahteraan bagi rakyat Maluku.

Tanpa kajian mendalam, Rizal Ramli berargumentasi bahwa pengembangan onshore dengan pembangunan kilang di darat akan memberikan kontribusi multiplier effect dalam pengembangan kota-kota di sekitar Blok Masela. Selain itu, pembangunan Kilang di darat yang menggunakan pipa sepanjang 600 kilometer akan mendorong penggunaan industri baja dalam negeri.

Sementara Sudirman Said berkilah bahwa pengembangan offshore akan mendorong industri perkapalan di Indonesia timur semakin berkembang, sehingga mendukung penerapan visi Presiden Jokowi dalam pengembangan negara maritim. Sementara pembangunan sektor hilir, pabrik pupuk dan petrokimia, serta instalasi listrik, tetap dapat dilakukan, baik pada skema offshore, maupun onshore.

Untuk mengakhiri perbedaan pendapat yang berkelanjutan di hadapan publik, Rizal Ramli dan Sudirman Said harus duduk bersama untuk membicarakan dengan kepala dingin terhadap pilihan antara skema offshore atau onshore. Selain menyamakan pendekatan yang digunakan, pertimbangan kepentingan rakyat sesuai dengan konstitusi harus menjadi acuan utama dalam memutuskan pengembangan Blok Masela.

Keterlibatan BUMD dan BUMN

Sebenarnya sangat disayangkan bahwa pertentangan antara Sudirman Said dan Rizal Ramli terjebak hanya pada pemilihan skema antara offshore atau onshore dalam pengembangan Blok Masela. Padahal ada substansi lain yang jauh lebih penting dan mendasar untuk diputuskan, yakni keterlibatan BUMD dan BUMN sebagai manifestasi amanah konstitusi dalam pengelolaan kekayaan alam di Indonesia.

Dalam rapat kabinet terbatas Jokowi mengatakan bahwa pengembangan Blok Masela harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia, sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Menurut pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: ”bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Kalau mendasarkan pada amanah konstitusi tersebut, pengelolaan Blok Masela seharusnya dikelola oleh BUMN, yang 100% sahamnya dikuasai oleh Negara. Namun, faktanya saham Blok Masela sepenuhnya dikuasai oleh Perusahaan Asing, Inpex Jepang menggenggam saham mayoritas sebesar 65%, sisanya 35% dikuasai oleh Shell Amerika Serikat.

Sudirman Said maupun Rizal Ramli tidak pernah menggunakan pendekatan konstitusi dalam perdebatan mereka di depan publik. Tidak mengherankan kalau kedua menteri itu tidak pernah sama sekali mempermasalahkan penguasaan perusahaan asing terhadap kepemilikan sahan Blok Masela.

Bahkan kewajiban untuk memberikan kepada daerah sebesar 10% sebagai kewajiban participating interest (PI) tidak dihiraukan. Demikian juga dengan permintaan Pertamina untuk memiliki saham25% hampir tidak pernah direspons oleh kedua menteri tersebut. Menteri ESDM hanya menyarankan kepada Pertamina untuk masuk ke Blok Masela melalui kerja sama dengan BUMD dengan memanfaatkan PI sebesar 10%.

Sesuai dengan arahan Presiden Jokowi, seharusnya kedua menteri itu memperjuangkan 10% PI untuk BUMD dan penguasaan saham 25% untuk Pertamina. Secara bertahap kepemilikan saham oleh Pertamina harus ditingkatkan hingga mencapai saham mayoritas minimal sebesar 51% melalui divestasi saham Blok Masela, yang dikuasai Inpex dan Shell.

Keterlibatan Pertamina dan BUMD, selain memenuhi arahan Presiden Jokowi, juga sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945. Oleh karena itu, keputusan pengembangan Blok Masela harus lebih mengedepankan keterlibatan BUMD dan Pertamina ketimbang keputusan pemilihan skema antara offshore atau onshore.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar