Senin, 15 Februari 2016

Butuh Apa Pengin?

Butuh Apa Pengin?

Samuel Mulia  ;   Penulis Kolom “PARODI’ Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 14 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Waktu saya masih muda belia, belum punya pacar, maka menunggu waktunya bisa pacaran selalu dinanti-nantikan kedatangannya. Bobot penantiannya lebih besar daripada kalau sedang menanti datangnya ulang tahun. Entah kenapa, saya sendiri juga tak tahu.

Jomblo

Hidup bergulir tanpa bisa dihentikan dan dijalani dengan ritme yang naik dan turun, diisi dengan kerja tanpa henti, bepergian dari ujung dunia yang satu ke ujung dunia yang lain, kemudian penantian datangnya kekasih hati pun berubah. Dari menanti dengan penuh sukacita dan harapan, menjadi sebuah penantian yang melarakan hati.

Harapan yang dahulu begitu diyakini akan menjadi kenyataan, menjadi pupus, dan sekarang sirna sama sekali. Jadi, kalau dihitung dengan kalkulator, saya sudah menjadi jomblo sepanjang hidup. Kalau sedang dalam keadaan lara seperti itu, bermunculanlah sejuta tanya di dalam hati.

Mengapa perjalanan asmara saya begitu kerontangnya? Apa yang keliru dari hidup saya? Kalau manusia diberikan rasa cinta dan katanya akan berpasangan, mengapa tidak terjadi pada diri saya? Ada sejuta komentar dari teman-teman dan satu komentar yang membuat saya gelagapan. ”Elo butuh atau elo cuma pengin punya doang?”

Kata mereka, yang pengin doang dan yang butuh itu bukan persoalan salah benar, bukan juga persoalan yang satu bermutu dan yang satu lagi tidak, melainkan masalah dalam perbedaan eksekusi dan risiko yang akan dihadapi.

Saya kembali pulang dengan hati terbeban. Awalnya, saya pikir akan punya solusi yang membuat kepala menjadi lebih ringan dari memikirkan pertanyaan yang sudah bercokol belasan tahun lamanya di kepala. Ternyata, saya keliru.

Maka, saya mulai bertanya kepada diri sendiri berulang-ulang kali mirip bunyi tokek. Butuh apa pengin, butuh apa pengin, butuh apa pengin. Sampai saya berpikir, kok tiba-tiba jadi begitu sulit sekali mengartikan kata butuh danpengin.

Butuh rumah besar atau pengin rumah besar? Butuh liburan atau pengin liburan? Butuh punya anak atau penginpunya anak? Butuh kondang ataupengin kondang? Butuh sehat atau pengin sehat? Butuh punya usaha sendiri atau pengin doang? Butuh jadi haters atau pengin jadi haters?

Tokek

Maka, selama empat hari saya seperti tokek dan berakhir dalam kebingungan. Maka, saya mencoba mengurangi kebingungan dengan membaca kamus bahasa Indonesia untuk mengerti apa sih sebetulnya perbedaan butuh dan ingin itu.

Apakah butuh itu? Menurut kamus bahasa Indonesia, artinya sangat memerlukan. Dan perlu itu diartikan sebagai berguna, penting. Sementara pengin atau ingin diartikan sebagai berhasrat, mau, tidak dijelaskan apakah itu mengandung sesuatu yang penting atau berguna.

Setelah itu saya mulai mencoba sekali lagi menjadi tokek. Butuh atau pengin, butuh atau pengin, butuh atau pengin. Kadang sesekali menjadi seperti tokek itu cukup membantu menyetrum kepekaan dan kejujuran.

Setelah menjalani kehidupan yang sendiri dan kesepian yang sangat dan lama dan menjadi terbiasa dengan keadaan itu, saya hanya memiliki keinginan memiliki pasangan hidup. Saya tak bisa melihat apakah guna dan manfaatnya. Tanpa bermaksud pongah, selama sekian puluh tahun saya mengurus semua kebutuhan hidup nyaris hanya dengan diri sendiri saja.

Bahkan, ketika harus menjalani transplantasi ginjal yang membuat saya begitu dekat dengan kematian, saya hanya ditemani satu sahabat dan sopir. Sisanya, saya harus berjuang sendiri. Kadang saya berpikir, apa pentingnya kekerasan hidup itu kalau pada akhirnya ia sampai mampu mengurangi kepekaan manusiawi dan mampu mengubah yang manusiawi itu menjadi batu?

Belakangan rasa ingin memiliki pasangan itu bertambah intens datangnya. Saya tidak tahu apakah butuh itu adalah lahir dari rasa ingin yang bertubi-tubi sehingga mampu melahirkan perasaan sangat memerlukan. Dan kalau saya sangat memerlukan, pertanyaan berikutnya adalah apa yang saya perlukan dari berpasangan?

Sampai tulisan ini berakhir, sejujurnya saya tidak tahu kebutuhan yang utama untuk berpasangan? Mungkin saya mengalami kekeringan yang panjang, berjuang sendiri, mengalami ketakutan dan kesepian yang begitu dalam dan lamanya sampai saya tak lagi bisa merasakan kebutuhan berpasangan itu letaknya di mana, kecuali mau bermain cinta tanpa merasa berdosa dan ingin memiliki keturunan?

Saya sampai berpikir apakah perceraian atau perselingkuhan sejujurnya adalah sebuah bentuk dari kebutuhan yang tidak diketahui seseorang dan tetap dieksekusi dalam sebuah hubungan karena sejuta alasan, yang mungkin juga, alasan itu tidak disetujui hatinya?

Sungguh saya tak tahu. Yang jelas saya tahu, kekeringan yang berkepanjangan dalam kasus saya ini hanya mampu melahirkan perasaan ingin untuk tidak kering dan bukan butuh untuk tidak kering. Maka, seyogianya, saya tidak perlu mengeluh. La wong apa gunanya mengeluh kalau saya sendiri tidak tahu kebutuhan mengeluhnya itu di mana. Ya, enggak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar