Minggu, 31 Januari 2016

Oposisi Dulu, Koalisi Kemudian

Oposisi Dulu, Koalisi Kemudian

Bawono Kumoro   Head of Politics and Government Department
The Habibie Center Jakarta
                                                    JAWA POS, 29 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PARTAI Golkar baru saja selesai menggelar rapat pimpinan nasional (rapimnas). Selain memutuskan menggelar musyawarah luar biasa (munaslub) untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan partai, melalui rapimnas tersebut, Golkar mendeklarasikan diri bergabung dalam koalisi partai-partai pendukung pemerintah.

Setelah Partai Amanat Nasional bergeser haluan dari partai oposisi menjadi partai pendukung pemerintah, perubahan sikap politik serupa dari Partai Golkar jelas mengguncang soliditas Koalisi Merah Putih. Di kubu berseberangan, perubahan sikap politik Partai Golkar tentu merupakan kabar baik sehingga diterima dengan tangan terbuka.

Perubahan sikap politik Partai Golkar otomatis juga akan berdampak pada perubahan komposisi kursi di parlemen. Kekuatan koalisi pendukung pemerintah di parlemen jelas semakin besar.

Di barisan koalisi partai-partai pendukung pemerintah saat ini, terdapat lima partai politik berkekuatan 256 kursi di parlemen. Lima partai itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (109 kursi), Partai Amanat Nasional (48 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi), Partai Nasdem (36 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi). Dengan keikutsertaan Partai Golkar, jumlah kursi koalisi partaipartai pendukung pemerintah di parlemen menjadi 347 kursi.

Sebaliknya, di barisan oposisi pemerintah, jumlah kursi otomatis berkurang menjadi tinggal 152 kursi. Bahkan, kalaupun mampu membujuk Partai Demokrat masuk menjadi bagian Koalisi Merah Putih, jumlah kursi partai-partai oposisi baru mencapai 213 kursi.

Kontraproduktif

Bukan tidak mungkin bangunan koalisi seperti itu akan berujung pada kemandulan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Alhasil, ketidakseimbangan politik akan sulit terhindarkan.

Padahal, kehadiran fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif merupakan sebuah keharusan bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Harus ada kekuatan oposisi yang solid dan signifikan di parlemen untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar senantiasa berada di jalur yang benar. Menjatuhkan pilihan politik sebagai kekuatan oposisi tidak kalah terhormat dengan posisi sebagai partai penguasa.

Dua posisi politik tersebut sama- sama memiliki arti penting dan strategis bagi kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Bangsa ini tentu tidak ingin memiliki lembaga eksekutif terlampau dominan dan tidak terkontrol sebagaimana di era Orde Lama dan Orde Baru.

Hal lain yang juga patut dikritik dari perubahan sikap politik Partai Golkar adalah dalih untuk mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif sekaligus memperkuat sistem presidensial.

Padahal, sebagaimana dikatakan Linz dan Valenzuela (1994), koalisi cuma relevan dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem pemerintahan presidensial seperti yang dianut Indonesia.

Dalam konteks sistem pemerintahan presidensial, lembaga eksekutif dan 
legislatif merupakan dua lembaga tinggi terpisah dan tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain. Kelangsungan hidup lembaga eksekutif tidak bergantung pada dukungan politik partai-partai di parlemen.

Incar Kursi Kabinet

Jika ditelaah lebih jauh, persoalan koalisi partai-partai sesungguhnya lebih terkait dengan kepentingan politik jangka pendek kekuasaan. Seperti jatah kursi di kabinet, ketimbang sebagai ikhtiar politik untuk mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif dan memperkuat sistem presidensial.
Bahkan, boleh jadi, koalisi bukan sekadar persoalan siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Tapi, juga kalkulasi mobilisasi dana guna keperluan pemilu mendatang.

Sudah menjadi rahasia umum bila jabatan di kementerian sering kali menjadi pintu masuk aliran dana bagi partai politik tempat menteri bersangkutan bernaung. Karena itu, tidak salah juga bila kini berkembang dugaan bila perubahan sikap politik Partai Golkar didorong motivasi untuk mengincar jabatan di kabinet menjelang reshuffle jilid II. Tidak ada makan siang gratis, bukan? Tata Ulang

Bila benar perhatian utama partaipartai adalah mendorong efektivitas kinerja lembaga eksekutif dan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, hal mendesak untuk dilakukan adalah penataan ulang desain institusi politik.

Penataan ulang desain institusi politik diarahkan pada satu tujuan utama: agar sistem presidensial dapat lebih kompatibel dengan sistem multipartai. Penataan ulang desain institusi politik mencakup desain pemilu, desain parlemen, dan desain lembaga kepresidenan.

Penataan ulang desain pemilu diperlukan agar pemilu dirancang untuk mendorong penyederhanaan jumlah partai politik dari multipartai ekstrem ke multipartai sederhana. Hal itu dapat dilakukan, antara lain, melalui penerapan ambang batas parlemen secara konsisten serta pelaksanaan serentak pemilu legislatif dan pemilihan presiden.

Adapun penataan ulang desain parlemen dimaksudkan agar kelembagaan parlemen diarahkan kepada penyederhanaan polarisasi kekuatan politik. Sementara itu, penataan ulang desain lembaga kepresidenan diarahkan untuk memperkuat posisi politik presiden di hadapan parlemen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar