Selasa, 16 Februari 2016

Dinamika HAM di Asia Tenggara

Dinamika HAM di Asia Tenggara

Dinna Wisnu  ;   Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                               KORAN SINDO, 10 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam lingkar pemerhati hak asasi manusia (HAM), analisis yang beredar mengenai pemajuan dan perlindungan HAM di Asia Tenggara terbilang cukup dinamis.

Sulit untuk memukul rata apakah negara anggota ASEAN telah memajukan atau justru merendahkan penghargaan terhadap HAM karena tiap negara berbeda kemajuan ekonomi, budaya, sosial, dan sistem politiknya. Ada satu negara yang di satu isu lebih progresif daripada negara lain, tetapi pada isu berbeda lebih buruk bila dibandingkan dengan negara lain. Tidak mengherankan apabila sejumlah pihak, terutama masyarakat Barat, menyebut praktik penghormatan HAM di ASEAN lamban, rentan disalahgunakan, lemah, tercemar korupsi, dan sebagainya.

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti ditahannya atau bahkan hilangnya tokohtokoh pejuang HAM di sejumlah negara menambah catatan merah upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Asia Tenggara. Namun apa pun kondisinya, tidaklah pantas kita sekadar mengkritik atau menyerah. Pada akhirnya kita perlu mencari jalan untuk melakukan pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ini.

Keprihatinan seperti disebut di atas sebenarnya juga bagian dari tantangan penegakan HAM di negara-negara yang sudah maju sekalipun. Ada jalur diplomasi di ASEAN yang patut kita cermati dan pergunakan dengan baik terkait upaya tersebut, yaitu berdirinya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada 2009. Komisi ini bergerak atas dasar mandat dan sejumlah aturan main yang disetujui di level kepala negara.

Sejumlah negara memutuskan untuk memilih komisioner AICHR secara terbuka, termasuk dengan mengundang tokoh masyarakat sipil, contohnya Indonesia. Tugas utama komisi ini adalah membangun mekanisme regional untuk mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN. Selain itu, komisi tersebut juga bertugas memberi masukan dan pendampingan bagi badanbadan ASEAN terkait pemenuhan tanggung jawab HAM dan menjalin posisi bersama antarnegara ASEAN terkait HAM.

Sejak pendiriannya, AICHR melakukan ragam upaya mendorong penghormatan pada HAM melalui rangkaian dialog regional dalam beragam topik yang mengarah pada penguatan panduan regional dalam pemajuan dan perlindungan HAM.

Misalnya praktik penghormatan HAM dalam CSR di dunia bisnis, pencegahan dan perlindungan masyarakat dari kejahatan trafficking , fasilitasi bagi kelompok masyarakat berkebutuhan khusus, penghapusan kekerasan terhadap perempuan, proses hukum yang adil dan berkemanusiaan bagi terpidana hukuman mati, dll. Upaya ini masih muda usia. Usaha itu ditopang dengan lahirnya Deklarasi HAM ASEAN pada 2012 yang dilengkapi dengan pernyataan Phnom Penh tentang penerapan Deklarasi HAM ASEAN tersebut.

Dalam kedua dokumen itu dicanangkan pentingnya AICHR sebagai lembaga payung yang mendorong pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Lewat deklarasi tersebut, semua pilar komunitas ASEAN pada prinsipnya perlu memeriksa apakah kegiatan-kegiatan mereka sejalan dengan penghormatan atas HAM. Arah yang dituju adalah pembangunan sosial yang berkeadilan, menghormati martabat manusia dan pemenuhan kualitas hidup yang lebih baik bagi para warga negara di kawasan ASEAN.

Kebetulan tahun ini saya dipercaya mengemban mandat sebagai wakil Indonesia alias komisioner untuk Komisi Antar- Pemerintah ASEAN untuk HAM (AICHR) yang masa baktinya 3 tahun. Dalam kapasitas tersebut, saya punya kesempatan untuk melakukan sejumlah pengamatan dan interaksi.

Pertama, terkait strategi pemajuan HAM di kawasan ASEAN. Komentar-komentar yang keras terdengar di luar lingkar ASEAN adalah bahwa cara-cara ASEAN terbilang terlalu lamban dan kurang tegas. Sejumlah pihak menuding proses konsensus sebagai penghambat pemajuan dan perlindungan HAM. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kelambanan itu sebuah kesengajaan atau demikian keadaan yang ada?

Observasi saya menyimpulkan bahwa konsensus yang kemudian banyak dituding menghambat berbagai isu penting dalam penegakan HAM adalah bagian dari ketidakmerataan yang hadir di dalam hubungan antarsesama negara anggota ASEAN. Pada minggu lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Laos karena kebetulan tahun ini Laos memegang posisi sebagai ketua ASEAN, jabatan yang secara rutin digilir oleh 10 negara anggota ASEAN.

Dalam lingkaran pengamat yang membandingkan Laos dengan negaranegara anggota lain, keketuaan Laos cenderung dipandang skeptis karena Laos lebih sering terkesan pasif dalam lingkar pergaulan ASEAN. Untuk urusan politik, termasuk juga isu-isu yang menyinggung HAM, Laos kerap disebut menghindar atau bahkan bungkam.

Tanpa niat untuk merendahkan perjuangan HAM di negara ini dan kawasan, saya mendapatkan sisi lain dari negara ini yang mendorong saya untuk berpikir bahwa para pembela di Asia Tenggara harus bekerja lebih keras dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sudah maju di masyarakat Barat.

Dengan kata lain, saya ingin mengatakan bahwa pendekatan untuk mengangkat HAM sebagai prinsip yang universal di Asia Tenggara tidak bisa dilakukan dengan pendekatan seperti yang dilakukan masyarakat Barat yang cenderung rasional dan sekuler, tetapi harus dengan pendekatan Asia yang lebih mengutamakan ”rasa”. Oleh sebab itu, kata lambat atau cepat menjadi relatif dalam konteks ini.

Di negara-negara ASEAN, kita menemukan bahwa bila pemajuan HAM hanya diukur semata dari pembentukan regulasi atau konvensi, penghargaan HAM belum sejati ditegakkan. Bayangkan bahwa ragam regulasi, aturan, dan ketentuan bisa saja dibuat, tetapi implementasinya bisa nol jika para penegak hukum dan masyarakatnya tidak menghayati alasan dibuatnya regulasi, aturan, dan ketentuan tersebut.

Contohnya adalah Laos yang akan dianggap penuh anomali bila menggunakan kerangka berpikir formal sistem politik Barat. Secara formal, sistem demokrasi di Laos menganut sistem satu politik sosialis-komunis, tetapi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sana adalah umat Buddha yang taat.

Di satu sisi sebagian dari penduduk di sana memang menyadari pentingnya kebebasan berpendapat, tetapi sebagian besar yang lain melihat kebebasan berpendapat sebagai belum menjadi bagian kultural. Bagi rata-rata orang di sana, harmoni dengan siapa pun adalah hal yang harus dijaga.

Bahkan ketika orang lain melanggar peraturan, mereka juga tidak ingin langsung menegur karena harus ada saling pengertian akan kelemahan seseorang dan penegak hukum juga tidak ingin menimbulkan trauma dari masyarakat karena suatu sanksi tertentu. Di sisi lain, penegak hukum di Laos tidak segan memberikan teguran keras kepada mereka yang terkesan memaksakan kehendaknya pada orang lain.

Tentu saja, kita bisa mengartikan cerita di atas sebagai tindakan represif kaum berkuasa, tetapi jika melihat keseharian mereka, mustahil ada kepatuhan yang masif tanpa ada ”izin” dari masyarakat setempat. Bukankah pada akhirnya suatu masyarakat juga membutuhkan tatanan sosial meskipun HAM tetap dijunjung tinggi? Artinya bahwa penegakan HAM berpulang pada pemahaman bersama di tataran pemerintah dan masyarakatnya.

Pemahaman ini harus organik; harus tumbuh dari dalam, tidak bisa sekadar dicangkok oleh pihak asing. Jadi ketika bicara konsensus di ASEAN, saya lihat kita tidak bisa sekadar mendesak terjadinya konsensus, tetapi perlu menggali cara-cara supaya konsensus itu secara alamiah tumbuh di antara para komisioner di AICHR. Alamiah di sini bukan berarti membiarkan tanpa usaha, tetapi justru mengusahakan sebuah kebijakan yang urgensinya dapat dipahami oleh para pemegang kuasa politik di negara masing-masing tanpa mereka merasa terancam.

Kedua, terkait dengan upaya membangun komunitas ASEAN. Saat ini sudah ada konsensus dari pemimpin di segala lapisan di semua negara ASEAN bahwa Komunitas ASEAN yang tunggal, saling peduli, dan saling berbagi adalah impian bersama. Secara prinsip ini adalah modalitas bagi pemajuan HAM di kawasan walaupun fakta internal, tiap negara anggota memiliki perbedaan dan kontradiksi menyangkut beberapa isu seperti masalah HAM dan kedaulatan.

Perbedaan ini yang bisa jadi menyulitkan ASEAN dalam menghadapi kompetitor dari kawasan atau negaranegara lain yang membawa ideologi ekonomi dan politiknya masing-masing. Sebagai contoh, ASEAN sebagai komunitas ekonomi berada dalam kompetisi dengan masyarakat Eropa/Amerika dan China yang saat ini berperan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dunia.

Masingmasing mendorong liberalisasi ekonomi sejauh-jauhnya, tetapi disertai perbedaan di mana Eropa/Amerika mengaitkan ekonomi dengan masalah HAM dan demokrasi. Sementara China memisahkannya dan lebih mendorong politik nonintervensi dalam pergaulan politik internasional. Tiap kutub politik itu secara langsung dan tidak langsung juga memperuncing perbedaan yang ada di antara negara-negara ASEAN.

Dalam konteks tersebut, tidak mudah untuk merumuskan strategi penguatan HAM di ASEAN. Insentif apa yang harus dirumuskan agar negara-negara anggota ASEAN dapat menikmati hasil dari penghargaan HAM dan disinsentif apa yang harus diberikan apabila ada negara yang melanggar? Eropa/ Amerika memberikan contoh bagaimana pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan penghormatan HAM dapat membuat penduduknya sejahtera.

Namun di sisi lain kita juga melihat China dengan sistem politik terpimpinnya ternyata saat ini pertumbuhan ekonominya menjadi idola bagi banyak pemimpin negara yang relatif memiliki masalah sosial dan politik yang sama. Tiap strategi akan memiliki implikasi secara langsung, terutama di wilayah ekonomi.

Saya sendiri belum menemukan resep jitunya, tetapi saya yakin bahwa ini adalah pertanyaan yang juga ada di benak para pemimpin negara dan para pembela HAM di setiap negara anggota ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar