Minggu, 31 Januari 2016

Proeksistensi

Proeksistensi

Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                KORAN SINDO, 29 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Candi Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, oleh UNESCO ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Sekalipun candi ini merupakan warisan Hindu-Buddha yang dibangun sekitar abad ke-7, masyarakat sekelilingnya mayoritas beragama Islam, termasuk mereka yang bekerja sebagai penjaga keamanan, penjual suvenir, pemandu wisata, dan pekerja lain yang berkaitan dengan Borobudur.

Oleh karena itu, sulit dipahami oleh masyarakat Islam sekitar ketika dulu pernah ada orang meledakkan bom dengan tujuan untuk menghancurkan monumen sejarah ini dengan alasan akan merusak akidah umat Islam.

Patung-patung itu dianggap berhala yang diharamkan untuk disembah. Padahal, jangankan agama Islam, agama Hindu-Buddha pun tidak mengajarkan menyembah batu.

Orang Islam yang bertawaf mengelilingi Kakbah dan berebut mencium Hajar Aswad juga bukan memuja Kakbah.

Terbayang, andaikan Borobudur ini berada di Timur Tengah, mungkin sekali telah dihancurkan oleh kelompok Taliban atau pun ISIS karena mereka memang rendah apresiasinya terhadap warisan dan monumen sejarah. Sekian banyak warisan budaya keagamaan, termasuk gereja yang usianya ratusan tahun, merekahancurkan.

Karena terlahir dan tumbuh dewasa di daerah Magelang, saya merasakan dan melihat sendiri betapa masyarakat di sana hidup damai dalam keragaman agama dan budaya. Di sana terdapat pusat pendidikan seminari Katolik yang terkenal di tingkat Asia Tenggara, yaitu di Muntilan dan Mertoyudan.

Tak jauh dari situ terdapat pondok pesantren tua yang tersohor, misalnya saja Pesantren Watucongol, Pesantren Pabelan, Pesantren Tegalrejo, dan Pesantren Payaman. Di Muntilan juga terdapat bangunan Kelenteng Konghucu tertua di Indonesia. Jadi, Magelang merupakan daerah titik temu berbagai agama dan budaya tua yang semuanya hidup damai, berdampingan, dan tidak saling menghancurkan, yang saya istilahkan proeksistensi, bukan sekadar koeksistensi.

Akhir-akhir ini muncul suasana batin sebagian umat Islam yang selalu menekankan perbedaan yang mengarah pada kebencian dan permusuhan terhadap kelompok umat beragama lain. Bahkan terhadap sesama muslim hanya karena berbeda mazhab, mereka mudah melakukan kekerasan. Perlu kita sadari bahwa ajaran dasar Islam itu satu, namun memungkinkan muncul tafsiran yang berbeda, sehingga melahirkan beragam mazhab.

Namun, ajaran dasarnya tak pernah berubah sejak zaman Rasulullah sampai hari ini. Sejak dari doktrin bagaimana salat, puasa, zakat, dan haji, semuanya sama dan tak berubah. Tetapi ketika menyangkut kekuasaan politik yang berimplikasi pada keuntungan ekonomi, muncullah ketegangan dan pertikaian antarkelompok.

Situasi ini semakin memburuk ketika ada kekuatan luar yang mendompleng mengambil keuntungan. Apa yang terjadi di Timur Tengah dan Indonesia selalu terkena dampaknya, akarnya adalah persaingan politik-ekonomi dan kekuasaan dengan melibatkan kekuatan asing, Amerika dan Rusia.

Khususnya di wilayah Magelang, saya mengalami sendiri. Dulu perbedaan agama dan mazhab itu tidak menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan masyarakat. Namun, akhir-akhir ini umat beragama di berbagai kawasan cenderung menjadi sensitif dan pemarah ketika melihat perbedaan. Berbeda itu tidak bisa dinafikan, bahkan kini kian membesar dengan hadirnya revolusi teknologi informatika, terutama internet. Kalau kita tidak siap menghadapi maka jangan-jangan keberagamaan justru akan menjadi pemicu keresahan dan perpecahan masyarakat. Agama bukan memperkuat negara, melainkan malah jadi beban negara.

Kalau setiap perbedaan, lalu disikapi dengan penindasan dan ancaman, ini menunjukkan negara gagal melindungi dan mendidik warganya untuk hidup damai saling menghormati. Lebih dari itu, kalangan intelektual dan ulama berarti gagal menawarkan jalan damai bagi umatnya yang bertikai. Kesimpulan akhir bisa mengarah bahwa umat beragama, termasuk partai keagamaan, lebih disibukkan oleh percekcokan ketimbang memajukan peradaban, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat.

Slogan Bhinneka Tunggal Ika dan Islam sebagai rahmat hanya berhenti sebagai pernyataan verbal. Ini mesti menjadi keprihatinan kita semua, jangan sampai organisasi semacam ISIS yang merupakan urusan internal Irak dan Suriah menjalar ke Indonesia. Apa urusan kita dengan ISIS?

Pertanyaan serupa juga berlaku dengan ide mendirikan kekhalifahan, yang sesungguhnya bagi umat Islam Indonesia tidak relevan. Karena umat Islam Indonesia justru memiliki prestasi politik yang luar biasa, yaitu ikut mendirikan Republik Indonesia, bukan negara agama, bukan negara sekuler, bukan pula sistem dinasti atau khalifah sebagaimana yang masih berlaku di Timur Tengah.

Dulu di Indonesia berdiri banyak kesultanan yang kemudian bergabung masuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, isu dan agenda kekhalifahan yang diusung ISIS tidak relevan untuk gerakan Islam Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar