Minggu, 31 Januari 2016

Reposisi Golkar yang ”Terlambat”

Reposisi Golkar yang ”Terlambat”

Ari Junaedi  Doktor Ilmu Komunikasi Politik; Pengajar di Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 28 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Puncak penutupan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar di Jakarta, Senin, 25 Januari, seperti menjadi puncak klimaks dari episode panjang pergulatan yang terjadi di tubuh partai berlambang pohon beringin itu.

Betapa tidak, Golkar yang pernah menjadi partai ”penguasa” sepanjang pemerintahan Soeharto nyaris menjadi partai guram jika elite-elite yang bertikai tidak didamaikan oleh sesepuh Partai Golkar seperti BJ Habibie dan Jusuf Kalla. Ketegangan elite-elite Golkar di pusat juga berimbas ke pengurus Golkar di daerah-daerah, bahkan ikut memengaruhi hajatan pilkada serentak.

Sikap pernyataan Partai Golkar yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK juga menjadi keputusan rapimnas yang ditunggu- tunggu mengingat setelah kekalahan Prabowo Subianto- Hatta Rajasa di Pemilihan Presiden 2014 lalu, Golkar di bawah kendali Aburizal Bakrie (ARB) bersikukuh menjadi oposisi. ARB-lah yang membawa biduk Golkar terus ”menempel” Prabowo dengan Gerindra-nya bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kubu Djan Faridz, sementara Partai Amanat Nasional (PAN) sudah melabuhkan haluannya dengan menyokong Jokowi-JK.

Bisa jadi, ARB sadar dengan realitas politik setelah Kementerian Hukum dan HAM tidak mengakui secara de jure baik Golkar Munas Ancol ataupun Golkar Munas Bali. Meminjam istilah buku politik klasik Politics Among Nations karya Hans J Mogenthau (1948), upaya ARB untuk merapatkan Golkar ke barisan pendukung rezim Jokowi-JK tidak ubahnya seperti struggle for power and peace. Jika tetap ngotot dan bersikukuh mempertahankan egonya, ARB akan rugi dua kali.

Rugi akan hilangnya kendali politik di Golkar dan rugi akan hilangnya kesempatan di bisnis. ARB merasakan betul, sikap politiknya yang berseberangan dengan rezim yang berkuasa justru akan mengurangi pundi-pundi ekonominya. Padahal sudah jamak dalam kamus Partai Golkar, siapa pun yang berkuasa, Golkar akan menjadi penopang setia kekuasaan. Harus diakui, dengan merapatnya Golkar ke Jokowi-JK, kekuatan di Koalisi Merah Putih (KMP) hanya tinggal Gerindra dan PKS.

Jika pada akhirnya PKS juga ”mbalelo”, Gerindra hanya akan bersolo karier sebagai kekuatan penyeimbang terhadap Jokowi-JK. Itu pun dengan catatan nasib PPP akan mengikuti Golkar dengan pelaksanaan rapimnas bersama untuk menyatukan kedua kubu di PPP.

Terlambat

Pindahnya haluan politik Golkar dari KMP ke kelompok pendukung pemerintahan Jokowi-JK bisa dimaknai sebagai daya tawar Golkar terhadap rezim yang berkuasa untuk ”berbagi” kekuasaan. Publik tentu masih ingat dengan kasus ”Papa Minta Saham” yang hampir saja membuka borok elite-elite Golkar dan hingga kini penyelesaian kasus yang melengserkan Setya Novanto dari kursi ketua DPR di Kejaksaan Agung itu terkesan lamban. Publik tentu berharap dengan melunaknya sikap Golkar terhadap pemerintah, tidak otomatis kasus Setya Novanto berakhir damai.

Jika PAN yang sudah ”cabut” duluan dari KMP mulai mendapat porsi kekuasaan seperti Sutrisno Bachir yang sekarang didapuk menjadi ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Golkar tentu berharap dengan reposisi terbarunya. Golkar tentu ingin mendapatkan pos menteri di reshuffle jilid II yang beberapa waktu lalu mulai diembuskan beragam kalangan. Di tengah desakan PDIP yang gigih mendukung penggantian Menteri BUMN Rini Soemarno, sentimen negatif publik terhadap kinerja Kejaksaan Agung dan Kepala Badan Intelijen Negara, tentu Golkar sangat berkepentingan dengan pos-pos ”strategis” tersebut.

Dalam kalkulasi politik dan ekonomi ARB, tentu perjuangan terakhir harus terus diupayakan sebelum dia lengser dari tampuk kursi ketua umum. Harapan Golkar tentu juga tidak simetris dengan ekspektasi partai-partai pendukung Jokowi-JK sejak awal. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang berintikan PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI tentu ”tidak rela” jika kursi-kursi kekuasaan diberikan kepada penumpang yang ”terlambat” ikut.

Ibarat kendaraan bus sudah melaju kencang, Golkar adalah penumpang kesiangan yang ketinggalan tiket pula. Jika PAN diibaratkan penumpang yang terlambat, PAN cerdik menunggu di halte yang akan dilewati bus kekuasaan. Sebaliknya, Golkar adalah penumpang yang telat datang, ketinggalan tiket, serta tidak mau menunggu di halte pemberhentian pula. Reposisi sikap Partai Golkar terhadap rezim Jokowi-JK bisa dimaknai sebagai ”pertobatan” politik elite-elite Golkar terhadap kesalahan haluan politik.

Publik tentu ingat ketika ARB di masa kampanye sempat menggadang- gadang Jokowi sebagai partnernya di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Meski begitu Jokowi tidak sepakat dengan tawaran ARB yang ingin menjadi calon RI-2, maka Golkar begitu kecewa dan akhirnya mendukung mati-matian Prabowo-Hatta. Insting dan feeling politik ARB masih kalah dari politisi muda Golkar seperti Nusron Wahid dan Indra J Piliang yang sedari awal memilih berdiri di barisan Jokowi.

Sekali lagi, kalkulasi politik dan ekonomi ARB pasti bermain: ikut KMP tidak dapat apa-apa ataukah mendukung Jokowi-JK sembari berbelas harapan? Dengan berpindahnya haluan Golkar dari kelompok oposisi menjadi kubu pendukung pemerintahan, sejatinya kontrol kekuasaan menjadi tidak berimbang lagi. Dengan Demokrat yang memainkan politik cari aman dengan memilih sebagai penyeimbang, Gerindra dan PKS tidak memiliki kekuatan sepadan lagi di parlemen menghadapi kelompok KIH.

Namun harus pula dipahami, kekuatan di parlemen sangat cair, ketika kepentingan yang diperjuangkan menyangkut hajat partai dan elite, kalkulasi politik menjadi usang. Tidak ada makan siang yang gratis, demikian juga dalam politik. Dengan masuknya Golkar dalam barisan pemerintahan, mau tidak mau atau suka atau tidak suka Jokowi-JK harus memberikan akomodasi politik bagi Golkar.

Jokowi-JK tentunya harus terus diingatkan untuk tetap fokus melaksanakan janji-janji kampanyenya. Hiruk-pikuk politik yang terjadi di PPP dan Golkar sepertinya mulai ”dibereskan” pembantu-pembantu Jokowi. Kini yang tertinggal adalah bagaimana Jokowi-JK menyeimbangkan pendulum kendali kekuasaannya di koalisi yang sangat longgar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar