Minggu, 31 Januari 2016

Negara di Tengah Perubahan Harga Minyak Dunia

Negara di Tengah Perubahan Harga Minyak Dunia

Rhenald Kasali   Pendiri Rumah Perubahan
                                                KORAN SINDO, 28 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Buat Anda yang pernah membaca buku No Ordinary Disruption (2015), di sana disebutkan empat kekuatan global yang merombak semua tren di dunia.  Sesuai judulnya, perombakan itu terjadi dengan cara-cara yang tidak biasa. Apa saja?  Pertama, pergeseran pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari kawasan utara ke selatan, terutama ke China, India, dan Afrika. Kedua, kemajuan teknologi yang mempercepat terjadinya perubahan, termasuk perubahan di lingkungan ekonomi dan bisnis.

Ketiga, demografi. Betul terjadi tren di sejumlah negara yang penduduknya kian menua (aging population). Namun, perkembangan teknologi kesehatan dan kosmetika membuat orang-orang tua tadi tak lagi menjadi beban. Mereka bukan sekadar menjadi orang jompo. Orang-orang tua sekarang mempunyai daya beli yang luar biasa. Mereka semakin tua, tapi tidak semakin miskin.

Keempat, dunia yang kian terkoneksi melalui aktivitas perdagangan internasional, aliran modal, maupun pergerakan orang dan informasi yang menembus batas-batas negara.

Mungkin karena buku ini diluncurkan tahun 2015—yang artinya riset dilakukan tahun-tahun sebelumnya, tiga penulisnya (Dobbs, Manyika, dan Woetzel) belum memperhitungkan terjadinya penurunan harga minyak dunia hingga setajam ini. Padahal, kita tahu naik turunnya harga minyak mengubah banyak tatanan dunia, bahkan termasuk tatanan ekonomi dan geopolitik.

Lihat saja sekarang. Ketika harga minyak anjlok rata-rata 70% dari di atas USD100 per barel menjadi tinggal USD30 per barel, sejumlah perusahaan minyak dunia (International Oil Company atau IOC) rontok.

Raksasa minyak Shell, misalnya, tahun ini bakal memangkas 6.500 karyawannya dan memotong dana investasi hingga USD7 miliar (atau setara Rp94,2 triliun). Begitu juga dengan Societa Anonima Italiana Perforazioni E Montaggi (Saipem), perusahaan kontraktor minyak dan gas Italia, bakal mengurangi hingga 8.800 karyawannya dalam dua tahun ke depan. Saipem adalah anak usaha dari perusahaan energi Italia, ENI. Di Inggris, British Petroleum juga akan memangkas 4.000 karyawannya hingga 2017.

Menurut laporan BBC News, yang mengutip riset perusahaan akuntansi Moore Stephen, anjloknya harga minyak membuat 28 perusahaan migas global terancam bangkrut. Pemicunya karena dibatalkannya proyek-proyek migas di berbagai belahan dunia yang nilainya mencapai USD200 miliar.

Harap dicatat, itu saat harga minyak mentah dunia masih berkisar USD30 per barel. Padahal, IMF meramalkan bahwa harga minyak bakal turun sampai USD20 per barel.

Negara yang Terpukul

Itu pada tataran korporasi. Di tingkat negara pun fenomenanya nyaris sama. Rusia merupakan salah satu negara yang paling terpukul. Menurut perkiraan IMF, pada 2015 pertumbuhan ekonomi Rusia menyusut 3,7% dibanding tahun sebelumnya. Perekonomian Rusia memang sangat tergantung sektor migas. Sekitar 70% ekspor Rusia datang dari migas.
Menurut BBC News, setiap harga minyak turun USD1 per barel, Rusia bakal kehilangan penerimaan hingga USD2 miliar.

Arab Saudi pun terpukul. Sebab sekitar 90% penerimaan pemerintahnya memang datang dari bisnis migas. Untuk menutup kekurangan anggaran belanja akibat turunnya harga minyak, pemerintah Arab Saudi terpaksa berutang hingga USD4 miliar (Rp54 triliun) melalui penerbitan obligasi.

Penurunan harga minyak juga membuat pertumbuhan orang-orang kaya di Negeri Petrodolar itu bakal melambat. Mengutip data Wealthinsight , sepanjang 2015-2020 tingkat pertumbuhan orang-orang kaya di Arab Saudi diperkirakan hanya akan mencapai 12,4%. Padahal, selama 2010-2015 tingkat pertumbuhannya masih bisa mencapai 25%.

Iran, yang baru terbebas dari sanksi negara-negara Barat, juga terpukul oleh jatuhnya harga minyak. Separuh penerimaan Iran datang dari bisnis minyak. Lalu, 80% lebih ekspor Iran juga berupa minyak.

Mereka yang Untung

Namun, tak semua negara terpukul oleh jatuhnya harga minyak dunia. Negara-negara Eropa mungkin malah diuntungkan. BBC News melaporkan, setiap harga minyak turun hingga 10%, pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa bakal naik 0,1%. Ini terutama dipicu oleh meningkatnya konsumsi.

China, sebagai negara yang rakus energi, juga diuntungkan oleh penurunan harga migas. Sepanjang 2014, China mengimpor lebih dari 7,15 juta barel minyak per hari (bandingkan dengan Indonesia yang sekitar 600.000 barel per hari), atau tumbuh lebih dari 15% dibandingkan tahun sebelumnya. Jadi, penurunan harga minyak ini betul-betul menguntungkan China. Meski begitu, penurunan harga migas ini diperkirakan tak akan mampu dengan cepat mengatrol pelemahan pertumbuhan ekonomi China.

India pun serupa. Negara ini mesti mengimpor 70% dari seluruh kebutuhan minyaknya. Penurunan harga jelas membuat biaya subsidi minyak India terpangkas hingga mencapai USD2,5 miliar (Rp33,75 triliun). Lumayan, meski ada syaratnya, yakni harga minyak dunia harus terus rendah.

Manfaatkan Peluang

Lalu, bagaimana dengan kita? Kata orang, ”Opportunity never knocks twice.” Kesempatan tak datang dua kali. Jadi, menurut saya, kita mesti memandang jatuhnya harga minyak dunia sebagai peluang. Bagaimana caranya?

Pertama, kita mesti mengerem volume produksi minyak dan gas. Buat apa menaikkan volume produksi, toh harganya sedang murah. Sebaiknya kita berhemat, supaya umur cadangan minyak kita bertahan lebih dari 10 tahun ke depan. Ini akan menjadi warisan penting bagi anak-cucu kita.   

Kedua, kita dorong Pertamina untuk lebih sigap memborong ladang-ladang minyak di luar negeri yang tengah bermasalah. Ini agar cadangan minyak kita bertambah lagi dan Pertamina betul-betul menjadi perusahaan raksasa sekelas Petronas.

Ketiga, jangan berhenti mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Biar bagaimana energi fosil pada saatnya bakal habis. Pemerintah perlu membuat aturan yang tegas soal ini.

Keempat, meski harga minyak murah, kita tetap harus berhemat. Perilaku kita sekarang ini masih sangat boros energi. Itu sebabnya saya berharap pemerintah tak tergoda untuk bersikap populis dengan menurunkan harga BBM. Belakangan saya memang mendengar ada anggota DPR yang sudah melontarkan pernyataan tentang perlunya pemerintah menurunkan harga BBM. Abaikan saja.

Sepanjang 2015, pemerintah masih mengalokasikan Rp81,8 triliun untuk subsidi BBM. Ke depan, hapus subsidi BBM dan alokasikan ke dana untuk pendidikan, kesehatan dan membangun sarana transportasi publik.

Di Jakarta, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama siap menanggung biaya kuliah bagi siswa SMA atau SMK ber-KTP DKI Jakarta yang diterima di perguruan tinggi negeri di mana pun. Langkah yang luar biasa. Ketimbang APBD DKI Jakarta digerogoti para koruptor, lebih baik diberikan kepada anak-anak yang pintar.

Pemerintah perlu meniru langkah Gubernur Basuki. Ketimbang memanjakan perilaku rakyat kita yang masih boros energi, lebih baik alihkan dana subsidi BBM untuk menyubsidi anak-anak negeri yang pintar-pintar. Jauh lebih bermanfaat, bukan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar