Rabu, 27 Januari 2016

Pelayan Publik yang Sulit Melayani

Pelayan Publik yang Sulit Melayani

Amzulian Rifai ;  Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
                                                KORAN SINDO, 26 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang kini dikenal sebagai aparatur sipil negara (ASN) tetap menjadi dambaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Salah satu indikasinya, jumlah pelamar untuk menduduki posisi sebagai pegawai pemerintah itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan formasi yang tersedia. Setidaknya pada 2014 saja ada 2.603.780 orang pendaftar calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Padahal, pemerintah hanya membuka lowongan untuk 100.000 formasi yang terdiri atas 65.000 sebagai CPNS/ASN dan 35.000 sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Jika kita mengacu baik pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara maupun Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, keduanya memberikan kewajiban luar biasa kepada pegawai negeri sebagai garda terdepan dalam memberikan pelayanan kepada publik.

Apakah pegawai negeri benar-benar telah berlaku dan berbuat sebagai pelayan publik sebagaimana diamanatkan oleh berbagai undang-undang terkait? Secara umum pastilah “begitu banyak” keluhan terhadap perilaku maupun kualitas para pegawai negeri yang seharusnya bekerja sebagai pelayan publik tersebut. Namun, kita juga mesti memahami berbagai persoalan yang mengitari para pegawai negeri untuk menjalankan misi ideal mereka.

Istilah Pegawai Negeri

Memang ada yang terbiasa berucap “apalah arti sebuahn ama” (pernyataan William Shakespeare yang populer), namun untuk istilah pegawai negeri (government official) atau aparatur negara (state apparatus) terdapat beberapa kekhususan yang mungkin berpengaruh terhadap misi melayani publik.

Dalam suatu sistem ketatanegaraan, pemerintah negara yang biasanya memiliki kekuasaan sangat besar di berbagai bidang. Pegawai negara/ pemerintah dipersepsikan sebagai perwakilan penguasa dengan berbagai kewenangannya. Mungkin itu sebabnya, setiap orang ingin berkuasa dan mempertahankannya. Dengan status sebagai “pegawai negara”, kecenderungan watak yang muncul adalah penguasa, bukan pelayan.

Berbagai tampilan pegawai pemerintah yang justru menyuburkan watak penguasa tersebut. Mulai dari pakaian seragam yang berbeda denganpegawailainnya. Bahkan ada saja instansi pemerintah yang menggunakan seragam lengkap dengan atribut “mirip militer.” Jangan-jangan hanya di Indonesia ada pelayan publik berseragam ala militer ini. Akibatnya, mental yang terbangun adalah mental juragan atau malah watak tentara.

Bukankah mereka adalah pegawainya penguasa, bukan pegawainya rakyat. Bandingkan dengan istilah government official/state apparatus (pegawai negeri) dengan istilah dalam bahasa Inggris dengan sebutan public servant (pelayan publik). Penggunaan publicservant sedari awal “menyadarkan” penyandangnya bahwa mereka adalah pelayan publik, bukannya pelayannegara, apalagi penguasa.

Perubahan Kultur

Sebagai bangsa yang lama terjajah, pastilah masa lalu sosok pegawai negeri zaman Belanda yang disebut ambtenaar masih membekas. Cerita orang tua kita, ambtenaar, adalah sosok yang berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi baja dan pergi serta pulang kerja naik sepeda. Jabatan ini menjadi impian dari kebanyakan anak-anak pribumi karena dipandang bahwa kehidupannya terjamin.

Mungkin ada pengaruhnya jika hingga saat ini kebanyakan orang tua sangat ingin putra-putrinya berstatus pegawai negeri. Boleh jadi karena doktrin dan memori sosok ambtenaar masa penjajahan itu. Jangan heran apabila jumlah entrepreneur di negeri ini sangat rendah, justru para calon penguasa yang terus bermunculan. Jika dibandingkan dengan beberapa negara maju, jumlah entrepreneur atau wirausaha di Indonesia masih rendah.

Di antara 231,83 juta jiwa penduduk Indonesia, baru 4,6 juta saja (2%) yang berwirausaha. Bandingkan dengan persentase penduduk Singapura yang berwirausaha mencapai 7%, China dan Jepang mencapai 10%. Amerika Serikat bahkan mencapai 12%. Kultur sebagian besar bangsa kita adalah ingin menjadi pegawai negeri (government official) dengan bayangan berbagai fasilitas (mobil, rumah, dan ajudan) yang disediakan oleh negara. Sulit sekali membangun kultur menjadi wirausaha, yang dengan status ini berbagai kebutuhan mesti diusahakan sendiri. Berangkat dari kultur ambtenaar ini, ketika menjadi seorang pegawai negeri, tidak mengherankan apabila watak minta dilayani itu yang justru lebih menonjol.

Padahal, idealnya, sang pegawai negeri itu “diperintahkan” oleh negara sebagai perpanjangan untuk memberikan pelayanan kepada publik.

Pola Rekrutmen

Kita bersyukur pemerintah telah melakukan berbagai perbaikan penerimaan pegawai negeri dengan kontrol dari DPR RI. Pola penerimaan itu semakin tertata baik, semakin fair sejak penerimaan pegawai negeri diambil alih oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB).

Hasil observasi saya sudah ada perbaikan signifikan yang memberikan berbagai harapan. Namun, selama ini, sebelum rekrutmen oleh Kemenpan-RB, diyakini bahwa rekrutmen pegawai negeri sipil tidak terbebas dari rekayasa. Jika pun belum pasti terjadi di instansi pusat, terlalu banyak cerita menyeramkan saat penerimaan pegawai negeri sipil di berbagai daerah yang sarat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Di sebagian daerah, penerimaan CPNS menjadi “rezeki” tahunan bagi banyak orang. Bahkan ada pula yang menjadikan rekrutmen CPNS sebagai arena mengumpulkan dana untuk kebutuhan pilkada. Mari kita berhitung apabila seorang CPNS ditarik iuran Rp200 juta saja. Bahkan ada daerah yang mematok uang pungutan liar mencapai Rp300 juta setiap CPNS.

Kabupaten atau kota terkadang setiap tahunnya menerima sekitar 300 CPNS. Ada beberapa kasus suap penerimaan CPNS di daerah hingga putusan pengadilan yang membenarkan uraian ini. Observasi saya dalam beberapa tahun ini beberapa pejabat di daerah kehilangan rezeki melalui seleksi CPNS ini. Selama ini ada rangkaian sistematis perilaku korup orang-orang yang “menjadi kaya raya” atas nama seleksi calon pegawai pemerintah.

Sudah menjadi hukum ekonomi ketika demand jauh melampaui supply, ada pihak yang sanggup membayar “berapa saja” untuk permintaan itu. Sejak Kemenpan-RB sepenuhnya mengambil alih rekrutmen CPNS, setidaknya daerah terbebas dari hiruk-pikuk penerimaan CPNS dengan berbagai rupa penyelewengannya. Walau pada 2016 ini, masih ada oknum pejabat yang terpaksa berutang atau akan dipidana karena harus mengembalikan “uang pelicin” setidaknya ratusan juta rupiah yang telanjur diterima.

Pola Mutasi dan Promosi Selain rekrutmen, jika kita ingin memiliki pegawai negeri yang melayani publik, pola mutasi dan promosi harus pula diperhatikan. Sulit menghapus persepsi publik bahwa mutasi dan promosi pegawai negeri itu sarat dengan berbagai kepentingan baik politik maupun pribadi, bahkan suap.

Pola lelang jabatan sekalipun masih sulit dipercaya objektivitasnya. Di beberapa daerah, mutasi dan promosi itu memiliki korelasi dengan pilkada. Salah satu indikasinya, pascapilkada biasanya terjadi mutasi besarbesaran. Konon, selama proses pilkada, sudah ada juru catat yang memuat daftar nama mereka yang mendukung atau berada di pihak lawan. Perbedaannya hanya soal kapan mutasi dilakukan karena batas kesabaran antarkepala daerah berbeda. Mungkin ada kepala daerah yang melakukan mutasi secara santun, perlahan tetapi pasti atau sebaliknya. Mungkin cukup terpublikasikan, pada 2013 Kota Palembang pantas dicatat sebagai daerah yang memutasi pegawainya paling banyak.

Ada sekitar 286 pegawai negeri yang dimutasi hanya dalam waktu sekitar dua bulan setelah pilkada. Mungkin kejadian dan pola yang mirip terjadi juga di banyak daerah. Cara-cara mutasi semacam ini sudah pasti menghambat seorang pegawai negeri untuk menjalankan misi sebagai pelayan publik.

Justru yang terjadi malah “lebih buruk lagi” dari semula sebagai pelayan negara menjadi pelayan kepala daerah atas nama loyalitas pribadi. Kondisi ini semakin menjauhkan seorang pegawai negeri yang diharapkan menjalankan tugas sebagai pelayan publik, sebagai abdi publik.

Mungkin hanya negeri kita yang pegawainya memiliki berbagai peraturan perundang-undangan ideal. Semua perundang-undangan itu memiliki perintah sangat jelas agar pegawai negeri memberikan pelayanan kepada publik sesuai bidangnya. Mengutamakan kepentingan publik ketimbang kepentingan pribadi atau golongan. Luar biasa perintah undang-undangnya.

Negara lain mungkin hanya bermodalkan istilah public servant tanpa terlalu banyak undangundang yang mengaturnya. Kita mengapresiasi pemerintah melalui Kemenpan-RB yang terus berbenah agar para pegawai negeri menjalankan misi idealnya. Sekaligus membangun kepercayaan publik kepada pemerintah yang memang serius ingin berbenah.

Tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir para pegawai negeri ini dari mental minta dilayani menjadi sosok yang melayani. Mungkin jiwa dan figur ambtenaar warisan masa penjajahan, ditambah persoalan rekrutmen dan mutasi tadi, menjadikan pegawai negeri kita sebagai sosok yang sulit untuk melayani publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar