Selasa, 26 Januari 2016

Polisi juga Punya Hak Asasi

Polisi juga Punya Hak Asasi

Reza Indragiri Amriel ;  Penulis Buku Polisi [bukan] Manusia;
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
                                           MEDIA INDONESIA, 22 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM satu bulan ini saja ada sekian banyak peristiwa mengenaskan yang dialami personel Polri. Sebut saja ada polisi yang menjadi korban serangan teroris, dihajar oknum tentara, ditembaki gerombolan pengacau di Papua, dan yang mutakhir, polisi dianiaya sindikat narkoba.

Polisi bertugas melindungi hak asasi manusia (HAM) warga sipil. Namun, publik kerap abai bahwa polisi, baik selaku manusia pribadi maupun individu profesi, juga mempunyai HAM yang harus dijamin pemenuhannya. Diasumsikan, faktor mendasar di balik pengabaian HAM polisi itu ialah anggapan polisi sebagai makhluk yang melampaui manusia. Tidak hanya membuat polisi tidak mungkin jatuh sebagai korban, kondisi omnipotent tersebut justru memosisikan mereka sebagai satu-satunya pihak yang selalu disalahkan ketika terjadi pergesekan antara polisi dan masyarakat.

Anggapan seperti itu pula yang boleh jadi membuat masyarakat dan media lebih peduli pada data tentang jum lah dan jenis pelanggaran yang dilakukan personel Polri. Kehirauan setara tidak diberikan pada jumlah dan penyebab cedera maupun tewasnya anggota korps Tribrata. Padahal, tidak tertutup kemungkinan kemalangan yang diderita personel Polri tersebut juga disebabkan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM mereka.

Terkuncinya persepsi bahwa HAM semata-mata merupakan milik warga sipil bisa dipastikan menyebabkan masyarakat sulit memikirkan nasib personel kepolisian yang menjadi korban dalam insiden-insiden kritis. Efek lanjutannya, manakala HAM polisi dinihilkan, tidak begitu manusiawi untuk menuntut polisi harus tetap mampu menjamin terlindunginya HAM masyarakat sipil.

Ketika masyarakat relatif tidak memiliki wacana mengenai HAM polisi, institusi kepolisian sendiri sepatutnya memiliki keinsafan yang lebih baik dalam rangka memastikan bahwa HAM polisi bukanlah isu tiap pribadi personel, melainkan masalah yang dikelola secara terorganisasi (terlembaga).

Internal dan eksternal

Indikator bagi HAM polisi yang terkelola oleh organisasi kepolisian ialah, antara lain, tersedianya berbagai pranata tertulis yang mengatur tindak-tanduk personel kepolisian. Prosedur tetap (protap) penanganan gerombolan pengacau keamanan, misalnya, dapat dipandang telah peka HAM polisi apabila di dalamnya juga mencantumkan gambaran definitif tentang cakupan hak personel dalam situasi kritis dan mekanisme yang dapat personel tempuh ketika HAM mereka tercederai. Jadi, protap peka HAM polisi tersebut tidak berhenti pada apa yang harus polisi lakukan terhadap pengacau, tetapi juga berlanjut dengan uraian tentang bagaimana sistem perlindungan HAM polisi bisa difungsikan. Salah satu bentuk layanan utama bagi perlindungan HAM polisi tersebut ialah jaminan penyelenggaraan investigasi atas situasi yang memviktimisasi polisi.

Selain masyarakat ataupun pihak-pihak eksternal institusi kepolisian lainnya, organisasi kepolisian sendiri juga bisa menjadi pelaku pelanggaran HAM terhadap personelnya, baik yang dilakukan secara individual (ulah atasan terhadap bawahan) maupun secara institusional yakni ketika organisasi memang tidak berprakarsa membangun peranti-peranti perlindungan HAM polisi.

Bentuk-bentuk pelanggaran HAM polisi secara internal tersebut biasanya bersangkut paut dengan pengabaian terhadap hak-hak profesional personel. European Platform for Policing and Human Rights memuat beberapa rinciannya; hak hidup, hak atas pengadilan yang adil, hak privasi, kebebasan berekspresi, kebebasan berhimpun dan berkelompok, bebas dari diskriminasi, hak atas lingkungan kerja yang adil dan mengembangkan, serta jaminan keamanan sosial.

Ketika kasus pelanggaran terhadap HAM polisi oleh pihak eksternal sering luput dari perhatian publik, pelanggaran terhadap HAM personel yang berlangsung di lingkungan internal kepolisian berpeluang lebih tinggi lagi terlewatkan dari cermatan khalayak. Konsekuensinya, lebih pelik pula bagi polisi-korban untuk memulihkan HAM mereka.

Pada sisi itulah timbul kerisauan. Adakah kemungkinan bahwa 335 anggota Polri yang dipecat pada 2015 (meningkat hampir tiga kali lipat jika dibandingkan dengan 119 polisi yang dipecat pada tahun sebelumnya), hingga beberapa segi juga diakibatkan pelanggaran HAM yang mereka alami?

Pelanggaran terhadap HAM personel, baik oleh pihak internal maupun eksternal, membuat polisi-polisi tersebut mengalami demoralisasi yang kemudian termanifestasikan ke dalam bentuk perilaku-perilaku tak pantas. Tragisnya, sasaran paling empuk penyaluran demoralisasi itu justru pihak yang semestinya polisi ayomi, yaitu masyarakat. Bentuknya mulai dari mutu pelayanan yang buruk hingga tindak kriminalitas yang memangsa masyarakat.

Beda tujuan

Kendati HAM polisi sama signifikannya dengan HAM warga sipil, tujuan perlindungan HAM keduanya berbeda satu sama lain. Perlindungan terhadap HAM masyarakat sipil berkutat pada bagaimana agar HAM mereka terjaga, terlindungi, termasuk oleh institusi kepolisian. Sementara itu, perlindungan terhadap HAM polisi ditujukan agar HAM mereka bisa terjaga, terlindungi, sehingga para awak korps Tribrata tersebut pada gilirannya juga mampu menjaga dan melindungi HAM masyarakat sipil.

Allahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar