Rabu, 17 Februari 2016

Darurat Ketimpangan Ekonomi

Darurat Ketimpangan Ekonomi

Mohamad Sohibul Iman  ;  Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
                                                     KOMPAS, 16 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di suatu pagi tahun 1921, Sukarno muda-yang saat itu masih kuliah-tiba-tiba ingin berkeliling naik sepeda menyusuri daerah selatan Kota Bandung. Dalam perjalanannya, Proklamator itu bertemu dengan seorang petani.

Terjadilah dialog antara keduanya, seperti tertuang dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat-nya Cindy Adams.

"Siapa pemilik tanah ini?" tanya Bung Karno. "Saya Tuan," jawab petani. "Apakah kau miliki ini bersama-sama dengan orang lain?" "Tidak Tuan. Saya memilikinya sendiri." "Apakah kau membelinya?" "Tidak Tuan, saya dapatkan dari warisan orang- tua." "Hasil pertanianmu untuk siapa?" "Untuk saya Tuan."

"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?" Dengan mengangkat bahu sebagai tanda kecewa, sang petani menjawab, "Bagaimana mungkin sawah yang begini sempit lahannya bisa mencukupi kebutuhan istri dan empat orang anak?" Di akhir dialog, Bung Karno menanyakan siapa namanya, kemudian dijawab, "Marhaen!" Sejak saat itulah Bung Karno menjadikan Marhaenisme sebagai ideologi perjuangannya.

Cerita tentang Marhaen ternyata masih relevan dengan kondisi kekinian. Jika saja Bung Karno masih hidup, mungkin wajahnya murung meratapi nasib rakyatnya yang masih dalam kubangan kemiskinan meski sudah 70 tahun merdeka. Yang cukup menyedihkan, ketimpangan ekonomi justru kian menjadi-jadi.

Coba kita lihat bagaimana indeks ketimpangan distribusi pendapatan melaju pesat. Di tahun 2000, rasio gini kita masih di angka 0,30, tetapi pada 2014 sudah menembus 0,41. Di daerah perkotaan, rasio gini bahkan mencapai 0,47. Secara khusus Bank Dunia pada 2015 mencatat laju peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia termasuk paling tinggi di Asia Timur.

Dalam hal distribusi aset lebih memprihatinkan. Rasio gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72. Angka ini lebih tinggi daripada rasio gini pendapatan. Badan Pertanahan Nasional bahkan mencatat, 56 persen aset berupa tanah, properti, dan perkebunan hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 persen penduduk. Ironis!

Agenda nasional

Mengatasi darurat ketimpangan ekonomi harus jadi agenda nasional. Pemerintah dan seluruh elite negeri ini tidak boleh menutup mata. Ketimpangan ekonomi yang kronis akan jadi faktor pendorong revolusi sosial, politik, dan krisis ekonomi.

Kita harus belajar dari krisis Musim Semi Arab di Timur Tengah dan krisis keuangan global 2008. Kedua peristiwa itu contoh gagalnya negara-negara mengatasi ketimpangan ekonomi.

Ketimpangan ekonomi juga pemicu meledaknya krisis keuangan global terburuk dalam sejarah perekonomian dunia pasca depresi besar 1930. Adalah Raghuram Rajan dari Universitas Chicago dan mantan Kepala Ekonom IMF yang pertama kali mengutarakan analisis tajamnya bahwa krisis keuangan global 2008 dipicu tingginya ketimpangan ekonomi di AS. Ketimpangan ini mendorong Pemerintah AS bersama Kongres, Bank Sentral AS, lembaga rating, dan bankir investasi secara gegabah berbondong-bondong menawarkan skema investasi properti berupa subprime mortgage, yang ternyata jadi bom waktu jatuhnya pasar keuangan AS dan negara maju lainnya.

Senada dengan Rajan, Joseph Stiglitz, ekonom peraih Nobel Ekonomi dari Universitas Columbia, menggarisbawahi bahwa ketimpangan ekonomi tak hanya merusak sistem keuangan AS dan negara maju, juga melumpuhkan institusi-institusi demokrasi, seperti partai politik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Darurat ketimpangan ekonomi menyebabkan demokrasi dibajak oleh kaum oligarki. Mereka akan membuat kebijakan yang hanya menguntungkan dan melanggengkan kekuasaan serta kepentingan ekonomi mereka dan kroni-kroninya. Selain itu, tingginya ketimpangan ekonomi akan menyebabkan masyarakat mengalami ketidakpercayaan baik secara vertikal maupun horizontal. Ada kecemburuan antarsesama dan kemarahan kepada elitenya karena telah menyuguhkan dunia yang timpang. Di saat yang sama, masyarakat yang terbelah akan mengancam kohesi sosial dan menghancurkan sendi-sendi bangunan kepercayaan sebuah negara-bangsa. Sebab, darurat ketimpangan akan menciptakan darurat rasa ketidakadilan.

Transformasi struktural

Ketimpangan ekonomi yang terjadi di republik ini adalah masalah struktural. Ini buah dari kebijakan negara yang salah arah. Perlu ada transformasi struktural untuk memperbaikinya.

Transformasi struktural adalah kebijakan keberpihakan dari negara untuk menciptakan struktur perekonomian yang memberikan rasa keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan tersebut tecermin dari empat hal: distribusi pendapatan, kekayaan/aset, kesempatan, dan kewilayahan yang berkeadilan.

Siapa yang harus memulai terlebih dulu? Pemerintah!

Kebijakan redistribusi aset seperti reforma agraria harus tegas memihak kepentingan publik, terutama kalangan rumah tangga petani yang termarjinalkan. Pemerintah harus berani memberikan batasan penguasaan aset dan sumber daya perekonomian nasional. Sangat tidak bijak jika para pemodal mengeksploitasi aset-aset republik ini demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang semu. Tidak ada guna pertumbuhan yang tinggi jika yang menikmati kue perekonomian nasional hanya kalangan the haves dan meninggalkan kelompok the have nots. 

Dari sisi kebijakan industrial, pemerintah harus menyadari bahwa kita telah mengalami deindustrialisasi prematur. Struktur ekonomi terlalu cepat masuk sektor non-tradable atau jasa. Sementara struktur industri manufaktur kita mengalami penurunan baik secara produktivitas, daya saing maupun nilai tambah. Perlu ada upaya melakukan pendalaman struktur industri kita. Indonesia sudah saatnya jadi pusat mata rantai ekonomi global.

Dari sisi kebijakan fiskal dan moneter, harus dibuat semacam big push policy yang bisa menggerakkan sektor-sektor informal produktif dari masyarakat menengah-bawah agar terakselerasi kemampuannya dan bisa naik kelas. Desain sistem insentif lembaga keuangan harus berpihak pada mayoritas masyarakat menengah-bawah yang justru kurang tersentuh. Sekitar 60 persen masyarakat kita bekerja di sektor informal. Karena itu, transformasi struktural harus mampu mengubah informalitas ekonomi jadi formalitas ekonomi. Pemerintah harus lebih mengutamakan investasi pada sisi intangible asset dibandingkan tangible asset. Kebijakan anggaran pemerintah harus berorientasi pembangunan jangka panjang dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Transformasi struktural juga harus bisa mengubah perekonomian berbiaya mahal jadi efisien. Dengan begitu, negara akan mampu menciptakan ekosistem perekonomian nasional yang bisa menciptakan daya inovasi dan melahirkan apa yang disebut grassroots innovator.

Transformasi struktural juga diharapkan mampu membangun perekonomian yang tidak hanya di kota, tetapi juga mampu menstimulus pertumbuhan dari pinggiran, seperti daerah pedesaan dan sumber daya maritim kita.

Penulis yakin, kepemimpinan yang tegas dengan visi yang jelas akan mampu mendobrak kusutnya darurat ketimpangan ekonomi ini. Dibutuhkan nyali yang kuat dan nurani yang bersih untuk menjalaninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar