Minggu, 24 Januari 2016

Masela Milik Generasi Mendatang

Masela Milik Generasi Mendatang

Junaidi Albab Setiawan  ;   Advokat; Pengamat Hukum Migas
                                                       KOMPAS, 23 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden harus pandai-pandai mengambil manfaat dari polemik terbuka tentang rencana pengembangan lapangan gas abadi, Blok Masela, yang terletak di Laut Arafuru, Maluku.  Polemik terjadi antara Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli yang didukung para tokoh Indonesia timur dan praktisi migas dari Forum 73 ITB di satu pihak, dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang dikuatkan oleh pendapat konsultan independen Poten & Partners yang disewa pemerintah di pihak lain. Sekalipun Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya, Menteri ESDM, dan SKK Migas semua masih dalam jangkauan presiden, perbedaan itu tak perlu ditutup-tutupi.

Peristiwa itu adalah gejala baru yang justru bermanfaat karena semangat perbedaan itu untuk menemukan pilihan terbaik bagi kepentingan bangsa. Bagi pemerintah, polemik yang dilontarkan secara terbuka itu adalah proses dialogis positif yang akan makin memperkukuh landasan putusan yang akan diambil.

Paling menguntungkan

Saat ini pengembangan Blok Masela memasuki tahap menunggu persetujuan revisi plant of development yang telah disampaikan kontraktor kontrak kerja sama Inpex Masela Ltd [beranggota Inpex Corporation (65 persen) dari Jepang dan Shell Upstream Overseas Services (35 persen) dari Belanda] kepada pemerintah.

Revisi ini untuk mengganti front end engineering design kilang terapung berkapasitas 2,5 juta metriks ton per tahun (MTPA) yang telah disetujui pemerintah pada September 2014 diubah menjadi berkapasitas 7,5 MTPA dengan nilai investasi 14,8 miliar dollar AS, menyusul ditemukannya cadangan gas baru.

Setelah revisi itu mendapat persetujuan, tahap selanjutnya adalah keputusan akhir investasi. Masalahnya sekarang: proses tersebut kini terhenti karena pemerintah belum menyetujui revisi yang diajukan kontraktor. Pemerintah lewat Menko Maritim dan Sumber Daya masih mempertimbangkan pilihan lain yang lebih efisien dengan usul membangun fasilitas pengolahan di daratan terdekat dengan cara membangun pipa dari lokasi tambang ke lokasi pengolahan.

Kedua pilihan ini diklaim masing-masing pengusul sebagai pilihan terbaik dan paling menguntungkan bagi Indonesia. Kini tiba saatnya bagi presiden menentukan pilihan setidaknya dengan parameter berupa: (a) konsistensi kesesuaian pilihan dengan amanat konstitusi karena gas adalah komoditas vital dari dalam bumi Indonesia yang wajib dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (b) pilihan tersebut adalah yang paling efisien dan membawa kemaslahatan maksimal bagi generasi mendatang karena proyek ini adalah proyek jangka panjang; dan (c) serta adil bagi semua pihak, termasuk kepentingan masyarakat di sekitar lokasi dan bagi kontraktor.

Polemik terbuka di atas adalah wajar, bahkan perlu dilazimkan. Di era sekarang masyarakat harus diberi akses selebar-lebarnya untuk berperan serta karena pengelolaan sumber daya alam strategis dan vital, seperti gas alam bukanlah domain mutlak pemerintah. Selain untuk menghindari kontroversi dan kecurigaan, sisi baiknya adalah didapat berbagai tambahan pertimbangan yang komprehensif. Selama ini masyarakat merasa ditinggalkan serta kurang diberi akses dan kesempatan berperan serta. Pemerintah cenderung memonopoli persoalan, bahkan menutup-nutupi demi keuntungan segelintir oknum, kroni, kekuatan kelompok, dan golongan.

Apa pun yang akan dipilih pemerintah, jika hubungan kontrak antara Indonesia dan Inpex Masela Ltd adalah kontrak bagi hasil, maka yang paling menguntungkan bagi Indonesia adalah fasilitas pengolahan yang berbiaya ringan, tetapi tak merongrong pembiayaan dari waktu ke waktu. Dalam sistem kontrak ini, berapa pun dana yang akan dikeluarkan untuk membangun fasilitas kilang pengolahan, baik di darat maupun terapung di laut, biaya itu akan ditanggung rakyat Indonesia melalui mekanisme pemulihan biaya. Biaya produksi yang telah dikeluarkan kontraktor akan dibayar kembali dari hasil produksi sebelum dilakukan bagi hasil bagi kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan.

Namun, harus juga dipertimbangkan bahwa Blok Masela seluas 4.291,35 kilometer persegi, terletak 153 km dari Pulau Babar di sebelah selatan dan 146 km dari Pulau Yamdena di sebelah barat daya, adalah lokasi sulit. Secara geologis ia labil karena berada di daerah palung pertemuan (pergeseran) Lempeng Benua Australia dan Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Pasifik yang dikitari gunung berapi.

Pertemuan lempeng itu menyebabkan terbentuknya paparan luas yang kemudian disebut Paparan Sahul dan Paparan Arafura dengan kedalaman palung 500 meter hingga 1.000 meter di bawah permukaan laut. Kesemua itu tentu membutuhkan kontraktor andal dalam keahlian dan pembiayaan. Saat ini kontraktor belum dapat menuai hasil, tetapi yang pasti terus kehilangan jangka waktu kontrak pengelolaan blok yang demi hukum harus berakhir pada 2028.

Kepentingan lokal

Tanpa bermaksud mengecilkan komitmen kita sebagai bangsa dalam bingkai NKRI, pengembangan Blok Masela harus lebih memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat di daerah sekitar. Pemerintah wajib memberi tempat layak kepada aspirasi itu. Ini adalah momentum yang tepat bagi pemerintah untuk membuat kebijakan adil yang mampu mengurangi ketimpangan antara kawasan barat dan timur Indonesia.

Tuhan telah membuka mata kita dengan Blok Masela yang terletak di batas timur Indonesia dan selama ini kurang dapat perhatian dalam pembangunan. Blok ini bercadangan terbukti gas yang sangat besar, mencapai 10,73 triliun kaki kubik. Blok ini terletak di 155 km dari Kota Saumlaki di Pulau Tanimbar, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Sisi selatannya berada di perbatasan perairan Indonesia dengan Australia atau 400 km sebelah utara Darwin.

Wilayah ini akan jadi pusat pertumbuhan ekonomi karena Blok Masela juga dikelilingi blok besar milik Australia (Gorgon, Itchis, dan Prelude). Semua ini mesti membawa kita lebih bijaksana, adil, dan aspiratif dalam mengelolanya.

Pengembangan Blok Masela diyakini akan membawa dampak turutan di wilayah sekitar lokasi yang berada di tengah antara provinsi Indonesia yang masih tertinggal: Maluku, NTT, dan Papua. Pemerintah harus konsisten menerapkan paradigma baru dalam pengelolaan sumber energi sebagai motor pertumbuhan ekonomi dengan mencipakan kawasan hunian dan ekonomi baru di sekitar sumber energi. Manusialah yang mengikuti sumber energi, bukan sebaliknya (Peta Jalan Kebijakan Gas, ESDM, 2014-2030).

Daerah ini dulu dikenal sebagai tempat pembuangan pahlawan pendiri bangsa. Pantaslah wilayah ini dapat hadiah dan berkah dari hasil pengembangan Blok Masela: pengembangan wilayah di sekitar yang kelak membawa dampak berantai bagi kemajuan wilayah Indonesia timur. Pemerintah yang baik pantang mewariskan masalah dan prahara bagi generasi mendatang karena gas alam adalah anugerah yang dipercayakan Tuhan untuk seluruh bangsa Indonesia. Jangan biarkan anugerah itu jadi kutukan yang memecah belah bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar