Sabtu, 30 Januari 2016

Teror, BUMN, Ekonomi Rakyat

Teror, BUMN, Ekonomi Rakyat

Fachry Ali ;  Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
                                                      KOMPAS, 28 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hal yang amat perlu dicatat dalam peristiwa teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada Kamis, 14 Januari, lalu adalah bangkitnya optimisme.  Tak mengherankan, berdasarkan fakta pendapat publik, judul berita utama Kompas (15 Januari) adalah ”Bangkit Bersama Melawan Terorisme”. Ini bertolak belakang dengan keresahan Verkerk Pistorius, elite Belanda pada 1869, ketika berhadapan dengan serangkaian pemberontakan agama di Sumatera Barat. ”Kita,” ujarnya dengan nada khawatir, seperti dikutip sejarawan Taufik Abdullah dalam Islam dan Masyarakat (1987), ”duduk di atas volkano pengikut Muhammad.”

Membaca karya Tb Ronny Rachman Nitibaskara, ”Bom Bunuh Diri sebagai Media” (Kompas, 16 Januari), kita mendapatkan penjelasan ”teknikal” mengapa dan apa akibat kekerasan itu. Kini, yang diperlukan adalah penjelasan fundamentalnya. Dalam pengantar buku editannya, When Men Revolt-and Why (1971), James Chowning Davies menolak pikiran bahwa demi stabilitas, tokoh-tokoh penggerak revolusi dan kekerasan harus dieliminasi. Sejak disimak Aristoteles abad ke-4 sebelum Masehi hingga Hobbes 20 abad kemudian, kita, ujarnya, kian menyadari bahwa ”civil disorders and revolution begin in the minds of men”.

Dalam konteks ”teror Thamrin” dan berbagai teror lain di mancanegara, alam pikiran yang mendasari aksi-aksi itu adalah refleksi diskrepansi tafsir terhadap Islam di alam modernisasi. Sementara lingkungan sosial-politik, budaya, dan ilmu pengetahuan serta geopolitik telah jauh membentuk realitas kehidupan baru, para pelaku teror tersebut justru masih mendasarkan tafsir padarealitas kehidupan zaman pertengahan ketika Islam dilahirkan. Alam pikiran yang terbentuk dengan metode tafsir inilah faktor pendorong aksi-aksi teror itu.

Mengingat sebagian besar pelaku teror bukan kalangan elite ekonomi, apakah ada faktor struktural yang menjelaskan aksi kekerasan itu? Pada 1985, dengan mengembangkan makalah untuk pertemuan kaum muda dunia di Jepang, saya menulis buku saku dengan judul Islam, Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural? yang diterbitkan Mizan, Bandung. Argumentasi saya, penggunaan Islam sebagai ideologi perlawanan adalah ”alat terakhir” kalangan terpinggirkan akibat dominasi struktural kapitalisme Barat atas wilayah kaya sumber daya alam Timur Tengah.

Betapa pun akar konflik agama dan politik-ekonomi Timur Tengah yang merembet ke seluruh dunia dewasa ini telah jauh lebih kompleks, argumen yang saya ajukan abad lalu itu masih meninggalkan jejak. Yaitu, pendukung ideologi kekerasan itu tetap berasal dari golongan terpinggirkan secara ekonomi dalam modernisasi dan pembangunan kapitalistik Barat. Sirnanya sosialisme-komunisme, tandingan ideologi kapitalisme Barat awal 1990-an, kian mendorong Islam, dengan metode tafsir di atas, menjadi alat perumus keresahan kalangan ini. Yang disebut Samuel Huntington sebagai benturan peradaban pada intinya adalah konflik ”pencari keadilan” berdasarkan ”tafsir atas realitas Islam abad pertengahan” dengan kapitalisme tak manusiawi abad modern.

Menyodok ”sejarah besar”

Dalam konteks sosiologi dan sejarah Indonesia, jenis tafsir semacam ini disebut sejarawan Sartono Kartodirdjo sebagai the millennial beliefs, yakni kepercayaan akan keunggulan sistem sosial-politik dan budaya masa lalu. Maka, walau realitas kehidupan sudah berubah radikal, hal ideal yang harus dilakukan adalah kembali ke masa lalu. Dalam tulisannya, Agrarian Radicalism in Java (1971), Kartodirdjo menyatakan bahwa sistem kepercayaan rumusan ulama Islam lokal itu menjadi senjata para petani Jawa abad ke-19 dan awal abad ke-20 melawan keterpinggiran dari kolonialisasi dan modernisasi Belanda. Inilah yang menjelaskan terjadinya rentetan tak berkesudahan apa yang disebutnya sebagai deep rooted rural discontent, terungkap dalam rangkaian panjang pemberontakan petani.

Walau abad telah berganti, the millenial beliefs ini bukan saja tetap efektif menggerakkan tindak kekerasan seperti kita saksikan pada ”teror Thamrin” hari ini, melainkan juga telah meningkatkan efek destruktifnya. Karena berlangsung di wilayah pinggiran, radikalisme desa Jawa masa lalu memang, tulis Kartodirdjo, tidak sampai mengganggu sejarah besar. Namun, kini, dipicu the millennial beliefs yang sama, gerakan radikal itu telah bertransformasi jadi pemberontakan massa kota.

Mirip pemberontakan massa miskin kota menjelang gerakan reformasi agama di Jerman abad ke-16, seperti dilukiskan Friedrich Engels dalam The Peasant War in Germany (1850), sifat kota gerakan ini berpengaruh signifikan. Dengan kemampuan menggunakan peralatan modern seperti bom dan teknologi informasi, efek demonstratif skala global tindakan kekerasan itulangsung menyodok sejarah besar: berpotensi merontokkan kestabilan dan corak kontestasi kekuasaan tingkat nasional, bahkan tingkat global.

Aliansi ekonomi BUMN dan rakyat

Secara teoretis, deradikalisasi gerakan teror berdasar the millennial beliefs ini bisa dilakukan dengan cara persuasif lain. Hanya saja, menyadari gerakan ini lebih dilakukan kalangan terpinggirkan secara ekonomi, maka deradikalisasi perlu juga dilakukan secara politik-ekonomi. Hal itu yakni dengan meluaskan aktivitas ekonomi yang terjangkau rakyat banyak tanpa kualifikasi pendidikan yang ketat. Jalan itu adalah ”aliansi ekonomi” badan usaha milik negara (BUMN) dengan rakyat.

Dalam kalkulasi strategis, ”aliansi” ini dimungkinkan sebab berbeda dengan sebelumnya ketika badan-badan usaha ini terpencar di bawah kontrol tiap departemen teknis atau ekonomi, sejak 16 Maret 1998 BUMN telah terkonsolidasi sebagai kekuatan ekonomi negara dalam bentuk kementerian tersendiri.

Pendirian Kementerian BUMN ini adalah tindakan politik-ekonomi terakhir Presiden Soeharto menyelamatkan perekonomian Indonesia akibat krisis finansial 1997-1998. Tanri Abeng, tokoh pendiri kementerian ini dan Menteri BUMN yang pertama, dalam bukunya, Indonesia, Inc., (2001) menulis bahwa di tengah krisis itu Indonesia praktis tanpa harapan. Depresiasi rupiah yang radikal menarik turun seluruh kinerja ekonomi nasional. Ini terjadi karena biaya impor, yang harus dibayar dengan mata uang dollar Amerika Serikat, meningkat berkali lipat.

Dengan keharusan tetap memberikan subsidi pada energi, impor komoditas ini bukan saja memeras cadangan devisa, melainkan juga mendorong inflasi. Sementara itu, juga karena depresiasi rupiah, gabungan utang luar negeri pemerintah dan swasta tiba-tiba membengkak. Maka, ujungnya adalah krisis kepercayaan pelaku-pelaku ekonomi global terhadap Indonesia karena baik pemerintah maupun usaha swasta tidak berkinerja.

Untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia inilah, Kementerian BUMN didirikan. Antara lain, lanjut Tanri Abeng, tugas kementerian ini adalah membayar utang yang membengkak, meningkatkan penerimaan negara melalui pajak dandividen, melakukan investasi menciptakan lapangan kerja, mendorong aktivitas pasar modal, dan jadi mitra pengembangan usaha kecil-menengah. Walau diakui Tanri Abeng tak semua BUMN berkinerja baik, menurut saya pendirian kementerian itu tetap menentukan dan bersejarah. Sebab, di tengah lumpuhnya sektor swasta besar, kekuatan ekonomi BUMN yang telah terkonsolidasikan di bawah satu atap itu menjadi andalan satu-satunya memelihara kepercayaan aktor-aktor global terhadap perekonomian Indonesia.

Kini, dalam posisi yang telah mapan, di bawah Menteri Rini Soemarno, BUMN berpeluang menjadi sarana deradikalisasi pandangan keagamaan. Ini, telah disebut, bisa dilakukan melalui penciptaan ”aliansi ekonomi” dengan rakyat. Jalannya adalah mendorong aktivitas ekonomi yang terjangkau penduduk kebanyakan melalui pembentukan dan mengorporatkan badan usaha milik rakyat (BUMR) di bawah koordinasi BUMN.

Seperti pernah saya kemukakan di sini (Kompas, 2 November 2015), sampai dengan 2012 saja terdapat 56.534.592 unit usaha kecil dan menengah yang bisa digabung ke dalam BUMR. Usaha ini berpotensi melahirkan aktivitas ekonomi raksasa sebab secara keseluruhan, ujar Tanri Abeng, dalam bukunya BUMR: Badan Usaha Milik Rakyat (2015), gabungan usaha kecil dan menengah ini menyerap tenaga kerja sebesar 107.657.509 atau 97,2 persen dari seluruh angkatan kerja.

Dalam konteks Kementerian BUMN sendiri, ”aliansi” ini akan membuatnya mempunyai ”kaki sosial-ekonomi” di lapisan terbawah. Dalam konteks rakyat, melalui kemampuan know how aktor-aktor BUMN, ”aliansi” ini tanpa preseden mendorong pemberdayaan massif ekonomi rakyat. Akan tetapi, di atas semua itu, di samping memperhatikan secara kreatif kritik Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri baru-baru ini, ”aliansi” tersebut adalah sarana efektif bagi deradikalisasi paham-paham keagamaan. Mengapa? Fakta bahwa 10 persen penduduk mengontrol 77 persen kekayaan Indonesia dan 1 persen penduduk mengontrol 50 persen kekayaan nasional (The Jakarta Post, 11 Desember 2015) adalah ketimpangan pendapatan paling akut pasca reformasi.

Semua ini berpotensi menciptakan alienasi dan hilangnya harapan rakyat jelata akan perbaikan ekonomi di masa kini dan mendatang. Seperti telah dinyatakan di atas, alienasi dan kehampaan inilah yang mengawetkan the millennial beliefs yang telah mendorong aksi-aksi radikal dan kekerasan atas nama agama. Dalam posisi peran konglomerat swasta belum bisa diharapkan dengan segera, aksi ”aliansi ekonomi” antara BUMN dan rakyat ini secara tidak langsung bisa menjadi sarana deradikalisasi paham-paham keagamaan yang berlangsung dewasa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar