Senin, 29 Februari 2016

Paranoia

Paranoia

Goenawan Mohamad ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
                                                   TEMPO.CO, 29 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Odi ergo sum. Aku membenci, maka aku ada.
Di sebuah rumah yang terletak di gang yang mesum di Paris, 24 Maret 1897, seorang lelaki berumur 67 tahun tampak menulis. Kita tak tahu siapa dia. Jika kita ikuti tutur Sang Pencerita dalam novel Umberto Eco Il cimitero di Praga (Pekuburan Praha) ini, memang tak seorang pun di awal kisah ini yang "sudah dinamai".

Orang itu sendiri pun tak ingat siapa dirinya. Dua hari sebelumnya, ketika ia bangun tidur, ia tahu ia "Kapten Simonini". Tapi kemudian ia menemukan fakta-fakta lain: ia adalah Pastor Dalla Piccola, "atau orang yang dianggap bernama itu".

Ia tahu: ia "hilang ingatan". Kata ini, anehnya, justru membuatnya teringat percakapan di Chez Magny sekian tahun yang lalu. Di rumah makan itu ia berkenalan dengan sejumlah dokter, dan terutama dengan seorang dokter muda dari Austria, Sigmund Froïde. Mereka berbicara tentang kepribadian ganda dan hubungannya dengan jiwa yang mengalami trauma. Trauma ini bisa dikurangi dampaknya dengan merekonstruksi pengalaman masa lalu. Tapi Simonini tak ingin mengisahkan kembali masa lalunya di depan orang lain. Ia menulis.

Harus segera saya susulkan, ini bukan novel tentang kelainan jiwa. Il cimitero di Praga membawakan sesuatu yang lebih gelap. Kerancuan "siapa aku" dalam hidup tokohnya berkait dengan cerita di baliknya: ia adalah identitas yang berubah-ubah, selama bertahun-tahun. Ia seorang penipu—atau lebih tepat: ia seorang juru palsu yang terus-menerus menyamar.

Ia memproduksi dan menjual dokumen palsu untuk apa saja, dalam perkara warisan ataupun politik. Ia siap membuat kebohongan asalkan dibayar mahal. Pernah ia jadi agen rahasia ganda yang memperdaya kedua pihak yang bermusuhan. Untuk mempertahankan para penguasa, ia menyusup ke pelbagai gerakan politik. Ia rapi dalam melipatgandakan fitnah. Simonini mengikuti pesan: untuk menuduh seseorang, ia tak perlu cari bukti. "Lebih mudah dan lebih murah menciptakannya."

Il cimitero di Praga (versi Inggris: The Prague Cemetery) memang dimaksudkan jadi sebuah cerita tentang seorang manusia yang culas, sinis, tanpa moral. Saya membacanya dengan sedikit lelah tapi kagum: Eco begitu asyik menggambarkan detail kehidupan Eropa abad ke-19, mirip keriangan hati seorang turis yang baru mengunjungi sebuah negeri eksotis. Ada liku-liku kota dan racikan kuliner, ada skandal politik dan roman picisan. Hasilnya: sebuah novel semi-dokumenter. Kecuali Simonini, semua tokohnya, termasuk Freud yang dieja jadi Froïde, muncul dari sejarah.

Tapi justru karena itu apa yang gelap dalam novel yang datar ini jadi terasa kian gelap. Motif yang menggerakkannya kebencian. Eco mempertajamnya dengan menjadikan kebencian itu bagian utama watak Simonini. Si Italia blasteran ini membenci siapa saja—orang Italia, Jerman, Prancis, muslim ("Saracen"), padri Jesuit, pengikut Freemasons, Martin Luther, dan tentu saja orang Yahudi. "Aku bermimpi tentang orang Yahudi tiap malam selama bertahun-tahun," tulisnya. Dalam dokumen palsu yang kemudian terkenal ia sebut pekuburan tua orang Yahudi di Kota Praha, sebuah tempat angker di ibu kota Cek itu, sebagai tempat utusan 12 suku Bani Israel menyusun "Protokol Para Sesepuh Zion", sebuah agenda "menaklukkan dunia".

Novel tentang pelbagai kepalsuan ini memang sedikit melebih-lebihkan. Tapi di balik kata-kata Simonini tergambar purbasangka yang terpendam lama dalam masyarakat Eropa—purbasangka yang jadi sumbu api kekerasan di abad ke-19, Naziisme dan Holocaust di abad ke-20, sikap anti-Islam dan kaum imigran di abad ke-21.

Pada 20 Februari yang lalu Eco meninggal. Novel terakhirnya ini mungkin warisannya yang tepat waktu: sebuah cerita tentang abad ke-19 yang menjelaskan bau busuk hari ini. Seperti dahulu, kebencian, juga kebencian sosial, tetap jadi unsur utama pengukuhan identitas, pembentukan "aku". Jika saya membenci seseorang, kata Simonini, ada sesuatu yang hadir dalam diri saya. Diri saya tak kosong lagi. Odi ergo sum.

Kebencian tentu tak sendirian. Ketika orang lain adalah oknum-oknum yang menjijikkan yang mengancam, sebuah benteng ditegakkan, menara pengawas dan bedil disiapkan. Paranoia tumbuh jadi pedoman. Dengan mata setengah terpicing karena membidik, para pembenci melihat: di luar gerbang hanya ada persekongkolan jahat yang mengepung.

Dari sini berkecamuklah "theori konspirasi", campuran khayal dengan dusta. Di dunia, juga di Indonesia, kini ia laku keras. Dusta bisa memikat, dan kepalsuan bisa mengubah sejarah, ketika orang haus akan satu kebenaran yang menjelaskan 1.000 peristiwa.

Tapi mengapa tak kita biarkan dunia tetap punya teka-teki yang penuh kebetulan? Sebuah enigma yang ganjil, namun mempesona?

Darurat

Darurat

Putu Setia ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                              KORAN TEMPO, 27 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sekarang banyak hal bisa didarurat-daruratkan. Dulu, yang paling saya takutkan adalah jika ada pesawat mendarat darurat. Terbayang orang-orang yang panik, mungkin juga korban. Kemudian darurat perang, lagi-lagi saya membayangkan bocah yang sedang main kelereng terkena bom. Tapi sekarang ada darurat yang tidak begitu membuat orang panik, meski ada korbannya. Misalnya darurat korupsi, darurat pelecehan seksual terhadap anak, darurat narkoba--tolong tambahkan yang lain.

Kamus Besar Bahasa Indonesia pada edisi paling akhir memang banyak menyebutkan arti kata darurat. Namun, pada awalnya, kata darurat itu selalu dikaitkan dengan "keadaan yang tidak disangka-sangka". Atau "keadaan yang memaksa" untuk berbuat sesuatu. Apakah korupsi, narkoba, pelecehan seksual, dan lainnya itu tidak disangka sebelumnya? Apakah itu ujug-ujug terjadi seperti gempa bumi? Bukankah itu sudah bisa diramalkan sebelumnya seperti gerhana matahari?

Jero Wacik, menteri di era Susilo Bambang Yudhoyono, divonis 4 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena menyelewengkan dana operasional menteri. Terlalu ringan, kata banyak orang. Apakah ini tergolong "darurat korupsi" yang sama sekali tak disangka-sangka? Cobalah kalau semua menteri diperiksa dana operasionalnya, apakah ada yang bersih benar? Coba periksa dana operasional gubernur atau dana operasional bupati. Bagaimana mungkin bupati yang gajinya kurang dari Rp 30 juta (lima tahun jadi Rp 1,8 miliar) bisa menghabiskan uang Rp 3 miliar untuk pemilihan kepala daerah? Uang dari neneknya?

Anggota DPR tertangkap tangan saat disuap pengusaha. Daruratkah ini? Bukankah DPR itu membahas anggaran sebagai salah satu tugasnya, dan usulan-usulan proyek bermuara dan disetujui di sini? Kalau ada pengusaha yang mengincar proyek dan pengusaha sudah "bersahabat" dengan pengelola anggaran, bukankah tinggal "bersahabat" dengan penyetuju anggaran, yakni parlemen? Dalam otak pengusaha sudah ada pikiran: "Suap DPR enggak apa, mutu proyek dikurangi, gak ada yang tahu." Anggota DPR pun berpikir: "Asal terima hati-hati, siapa yang tahu, kan banyak yang begitu." Syahdan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata menyadapnya, karena KPK berasumsi "ini bukan darurat", sudah bisa disangka sebelumnya. Yang darurat justru DPR mati-matian melemahkan KPK dengan melumpuhkan senjata penyadapan itu.

Sesuatu yang bisa diperkirakan, atau kalau kata pepatah "ada asap pasti ada api", seharusnya bisa diantisipasi sejak dini sehingga tak mudah menyebutnya sebagai sesuatu yang darurat. Banyak orang maklum pengedar dan pengguna narkoba semakin berani karena ada "orang kuat" di belakangnya. Razia narkoba pun sering bocor. Nah, ketika aparat TNI bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) menggerebek narkoba di perumahan elite Kostrad, ternyata betul ada sejumlah tentara dan polisi dibekuk--ditambah anggota DPR. Harus dipuji pimpinan TNI dan Polri karena berani membersihkan lembaganya. Apakah ketua DPR berani mengatakan "silakan BNN tes urine semua anggota DPR"? Pasti tidak. Mungkin ide itu bisa dianggap penghinaan oleh wakil ketua DPR yang "mudah panas". Padahal cuma antisipasi.

Kita harus mulai berpikir ke arah "semua orang bisa disangka" jika terlihat sesuatu yang tidak wajar. Teknik pembuktian terbalik seharusnya bisa diberlakukan jika kita ingin konsisten memberantas korupsi. Penyadapan oleh KPK harus tetap dipertahankan. BNN harus berani merazia semua tempat yang rentan jadi sarang narkoba. Tak ada yang darurat, semuanya harus terencana.

Blur

Blur

Arswendo Atmowiloto ;   Budayawan
                                            KORAN JAKARTA, 27 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kadang terasa, suatu kata itu menjelaskan dirinya sendiri, dan menemukan jalannya untuk menjadi popular. Blur contohnya. Kata itu mengandung makna kabur, remang-remang, bluret atau blurred, menjadikan kabur. Kabur pada seluruh atau sebagian. Istilah yang juga digunakan di dunia fotografi. Misalnya gambar menjadi tidak fokus ketika kamera bergerak, panning, atau membidik dekat, zoom. Bisa dilakukan secara sengaja, memblur bagian depan atau belakang suatu obyek, dengan tujuan mempertegas bagian yang lain.

Kini kata blur menjadi lebih popular lagi. Terutama karena kini banyak gambar atau foto yang diblur. Misalnya gambar atau foto yang dinilai terlalu sensual. Bagian yang seksi itulah yang disamarkan. Menjadi tidak jelas itu gambar apa. Dan karena blurnya asal menutupi, menjadi kontras dan karenanya menarik perhatian.

Makin diperbincangkan terus dan diucapkan karena saat ini banyak sekali tayangan di televisi yang diblur. Awalnya hanya terbatas hal yang betulbetul mengganggu—misalnya adegan yang memperlihatkan orang tengah merokok. Atau norma-norma kekerasan. Tapi kemudian ketika dikaitkan dengan masalah sensualitas men jadi berbeda. Karena kini bukan hanya pemilihan ratu kecantikan—yang bahkan pakai kebaya pun kena blur bagian belahan dada,melainkan juga adegan dalam jenis kartun. Tokoh kartun dalam adegan di laut—atau pantai, kena blur karena memakai celana renang misalnya. Sedemikian banyaknya blur ini sehingga saya bertanya-tanya apakah yang dipermasalahkan ini benar-benar terjadi, atau bahan meme, gambar lucu untuk mengolok-olok.

Misalnya saja adegan anak kecil belajar memerah sapi yang diblur. Apakah ini sungguh-sungguh terjadi? Kalau benar sungguh banyak pertanyaan yang bisa dimajukan. Kalau tidak betul-betul terjadi, berarti memasuki wilayah mentertawakan yang bisa menyakitkan. Seperti yang menurut saya benar-benar cara mengolok-olok diri sendiri, bahwa gambar pentil ban mobil diblur. Persis seperti gambar adanya taufan besar, dengan tulisan dan tanda blur. Pentil ban dan puting adalah nama jenis yang kurang lebih sama artinya. Dan karena nama itu dianggap vulgar, atau kasar, makanya perlu diblur.

Tak bisa dielakkan bahwa rajinnya menyensor dengan memblur ini terkait dengan maraknya menghindarkan promosi besar yang dilakukan komunitas LGBT. Komunitas atau kelompok yang terdiri dari kaum lesbi, pecinta sesama jenis kaum perempuan, gay, pencinta sesama jenis kaum lelaki, atau biseks, bisa berhubungan intim dengan sesama atau lawan jenis, atau trangender, mereka yang mengubah jenis kelaminnya, biasanya dari lelaki menjadi perempuan.

Pembahasan dan atau penolakan terhadap LGBT memang sedang meluap, dan itu sebenarnya ada benarnya, namun pendekatan atau cara-cara yang terlihat menyudutkan kelompok tertentu. Misalnya saja untuk menghindarkan pengaruh pada penonton televisi, maka dilaranglah tampilan “lelaki berpenampilan wanita”. Satu istilah ini sudah membuat ruwet rumusan yang pada akhirnya memerlukan banyak sekali penjelasan. Dan sedemikian penjelasan akan makin membuat tidak jelas, dan karenanya tidak operasional. Itulah sebabnya tampilan “lelaki seperti perempuan” bisa dari segi pakaian, cara berjalan, cara berkata, dan sebagainya. Yang menimbulkan pertanyaan lain : bagaimana nasib seni tradisional seperti ludruk, atau bahkan wayang orang misalnya? Apakah termasuk yang kena blur?

Dengan kata lain kita masuk ke dalam putaran pendekatan yang harus bisa dilakukan dengan lebih jernih dan lebih fasih. Dan ini berarti juga gaduh yang riuh yang sebenarnya mengingatkan agar tak bergeser terlalu jauh, menjadi konfrontatif.

Di tengah berbagai kemungkinan itu, masih juga kita dengar lelucon. Bahwa sebenarnya yang perlu kena blur bukan gambar atau foto yang merangsang, yang sadis saja, melainkan juga gambar mantan. Karena mantan juga termasuk menganggu.

Kita tertawa, tapi itu tak menyembunyikan perih. Juga luka dalam kok makin munikasi yang perlu ditata. Agar tidak makin blur di antara kita.

Wanita Cantik Bernama Umberto Eco

Wanita Cantik Bernama Umberto Eco

Bre Redana ;   Penulis Kolom “CATATAN MINGGU” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dengan meninggalnya Umberto Eco (1932-2016), yang saya bayangkan adalah nasib era perbukuan. Selain filosof, ahli semiotik, novelis, siapa lagikah pencinta sekaligus kolektor buku sekaliber almarhum? Mudah-mudahan, bagi yang menempatkan "buku sebagai agama", seperti diungkapkan Jean-Philippe de Tonnac dalam percakapannya dengan Jean-Claude Carriere dan Umberto Eco: This is Not the End of the Book.

Pada buku yang terbit pertama tahun 2009 itu, De Tonnac melakukan wawancara luas dan mendalam dengan subyek khusus buku terhadap keduanya, yang merupakan kolektor buku-buku langka dan dianggap punya pengalaman khusus terhadap buku. Melalui keduanya hendak diungkap kodrat buku sejak ditemukannya manuskrip pertama pada sekitar abad ke-11 SM atau jauh sebelumnya lagi, sejak ditemukannya gulungan papirus.

Khusus menyangkut Eco, ia adalah kolektor buku amat langka, terutama buku-buku yang berhubungan dengan kekeliruan manusia, kesalahan, kepalsuan, keanehan, serta ilmu-ilmu supranatural. Melalui kekeliruan dan kedunguan manusia itulah ia coba menciptakan teori tentang kebenaran alias truth.

"Saya terpesona dengan kekeliruan (error), kesyirikan (bad faith), dan kesintingan (idiocy)," ungkap Eco.

Koleksinya termasuk "incunabula"-sebutan untuk buku-buku yang lahir pada seputar ditemukannya mesin cetak sekitar abad ke-15. Eco menceritakan rumahnya di Milan. Ia bertetangga dengan orang yang seperti dirinya, memiliki perpustakaan buku-buku langka. Mereka pernah saling mencocokkan untuk memperlihatkan kelangkaan koleksi masing-masing. Ternyata keduanya sama-sama memiliki buku sangat langka dan dianggap terindah di dunia, Hypnerotomachia Poliphili. Kopi ketiga buku itu dimiliki perpustakaan terkenal di Italia, Castello Sforzesco, yang kebetulan letaknya di sudut jalan dekat rumah Eco.

"Kami tertawa," kata Eco. "Ternyata kawasan kecil tempat kami tinggal merupakan konsentrasi tertinggi Hypnerotomachia di jagat."

Hubungan Eco dengan dunia buku tecermin dalam seluruh karyanya, baik berupa esai, artikel, maupun novel. Semuanya sangat ensiklopedik. Ingat novel The Name of the Rose, yang disebut para pemikir sebagai bagian dari gagrag anyar post-modernisme. Sejarah buku dihidupkan di situ, sampai kemudian bagaimana sivilisasi terbentuk.

Atau The Island of the Day Before, yang diakui Eco mendapatkan inspirasinya dari diabaikannya puisi-puisi Barok pada paruh pertama abad ke-20 dalam kurikulum pendidikan di Italia. Begitupun The Limits of Interpretation. Buku ini berhubungan dengan kegandrungan Eco terhadap dunia gadungan dan kepalsuan. Belum lagi kalau kita simak On Beauty, On Ugliness, On Literature, dan lain-lain. Mustahil buku-buku tersebut lahir tanpa dukungan perpustakaan raksasa.

Keluasan referensi dalam seluruh karya Eco, termasuk masuknya mitologi-mitologi, kadang membuat novel-novel Eco tidak gampang diikuti. Untuk hal ini, Eco mengaku pernah ditanya seorang pembaca, bagaimana novel-novelnya yang sulit dimengerti bisa menjadi buku laris di dunia dan dicintai banyak orang. Pertanyaan ini membuatnya kesal. Ia menyebut, itu sama saja pertanyaan terhadap wanita cantik, mengapa semua lelaki jatuh cinta klepek-klepek terhadapnya.

Saya sendiri pernah berbincang dengan konsul Italia yang riang di Bali mengenai karya-karya Eco. Saya katakan kepadanya, terus terang saya sering kesulitan mengikuti novel Eco. Sambil tertawa, sang konsul memberi tips: Jangan terlalu serius. Ikutilah seperti Anda mendengar legenda atau ketika Anda nonton wayang.

Seketika saya tersadar pada tradisi yang menghidupi berbagai kelompok kebudayaan. Ya, saya sering mendengar siaran wayang kulit semalam suntuk, sembari terkantuk-kantuk, timbul tenggelam antara tidur dan jaga.

Begitulah saya menikmati karya-karya Eco sekarang. Buku-bukunya saya baca berulang-ulang, seperti menikmati wayang. Sebagaimana wanita cantik, ditengok berulang kali, selalu muncul sudut-sudutnya yang memesona.

Saudaraku

Saudaraku

Jean Couteau ;   Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aku sudah berkali-kali berpapasan dengan mangku (pinandita) dari pura desaku. Aku memang kerap melihatnya melangkah pincang, dengan tubuh ringkih, udeng (destar) putih melingkar di kepala, di jalan-jalan di seputar desa. Setiap berpapasan dengan aku, senyuman halus selalu menyinari kerutan wajahnya.

Bagi dia, aku "tamu" dari lembah desa "sana", penghuni rumah pinggir sungai di dekat tugu si "duwe berambut panjang" yang konon ditakut-takuti anak-anak sedesa. Jadi wajahku sudah menjadi bagian dari dunianya-termasuk dunia pertanyaannya. Sedangkan bagiku, tampilan serba putihnya serta perannya sebagai penyedia air suci menyiratkan kemungkinan suatu iman yang berbeda. Berbeda, tetapi, harapanku, tetap "sama".

Aku tak dapat menutupi keherananku ketika, pada suatu hari, aku tiba-tiba melihat Pak Mangku itu tampil di ambang pintu rumahku, dipapah oleh dua pemuda desa. Mereka telah membantunya turun, terpincang-pincang menuruni ke-50 tangga menuju rumah lembahku yang rimbun itu.

"Pak Mangku ingin berbicara dengan Bapak," kata mereka. Rada kikuk melihatnya di sini, aku mengajak dia masuk, dan duduk. Lalu, suaranya berbaur gemerisik dedaunan dialun angin, dia membuka hatinya. "Pak Kadek," ujarnya memanggil dengan julukan Baliku, "Saya berharap Bapak bisa memenuhi harapan saya. Lihatlah saya ini! Sudah reot. Saya sudah 'metirta yatra' di pura-pura kedalaman hutan dan puncak bukit se-Bali, yang dewa dan bataranya semua saya haturkan persembahan saya. Percuma! Bahkan saya sudah ke Banyuwangi, meminta piwulang dari 'orang tua' bijak negeri itu. Saya mempelajari beberapa baca ayat sucinya. Tetapi saya terus gagal, Pak Kadek. Hingga kini, saya belum berhasil menunggalkan keempat saudara saya."

Dia terus menatapku. Aku bingung, tidak paham. Dengan gugup aku mengajaknya menghirup tehnya. Namun, dia terus mendesak: "Saya dengar bahwa Pak Kadek mempunyai banyak buku lontar. Siapa tahu di antaranya terdapat rumus yang dapat membantu saya menyatukan keempat saudara saya."

Itulah "jeda" yang aku harapkan. Aku memohon diri dan menghilang ke tengah ruang perpustakaanku. Dua menit kemudian aku keluar, setumpuk buku berhuruf Bali di tangan. Dia membuka-bukanya sebentar, lalu menoleh sendu: "Saya tahu semua itu, Pak Kadek. Bukan itu rumus yang saya nantikan." Lalu dia melanjutkan: "Ketahuilah, Pak Kadek, ketika saya lelap tertidur, saya kerap didatangi impian yang sama. Saya berada di pantai. Lalu datanglah sebuah perahu layar putih penuh orang berpakaian putih pula yang mendekati pantai di mana saya berdiri. Kapal itu merapat di darat, lalu-selalu sama-orang-orang itu melambai-lambaikan tangan kepada diri saya. Tetapi, saya bergeming. Setelah beberapa waktu, usai lambaian tangan terakhir, mereka kembali menaiki kapalnya, dan saya, terpaku, memandang-mandang layar putih menjauh, lalu menghilang-hilang di kejauhan lautan lepas. Saya tidak tahan lagi, Pak Kadek. Saya kesepian. Tolong, bantulah saya menyatu dengan keempat saudara saya."

Tiba-tiba, di benakku, tebersit makna yang sebenarnya dari permohonan Pak Mangku itu. Yang didambakannya tiada lain ialah maut itu sendiri. Yang melambai-lambainya, di perahu layar putih yang konon selalu menjauh, ialah para leluhurnya, yang selalu datang, dan selalu gagal pula menjemputnya. Sedangkan keempat saudaranya-Catur Sanak di dalam bahasa Bali-adalah saudara kosmis, yang konon telah terlahir bersamaan dengannya sebagai janin, puluhan tahun lalu, di dalam rupa ari-arinya.

Makin gugup, saya tidak berkata apa pun. Apakah yang dia harapkan dariku, sang "tamu dari pinggir sungai", suatu rumus ke maut yang dinanti-nantikannya? Aku tidak tahu. Maka aku dengan gugup menambahkan bahwa aku masih mempunyai banyak buku lain. Kataku, bila aku menemukan "rumus" andal untuk menunggalkan keempat saudaranya, aku pasti akan memberitahukannya. Aku janji.

Dia berdiri, mengangguk-angguk, lalu memohon diri, dipapah kedua pemuda, siap menaiki ke-50 anak tangga ke dunia asalnya. Aku langsung ke kamarku, lalu roboh di tempat tidur, dikitari buku hampaku itu: "Siapa kalian, keempat saudaraku, dan di mana kalian, di kosmos yang mana, agar aku pun dapat menyatu dengan kalian, ketika bakal tiba 'saatku'. Lalu aku menangis tersedu-sedu."

Kini, Pak Mangku tiada, tetapi setiap kali aku berpapasan dengan seorang mangku yang tua, aku berpikir tentang layar putih di lautan lepas, dan tentang Kau, Pak Mangku, Saudaraku....

Revolusi Rakyat

Revolusi Rakyat

Trias Kuncahyono ;   Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 1986. Sebagai wartawan muda, memperoleh kesempatan meliput pemilu di Filipina yang ternyata berujung pada revolusi rakyat sungguh sebuah kemewahan. Apalagi inilah pengalaman pertama pergi ke luar negeri, yang tidak terbayangkan sebelumnya.


Tidak hanya sebuah kemewahan—meliput pemilu presiden di Filipina itu— tetapi juga kehormatan. Siapa sangka bahwa pemilu itu berujung revolusi. Revolusi sering diartikan sebagai perubahan radikal, transformatif. Sebagai sebuah proses sejarah, ”revolusi” menunjuk pada sebuah gerakan, sering kali dengan kekerasan, menyingkirkan rezim lama dan berakibat terjadi perubahan menyeluruh dalam institusi fundamental masyarakat (Laura Neitzel).

Setelah Revolusi Perancis pada abad ke-18, yang mendongkel monarki dan berusaha mengubah lagi masyarakat dari atas ke bawah, revolusi menjadi searti dengan perubahan radikal terhadap masa lalu. Modernitas, banyak yang meyakini, hanya dapat dicapai melalui transformasi dengan kekerasan dan total.

Banyak revolusi yang terjadi sepanjang abad ke-20, terinspirasi oleh Revolusi Rusia (1917) yang dipimpin Vladimir Lenin. Yang dilakukan Lenin didasarkan pada buah pikiran kaum Marxis yang melihat revolusi sebagai produk kekuatan sejarah yang tidak dapat ditahan, yang berpuncak pada pertarungan antara kaum borjuis dan proletar. Menurut Crane Brinton (1952), revolusi di Perancis dan Rusia diikuti perubahan politik, sosial, dan ekonomi.

Apa yang terjadi di Rusia itu menginspirasi gerakan anti kolonial dan revolusi kaum nasionalis, seperti yang dilakukan Sun Yat-sen di Tiongkok dan Ho Chi Minh di Vietnam.

Revolusi Iran (1979) menyodorkan model lain lagi. Revolusi Islam ini berusaha melakukan transformasi radikal terhadap negara dan masyarakat yang telah dicemari oleh budaya dan nilai-nilai Barat serta kehidupan sekuler. Revolusi Iran menempatkan kaum nasionalis dan nilai-nilai Islam di pusat pemerintahan dan masyarakat.

Sampai di sini terbaca ada beberapa tipe revolusi. Samuel Huntington mengklarifikasi ada empat kategori revolusi: perang internal, kudeta revolusioner, kudeta perbaikan, dan revolusi istana. Menurut Huntington, revolusi Kemal Ataturk di Turki bisa disebut sebagai kudeta revolusioner; sementara kudeta di Argentina (1955) digolongkan sebagai kudeta perbaikan

Di Turki, ”Young Turk” melakukan revisi komplet terhadap otoritas politik yang mengarah pada penumbangan Kekhalifahan Ottoman dan menggantikannya dengan mendirikan sebuah republik. Sementara itu, di Argentina, revolusi terhadap Peron bertujuan untuk mereformasi kesalahurusan Peron terhadap ekonomi dan ketidakpuasan kekuatan politik utama, yang berujung pada perlawanan terhadap eksekutif politik yang opresif.

Yang terjadi di Filipina, 30 tahun silam, rasanya berbeda lagi. Revolusi EDSA—begitu biasa disebut karena penumpukan massa terjadi di Epifanio de los Santos Avenue, jalan di Quezon City, Metro Manila—adalah revolusi rakyat. Revolusi rakyat dukungan Gereja dan militer. Revolusi tak berdarah yang mengubah wajah Filipina. Revolusi yang menumbangkan seorang diktator yang selama lebih dari dua puluh tahun menjadi penguasa tunggal di Filipina, Ferdinand Marcos, yang menjabat sebagai presiden sejak 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986.

Revolusi itu dimulai 22 Februari hingga 25 Februari 1986, Revolusi Filipina 1986, atau Revolusi Kuning (menunjuk pada warna kuning dari kaus, baju, dan rompi, juga topi yang digunakan para penentang Presiden Ferdinand Marcos). Aksi damai selama empat hari yang dilakukan oleh jutaan rakyat Filipina di Metro Manila berakhir dengan tumbangnya Presiden Ferdinand Marcos dan tampilnya Ny Corazon Aquino sebagai Presiden Filipina.

Inilah yang kemudian disebut sebagai Revolusi Kekuatan Rakyat (People Power Revolution). Kekuatan Rakyat adalah sebuah bentuk kesadaran. Kekuatan Rakyat adalah sebuah eufemisme untuk kekuasaan rakyat banyak atau lebih persisnya hukum rimba (mob rule). Kekuatan Rakyat adalah tentang perbaikan ”institusi moralitas yang tak kelihatan” (Peter Ackerman dan Jack Duvall). Dan istilah tersebut—Kekuatan Rakyat—diciptakan di Filipina untuk menggambarkan tumpahnya ke jalan-jalan rakyat yang melawan Ferdinand Marcos.

Jadi benar yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, bahwa rakyat bisa mengubah jalan negara mereka. ”Bahkan, orang yang sangat kuat sekali pun tidak dapat memerintah tanpa kerja sama dengan yang diperintah (rakyat),” kata Mahatma Gandhi.

Banyak contoh tentang hal itu. Pada tahun 1980, Gerakan Solidaritas (kaum buruh) di Polandia melakukan pemogokan untuk memaksa agar rezim komunis yang berkuasa mengizinkan berdirinya serikat buruh bebas. Ditekan oleh puluhan juta buruh, akhirnya Presiden Wojciech Jaruzelski takluk. Solidaritas menang.

Dari tahun 1985 hingga 1990, Front Demokratik Bersatu di Afrika Selatan memboikot dan mogok untuk menghancurkan bisnis yang mendukung apartheid. Gerakan mereka berhasil. Rezim apartheid tumbang. Sepanjang tahun 1989 hingga 1990, di Praha, Berlin Timur, Sofia, Ulan Bator, dan ibu-ibu kota negara yang ada di bawah pengaruh Uni Soviet terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan rakyat. Mereka menduduki tempat-tempat umum dan memaksa pemerintah menggelar pemilu. Tujuannya adalah melepaskan diri dari rezim otoritarian. Di Serbia terjadi hal yang sama. Yang terakhir, revolusi rakyat menerjang sejumlah negara di Timur Tengah.

Semua itu adalah moment of truth. Tiga puluh tahun silam, rakyat Filipina sudah bosan, muak terhadap korupsi dan ketamakan pemimpin otoritarian, Marcos. Filipina ibarat orang yang sakit: korupsi merajalela, kemiskinan menyebar, yang kaya makin kaya yang miskin semakin terkubur dalam kemiskinan, polarisasi masyarakat, instabilitas politik, dan kekecewaan di mana-mana. Ketika pemilu Marcos curang, rakyat bergerak didukung Gereja dan tentara. Saat itulah ”kebenaran” menang. Marcos tumbang.

Di sini, 30 tahun kemudian setelah Revolusi Kekuatan Rakyat di Filipina, diteriakkan ”Revolusi Mental”. Tidak tahu, sampai mana....

Sejarawan dan Novelis

Sejarawan dan Novelis

M Fauzi Sukri ;   Santri dan Peneliti di Bilik Literasi
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejarah bisa terdengar menakjubkan, tapi sering menjadi melankolia ironis bagi seorang sejarawan. Hal ini, terutama, saat yang ditulisnya adalah gerak perjuangan manusia dalam arus nasionalisme (juga anarkisme-nasionalistik) untuk membentuk negara-bangsa. Dalam esai penutup buku kajian nasionalisme mutakhirnya, Spectre of Comparison (Hantu Komparasi), Ben Anderson (2002) merefleksikan posisi seorang sejarawan dengan nada-nada yang terdengar sunyi, bahkan terkesan penuh melankoli tak heroik. Para sejarawan sudah tidak mungkin lagi menulis sejarah negara-nasional yang begitu hegemonik bagi tata-kemasyarakatan dengan heroik, tanpa mendapatkan kritik telak penuh pencibiran bahkan pengucilan. Tiap sejarawan penulis sejarah negara-bangsa sudah pasti menyadari aforisme pahit Walter Benjamin: "Tidak ada dokumen peradaban yang tak juga merupakan dokumen barbarisme."

Setelah selama 200 tahun persoalan narasi sejarah negara-bangsa tampak begitu jelas, membawa kemerdekaan dan pembebasan manusia secara kolektif. Namun, secara prinsipil, sekarang mulai menampakkan perubahan-perubahan yang mengecewakan bahkan menggetirkan nurani. Bukan hanya nilai-nilai kemanusiaan yang melandasi nasionalisme negara-bangsa mulai melangkah lebih jauh mengecam nilai-praksis kekerasan negara. Namun, kata Ben Anderson, "Sejarah-sejarah yang dibuat oleh tim negara sebagaimana dipublikasikan pada akhir senja kala abad kita [XX] tidak membangkitkan antusiasme yang cukup besar, dan bahkan tampak memancing kegelisahan tertentu."

Kegelisahan ini justru menyeruak dari dalam negara-bangsa itu sendiri yang begitu berkehendak untuk menghegemoni narasi sejarah. Di Indonesia, sejarah resmi negara sejak awal pembentukan panitianya sudah membuat kegaduhan perihal independensi dan kebebasan akademik di antara para sejarawan sendiri. Dan, rakyat Indonesia sadar, dengan sedikit saja mempelajari sejarah resmi negara Indonesia secara kritis, bahwa betapa terkadang di sana-sini penuh bolong, atau bahkan bohong, atau, setidaknya, memberikan imajinasi historis yang penuh dengan area peristiwa yang tak boleh atau bahkan terlarang ditulis dan diajarkan, termasuk perihal para pahlawan-pahlawan nasional kita yang selalu tampil necis, heroik, datar, tak berdosa. Sejarah resmi negara-bangsa sebagian besar sering tidak menarik untuk dibaca lagi, kecuali jadi mata pelajaran paksa yang membosankan, dan kecuali bagi sejarawan yang berkehendak untuk mempertimbangkannya kembali.

"Para sejarawan," kata Ben Anderson dengan nada insaf seakan ingin berkata kepada dirinya sendiri dan untuk masa depan, "sangat memahami bahwa mereka ditakdirkan untuk digantikan oleh para penerusnya yang lebih muda dan oleh aliran zaman sejarah itu sendiri. Harapan terbaik mereka untuk dikenang terletak pada kemungkinan mereka dapat meminggir diam-diam dari perkemahan Sejarah yang bergerak ke pertapaan Literatur yang diam, dengan mengikuti jejak langkah Thucydides, Tacitus, Giccon, Michelet, dan Burkhardt." Tak hanya itu, kata Ben Anderson, "dalam pertapaan tersebut, mereka akan saling bersikutan dengan, di antaranya, para novelis yang baik. Jika mereka [sejarawan] menunaikan pekerjaannya pada zaman nasionalisme, yang masih ada bersama kita, mereka menemukan bahwa mereka terjebak dalam persaingan yang berat."

/2/

Tiap negara-bangsa memang tidak kekurangan sejarawan nasionalis yang tak perlu diragukan nasionalismenya. Namun, kita kemudian sadar bahwa betapa sering tak populer dan tak lakunya karya sejarawan (resmi) nasionalis dibandingkan sastrawan (nasionalis) yang menulis novel sejarah negara-bangsa. Kita punya contoh tipikal yang sungguh ironis tak terlupakan: novel tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer sudah pasti bakal dibaca dengan antusias generasi-generasi sekarang dan mendatang daripada buku-buku sejarah resmi negara perihal sejarah perkembangan nasionalisme Indonesia. Ironisnya, Pramoedya berpuluh-puluh tahun dipenjara oleh aparat negara Indonesia sendiri.

Ironi ini berangkat dari ketaksadaran bahwa kelahiran (khususnya) novel sebagai komoditas rakyat sejak awal berangkat bersama dan saling terkait dengan arus pembentukan negara-bangsa. Seperti dikatakan Ben Anderson (2002), juga dalam Imagined Communities (2006), "Bangsa dan novel sama-sama dipicu oleh simultanitas [waktu] yang dimungkinkan oleh 'zaman yang hampa, homogen' buatan manusia... dari masyarakat yang dipahami sebagai entitas intrahistoris yang terikat. Seluruh hal ini membuka jalan bagi manusia untuk membayangkan berbagai komunitas yang luas, lintas-generasi, dan tidak dibatasi secara tajam, terdiri atas orang-orang yang kebanyakan tidak saling mengenal." Novel, sebagai salah satu bentuk sastra yang paling bisa dinikmati rakyat khususnya dalam bentuk terbitan di media cetak, mempunyai kapasitas untuk merepresentasikan subyektivitas komunal masyarakat secara sinkronik dan sekaligus menggerakkannya dalam intrahistorisnya sendiri menuju suatu masa depan (kemerdekaan) kolektif.

Dalam representasi inilah kita mendapatkan suatu konstruksi imajinatif yang membentuk negara-bangsa atau komunitas terbayang (imagined community). Dalam beberapa hal, hasil konstruksi imajinatif novel sungguh tidak ada bedanya dengan hasil konstruksi imajinatif (dalam benak pembaca) dari seorang sejarawan. Kita akhirnya hanya mewarisi dan memiliki imajinasi saja dalam benak kita. Tidak lebih. Tentu saja sejarah nasional melengkapinya dengan narasi diakronik yang berpretensi sebagai imajinasi faktual historis. Namun, dalam bentuk narasinya, konstruksi imajinatif novel sungguh jauh lebih mengungguli narasi sejarah, khususnya jika dibandingkan dengan bentuk penulisan sejarah yang kita baca sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Tak pelak lagi, secara umum, seorang novelis sejarah sering jauh lebih bebas membuat interpretasi dan merekonstruksi sejarah dengan gaya bahasa yang bisa merogoh jiwa manusia, melebihi gaya penulisan seorang sejarawan ampuh sekalipun. Dan yang terutama sering tak dimiliki sejarawan, seorang novelis bisa melampaui ironi yang ditanggung sejarawan resmi negara. Seorang novelis memiliki kebebasan yang jauh lebih besar untuk merekonstruksi para tokohnya: menjadi seorang nasionalis radikal, pembangkang bahkan penghancur masyarakat, atau seorang universalis humanis yang sudah melampaui batas-batas nasionalisme sempit, menjadi tokoh bejat tak bermoral, dan seterusnya, yang semuanya sebisa mungkin wajib meyakinkan para pembacanya. Dalam tataran tertentu, konstruksi novel bisa jauh lebih membumi dalam semesta nasionalitas (atau globalitas) daripada konstruksi seorang sejarawan resmi.

/3/

Tentu saja, sekarang para sejarawan cukup bisa menilai dan merekonstruksi sejarah bangsa Indonesia jauh lebih kritis, meski masih dibayang-bayangi adikuasa negara. Dan kita memang tidak cukup mendapatkan novel yang bisa melampaui sejarah batas nasionalitas yang begitu hegemonik mengerangkeng serat dasar narasi novel-novel (prosa) Indonesia. Barangkali, para prosais juga ikut semacam terjebak dalam ironi yang sama seperti sejarawan: tuntutan sastra yang berpijak di bumi Indonesia. Kita memang sudah memasuki pascanasionalisme, atau "pasca-Indonesia" meminjam Romo Mangunwijaya yang juga merekonstruksi hal tersebut dalam novelnya, tapi bukan berarti negara-bangsa sudah mendekati ajal yang pasti. Serat dasar konstruksi prosa di masa depan masih bakal dianggit dari dasar nasionalitas baik secara jelas atau samar-samar.

Namun, yang tampaknya masih tetap, seperti ramalan Ben Anderson, para prosais bisa jauh lebih imajinatif dan kritis, jika dibandingkan konstruksi para sejarawan negara. Barangkali seharusnya tanpa begitu terbebani aforisme pahit Walter Benjamin, kecuali ironi itu sendiri yang dijadikan serat dasar prosa.

KK

KK

Samuel Mulia ;   Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari Minggu lalu, saya membereskan rumah beserta berkas-berkas di dalam lemari, termasuk KK alias kartu keluarga. Saat memegang kartu itu, saya menyimak nama-nama yang tertera di dalamnya, dan tiba-tiba ada perasaan rindu yang muncul.

"Sense of urgency"

Melihat nama-nama yang sekarang ini telah hilang dari hidup saya menimbulkan perasaan yang sukar diungkapkan. Ayah dan ibu meninggal dunia, sementara kakak dan adik 'menghilang' karena tinggal di belahan dunia lain. Kemudian perasaan rindu makin menjadi-jadi dan pikiran melayang ke masa kami masih sebuah keluarga dengan anggotanya yang utuh.

Beberapa jam setelah acara beres-beres itu, saya menerima sebuah kiriman foto di salah satu grup pertemanan. Foto itu menunjukkan salah seorang anggota grup pertemanan itu yang tengah berlibur bersama ibu, adik, serta kakaknya. Entah mengapa, sambil masih memperhatikan foto itu, tiba-tiba timbul rasa iri hati.

Iri hati itu muncul karena dalam keluarga kami, liburan bersama setelah kami dewasa tak pernah terjadi. Ada perasaan bahwa orangtua saya, dan saya sebagai anak, tak terlalu peduli akan hal-hal sederhana yang justru melahirkan ikatan batin itu.

Saya ini berpikir, kalau anak-anak sudah menjadi dewasa, itu berarti hidup dengan caranya masing-masing, sehingga kedua belah pihak, baik orangtua maupun anak yang juga menjelang tua, tak pernah merasa penting memupuk ikatan dalam bentuk liburan bersama.

Harus diakui kumpul-kumpul semacam itu sedari dulu tampaknya bukan menjadi kesenangan ayah sebagai kepala keluarga dan penentu kebijakan, sehingga mungkin tanpa ia sadari, ia tak pernah menumbuhkan kebiasaan itu pada anggota keluarga.

Sudah lama, lama sekali saya tak berjumpa dengan kakak dan adik yang tinggal di negeri seberang. Anda pikir dengan teknologi canggih, kami menjadi lebih dekat? Tidak sama sekali. Saya sendiri jarang diserang perasaan rindu pada mereka.

Ketidakhadiran perasaan rindu bukan karena kami tidak saling menyayangi, tetapi karena sense of urgency untuk bersilaturahim telah dibuat nol sejak lama. Mungkin orangtua saya sejujurnya takut, kalau ikatan itu terlalu erat, maka perasaan kehilangan, kalau hal itu terjadi di suatu hari, akan menjadi begitu dalamnya. Mungkin.

Aku sayang kamu

"Bapakku yaaa... ngono, Bro. Podooo.. Tapi, kan, kita sekarang jadi anak yang mandiri, kita jadi bisa belajar jangan melakukan hal yang sama seperti bapak kita. Ya enggak, sih?" Itu komentar teman saya saat saya curhat soal iri hati itu.

Kemudian seperti biasa otak mulai berpikir. Apa benar kemandirian seseorang itu terjadi karena ia mendapat perlakuan dan pengalaman yang 'keras'? Apakah kemandirian seseorang tak bisa diwujudkan dengan kasih sayang yang nyata?

Melakukan gerak tubuh dan air muka yang menyenangkan saat berbicara, mengucapkan kata dengan ekspresi hati yang benar mengasihi, menyediakan waktu hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul, atau memperlakukan sesamanya dengan lebih manusiawi, misalnya.

Sering saya mendengar ucapan macam begini. "Dia itu galak, tidak romantis, kelihatan seperti tak peduli, tapi sebetulnya dia itu sayang sama kamu. Dia itu hatinya baik kok, hanya saja cara mengekspresikannya memang tidak lazim. Bentuk sayangnya memang berbeda."

Benarkah demikian? Bagaimana yang galak, yang tidak romantis, yang tak peduli, mampu menghasilkan perilaku yang menunjukkan kasih? Bukankah katanya apa yang dilihat oleh kasatmata, itu merupakan hasil dari kondisi hati dan jiwa seseorang?

Sekitar dua minggu lalu teman baik saya dihadapkan dengan kepergian tiga orang yang dekat dengannya. Setelah kejadian itu, ia mengirimkan pesan ke grup pertemanan kami. "I experienced three deaths in my close circle this week. Life is impermanent. I learned that in the end it is how much love you have for life and others that matter. Let's live and love. I'm grateful to have all of you in my life."

Ia mengekspresikan rasa cintanya kepada kami teman-temannya. Ia tak mau kehilangan kesempatan untuk menyatakan perasaannya. Maka hari ini, setelah Anda membaca tulisan ini, seperti teman saya itu, katakan dan tunjukkan kasih Anda kepada sesama.

Tak perlu merasa gengsi dan takut jika itu Anda pikir akan membuat rasa kehilangan begitu dalamnya kalau suatu hari itu terjadi. Tidakkah lebih baik merasakan kehilangan yang dalam, tetapi Anda tak menyesal sudah membuat orang merasa bahagia karena dikasihi?

Gengsi dan takut itu adalah bentuk bara yang panas, yang membuang kesempatan untuk Anda menjadi air dingin berupa kasih kepada orang yang mungkin Anda sendiri tak tahu, kalau mereka sedang membutuhkan.

Gengsi, takut, tidak peduli, kelihatan galak, itu akan menyia-nyiakan Anda menuai hasil yang indah bila waktunya tiba. Kalau Anda masih belum mampu karena selama ini tak terbiasa mengekspresikan kasih Anda, maka latihlah mengingatkan nama-nama yang tertera di dalam kartu keluarga. Jadikan mereka tempat latihan Anda.

Ingat, kartu keluarga itu bukan sembarang kartu. Ia sebuah kartu yang menghidupkan kasih bagi sesamanya. Hari ini saya mau mengatakan kalau saya sayang Anda semua!