Minggu, 31 Januari 2016

Mengajak Kembali Pengikut Aliran Sesat

Mengajak Kembali Pengikut Aliran Sesat

Biyanto  Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya;
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
                                                KORAN SINDO, 29 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan 10 kriteria untuk menilai kesesatan suatu aliran keagamaan. Ke-10 kriteria itu meliputi (1) mengingkari salah satu rukun iman atau rukun Islam, (2) mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syarsyari, (3) meyakini turunnya wahyu setelah Alquran, (4) mengingkari otentisitas dan kebenaran Alquran, (5) menafsirkan Alquran dengan tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, (6) mengingkari kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam, (7) menghina nabi dan rasul, (8) mengingkari Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, (9) mengubah ajaran pokok ibadah, dan (10) mengafirkan sesama muslim tanpa dalil syarsyari.

Berdasar kriteria yang terbuka untuk diperdebatkan itu, sejak 1980-an MUI telah memvonis sesat sejumlah aliran.  Kini MUI sedang mengkaji ideologi keagamaan eks anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Langkah MUI menetapkan kriteria sesat tidaknya suatu aliran menunjukkan adanya keinginan untuk menjadi pengadil (hakim) dari perdebatan mengenai berbagai aliran keagamaan.

Sebagai organisasi tempat berhimpunnya para alim ulama, MUI memang berotoritas untuk memberikan fatwa keagamaan. Tapi penting dipesankan kepada MUI agar dalam setiap fatwa yang dikeluarkan, apalagi berkaitan dengan kesesatan suatu aliran, selalu disertai larangan bagi masyarakat untuk main hakim sendiri.

Seruan MUI penting agar suasana kehidupan bermasyarakat tetap kondusif. Sebab apa pun alasannya masyarakat tidak boleh bertindak anarkistis terhadap pengikut aliran yang diduga sesat. Peringatan ini penting karena tindakan anarkistis masih sering terjadi dalam banyak insiden intoleransi di daerah. Apalagi dalam insiden intoleransi itu negara sering tidak hadir.

Kasus pembakaran perkampungan eks anggota Gafatar di Mempawah, Kalbar, menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola keragaman. Berbagai kelompok ternyata juga belum siap hidup dalam suasana perbedaan.

Apa pun alasannya, insiden pengusiran, pembakaran rumah, perusakan tempat ibadah, dan pengejaran terhadap berbagai pengikut aliran yang diduga sesat seharusnya tidak boleh terjadi. Berbagai insiden intoleransi pasti akan mereduksi citra negeri tercinta sebagai bangsa yang toleran terhadap perbedaan agama dan paham keagamaan. Pada konteks inilah MUI dan organisasi kemasyarakatan (ormas) harus berperan untuk menenteramkan masyarakat. Di samping itu, ajakan kembali ke jalan yang benar kepada pengikut aliran yang diduga sesat juga harus disampaikan secara manusiawi.

Jika diamati, aliran sesat selalu muncul di tengah dominasi budaya keberagamaan kelompok mayoritas. Dalam budaya keberagamaan kelompok mayoritas ini pengikut aliran sesat akan dipinggirkan. Dalam relasi dominasi budaya kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas itulah dibutuhkan kesadaran betapa nilai-nilai kemanusiaan harus dijunjung tinggi. Berarti tidak boleh ada kekerasan atas nama apa pun.
Agama memang mengajarkan prinsip amar makruf nahi munkar. Tapi harus diingat, agama juga mengajarkan nilai-nilai kasih sayang dan saling menghormati.

Pemerintah melalui kejaksaan dan kepolisian memang bisa mengambil tindakan terhadap aliran sesat. Aparat pemerintah memiliki dasar hukum berupa Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1965 tentang proses melarang ajaran agama (tata cara larangan kepercayaan). Melalui peraturan ini pemerintah bisa menetapkan aliran tertentu sesat dengan alasan melakukan penistaan agama. Tapi konstitusi memerintahkan negara untuk memberikan jaminan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan sesuai keyakinan masing-masing. Berkaca pada amanah konstitusi ini berarti aparat pemerintah harus menjaga hak-hak kemanusiaan pengikut aliran sesat.

Kemunculan aliran sesat sesungguhnya bisa menjadi pelajaran bagi ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU. Fenomena aliran sesat menunjukkan dakwah keagamaan belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Hal itu dapat diamati dari latar belakang sosial pemimpin dan pengikut aliran sesat. Bahkan di antara mereka berlatar belakang sosial, ekonomi, dan pendidikan yang mapan. Mereka umumnya baru belajar agama. Dalam situasi ini bisa dibayangkan jika ada kelompok orang yang menawarkan paham baru. Apalagi jika paham baru itu dikemas dengan argumentasi yang logis.

Kemunculan aliran sesat juga menunjukkan bahwa pengalaman keberagamaan merupakan sebuah pergumulan yang panjang. Bahkan dalam pergumulan menjadi muslim sejati itu seseorang terkadang harus membandingkan satu aliran dengan aliran lain. Dalam dialektika pemikiran itulah seseorang sering kali tergoda dengan aliran baru yang dipandang lebih religius, rasional, praktis, dan pragmatis. Setiap orang harus menyadari bahwa dirinya sejatinya sedang berproses menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik.

Karena perilaku keberagamaan itu berproses (becoming), maka yang penting dilakukan adalah pembinaan secara terus-menerus sesuai dengan kebutuhan sasaran dakwah. Pembinaan harus diprioritaskan pada pemimpin dan ideolog aliran yang telah divonis atau diduga sesat. Pada konteks inilah eks pemimpin dan pengikut Gafatar juga harus dibina. Mereka harus diajak untuk berdiskusi (sharing) mengenai berbagai pengalaman keagamaan. Yang juga sangat penting dilakukan adalah menghormati hak-hak kemanusiaan mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar