Jumat, 29 Januari 2016

Ratu Adil

Ratu Adil

M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 28 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika mulai terungkap ke publik pasca maraknya kasus "orang hilang", banyak orang penasaran pada Gafatar. Namanya cukup unik. Kalau terdengar di telinga mirip sekali dengan Avatar, yang pernah menyita perhatian, baik komik maupun filmnya. Tampaknya memang ada kemiripan. Avatar adalah makhluk inkarnasi yang membela kebenaran dan menjadi penyelamat. Gafatar adalah gerakan sosial yang basisnya keyakinan agama dan bicara juga soal juru selamat.

Kalau menilik namanya Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara), sepertinya tak terkoneksi dengan praktik-praktik keagamaan. Gafatar terkesan hanya sekadar ormas. Apalagi Gafatar lebih dikenal sebagai gerakan sosial. Namun, siapa nyana, belakangan ini terungkap bahwa Gafatar adalah aliran, paham, juga gerakan yang mempunyai basis ideologi agama. Lalu terungkaplah bahwa Gafatar adalah metamorfosis dari Al-Qiyadah Al-Islamiyah, yang dulu dipimpin Ahmad Musaddeq.

Masih ingat Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan Mussadeq? Al-Qiyadah Al-Islamiyah pernah bikin heboh tahun 2006 lantaran Musaddeq mengaku nabi atau mesiah (juru selamat). Pada Oktober 2007, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa aliran itu sesat karena sinkretisme tiga agama samawi (Islam, Kristen, Yahudi). Dan, Musaddeq pun diadili. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Musaddeq empat tahun penjara dengan pasal penodaan agama. Musaddeq pun dikabarkan bertobat.

Meskipun demikian, persoalan aliran kepercayaan bukan perkara mudah. Terlebih lagi menyangkut soal harapan datangnya juru selamat, atau ratu adil, atau Erucakra, atau Imam Mahdi. Mesianisme memang berkembang dalam banyak tradisi. Di Jawa, ramalan Jayabaya banyak membicarakan kedatangan ratu adil. Sosok ini dilukiskan sebagai manusia sakti yang dapat membawa perubahan. Mesianisme selalu membayangkan situasi tenteram, adil, makmur, bahan pangan dan sandang murah, moralitas tinggi, dan hidup bahagia.

Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo (1982), mesianisme tidak hanya merupakan spekulasi tentang kejadian-kejadian, tetapi juga merupakan suatu kekuatan sosial yang mendorong ke arah tindakan-tindakan untuk mengubah situasi. Perubahan dilakukan karena situasi krisis, penuh penderitaan, kelaliman, kesengsaraan, dekadensi moral, dan korupsi. Penderitaan akibat ekonomi, bencana alam, atau situasi politik, bahkan akibat teknologi yang mengalienasi manusia, dapat menyemai harapan mesianistis.

Di negeri ini zaman penjajahan, pada pertengahan abad XIX hingga awal XX, gerakan mesianisme marak di Indonesia, seiring pula gerakan revivalisme, milenarisme, nativisme. Gerakan ratu adil itu antara lain gerakan Hasan Maulani dari Lengkong (1842), gerakan Amat Ngisa dari Pekalongan (1859), gerakan Nur Hakim (1871), gerakan Dermajaya (1907). Belanda menyebut gerakan sosial itu sebagai gangguan ketenteraman (rustverstoring), huru-hara (woelingen), kerusuhan (onlusten), atau gerakan rohani (geestdrijverij). Namun sebetulnya, gerakan-gerakan tersebut juga adalah gerakan counter-elite.

Barangkali karena situasi negeri ini selalu gaduh, sumpek, dan pengap. Elite banyak yang tak bisa diteladani. Politisi saling sikut. Koruptor tak lenyap-lenyap. Ketika ketidakmampuan menghadapi keadaan, terlebih dengan dasar keyakinan agama tertentu, maka eskapisme pun menjadi solusi instan. Ketidakpuasan terhadap keadaan dapat menghidupkan harapan datangnya juru selamat atau ratu adil. Bisa jadi facilitating context seperti itu memungkinkan munculnya Gafatar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar