Selasa, 26 Januari 2016

Peta Pertanian Masyarakat Ekonomi ASEAN

Peta Pertanian Masyarakat Ekonomi ASEAN

Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI);
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
                                           MEDIA INDONESIA, 22 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TANPA pengumuman, per 1 Januari 2016, kita semua mema suki era baru, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kini 10 negara anggota ASEAN terhubung jadi satu kesatuan, yakni kesatuan kawasan, wilayah produksi, dan konsumsi. Barang, jasa, modal, dan tenaga kerja bisa bergerak bebas dalam kawasan. Berbeda dengan era sebelumnya, kini semua anggota ASEAN harus meliberalisasi perdagangan, terutama barang. Daya saing barang, jasa, modal, dan tenaga kerja amat menentukan pergerakan keempatnya.

Di luar Singapura dan Brunei Darusalam, negara-negara anggota ASEAN diikat ciri yang hampir sama, yaitu bercorak pertanian. Di sejumlah negara, sektor pertanian masih jadi gantungan hidup penting warga. Bahkan, pertanian menjadi penopang utama ekonomi dan penyumbang penting devisa buat negara, seperti di Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina, Myanmar, dan Malaysia. Pertanyaannya bagaimana peta sektor pertanian negara-negara anggota ASEAN? Secara khusus, bagaimana posisi Indonesia?

Secara umum, daya saing komoditas pertanian tiap-tiap negara ASEAN amat beragam.Dalam komoditas beras, ham pir semua negara anggota ASEAN berbasis pertanian beras. Budi daya padi merepresentasikan hampir 60% area pertanian di Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam, serta mencapai 90% di Kamboja dan Laos. Dari sisi produktivitas, padi Indonesia hanya kalah dari Vietnam.Masalah ada ketika padi atau gabah berubah menjadi beras. Apabila harga dijadikan indikator, beras Indonesia tidak memiliki daya saing, kalah jauh dari Thailand dan Vietnam, dua eksportir utama beras dunia. Rata-rata harga beras di Indonesia lebih tinggi 60%-65% daripada beras di Thailand dan Vietnam. Di ASEAN, Indonesia dan Filipina merupakan importir beras terbesar.

Itu terjadi karena selama berpuluh-puluh tahun pemerintah lebih fokus pada swasembada gabah, tapi melupakan beras. Berbagai kebijakan di on farm (subsidi pupuk, benih, bantuan traktor, irigasi, dan yang lain) dibuat untuk mengejar swasembada gabah, termasuk surplus 10 juta ton beras pada 2017 Kabinet Kerja. Industri padi/gabah dan industri beras saling terkait dan saling memperkuat.Jika salah satu di antaranya melemah, kurang atau tidak diurus, keduanya akan melemah atau tidak terurus. Sialnya pada proses pengeringan gabah dan penggilingan padi di industri beras, kita amat lemah.

Masih rendah

Gula Indonesia juga berdaya saing rendah. Di ASEAN ada dua produsen utama gula, Indonesia dan Thailand. Dari sisi produktivitas tebu, Indonesia dan Thailand hampir serupa, 75 ton per hektare (ha). Namun, Indonesia kalah dalam produktivitas hablur lantaran rendemen tebu yang lebih rendah daripada Thailand. Selama bertahun-tahun rendemen tak bergerak jauh dari 7-8. Rendahnya daya saing gula Indonesia juga tecermin dari biaya produksi yang mencapai US$750/ton, jauh lebih tinggi daripada Thailand (US$442/ton).

Daging ayam idem ditto. Indonesia sebenarnya masuk 10 besar produsen broiler dunia. Namun, Indonesia bukan eksportir broiler. Di ASEAN, justru Thailand dan Malaysia yang menjadi eksportir broiler. Thailand mengekspor 35% produk broilernya ke berbagai negara dunia dengan pelbagai merek. Malaysia mengekspor broiler ke Singapura. Padahal, tidak seperti di Indonesia yang ada komponen lokal, Malaysia mengimpor semua pakan unggas. Dengan sistem terintegrasi, pada 2014 biaya produksi ayam broiler hidup di Malaysia US$0,63/ kg, Thailand US$0,50/kg, dan Filipina US$ 0,62/kg, lebih rendah daripada Indonesia US$0,80/kg.

Dalam produk hortikultura, seperti buah-buahan, Thailand merupakan saingan terberat Indonesia. Selama ini aneka buah-buahan Thailand menyerbu pasar Indonesia.Di ASEAN, Indonesia unggul dalam sejumlah komoditas perkebunan, seperti sawit, kopi, kakao, dan teh. Indonesia produsen sawit terbesar di dunia, disusul Malaysia di posisi kedua. Kita produsen kopi robusta kedua dunia setelah Vietnam, produsen kakao ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dan produsen teh kedua dunia. Sayangnya keunggulan komoditas itu masih berupa produk primer dengan nilai tambah rendah. Hanya sebagian kecil ekspor komoditas perkebunan dalam bentuk produk olahan, baik barang jadi maupun setengah jadi.Akibatnya negara lain yang memetik keuntungan.

Jauh-jauh hari negara-negara anggota ASEAN menata diri menghadapi MEA. Thailand sejak lama berbenah dan menyiapkan segala hal menyongsong MEA. Dari sisi kesiapan, Thailand meninggalkan negara lain anggota ASEAN. Salah satu persiapan serius Thailand ialah membuka saluran khusus di televisi untuk diseminasi informasi MEA. Pelbagai lembaga negara, seperti Badan Investasi dan Departemen Pengembangan Masyarakat, membuat aneka program persiapan. Persiapan Vietnam juga amat impresif, terutama terkait peningkatan daya saing produksi, pengolahan, dan pemasaran pertanian.

Sementara itu, Laos dan Kamboja tertatih-tatih mengejar di belakang. Dua negara itu terus menata diri untuk memperbaiki kinerja usaha pertanian dan produk unggulan mereka. Myanmar yang baru membuka diri dalam perdagangan regional dan global masih dihadapkan pada persoalan infrastruktur dan kelembagaan. Filipina tidak jauh berbeda, kebingungan menetapkan cara yang baik dalam berproduksi, pengolahan, dan pemasaran pertanian. Indonesia juga sama. Hingga MEA di depan mata, diakui Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian Haryono terobosan besar persiapan komprehensif peningkatan daya saing produk pertanian dalam menghadapi MEA belum disusun.

Perlu fokus

MEA telah dimulai, tapi secara teknis masih banyak hambatan nontarif, seperti harmonisasi standar, keamanan pangan, registrasi, label, dan jaminan halal. Juga kesiapan pengawasan, seperti laboratorium uji dan lembaga sertifikasi. Indonesia belum memiliki ASEAN Food Reference Laboratories (AFRLs) sebagai acuan jika terjadi perselisihan perdagangan. Sebaliknya, negara lain sudah ditunjuk sebagai AFRLs, seperti Vietnam (mikrobiologi), Singapura (residu pestisida dan myco-toxin), Thailand (logam berat dan residu veterinary), dan Malaysia (produk GMO). Tidak ada kata mundur. Sebagai pasar terbesar, Indonesia perlu fokus pada komoditas berdaya saing tinggi seraya melindungi komoditas berdaya saing menengah-rendah. Pada semua kementerian perlu dibentuk `gugus tugas permanen MEA' yang mengawal implementasi dan mengantisipasi dampaknya. Semoga Indonesia bisa meraih untung, bukan buntung dan hanya menonton.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar