Jumat, 12 Februari 2016

Kawasan Halim dan Kereta Cepat

Kawasan Halim dan Kereta Cepat

Fahmi Alfansi P Pane  ;   Alumnus Magister Sains Pertahanan
Universitas Pertahanan Indonesia
                                                     KOMPAS, 12 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Isi surat  Kepala Staf Angkatan Udara kepada Panglima TNI yang termuat di Kontan (4 Februari) telah menjelaskan ketidaksetujuan pimpinan TNI AU dan penolakan prajurit TNI AU atas rencana pembangunan stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung dan kereta transit di Kompleks Trikora, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Terkait kawasan Halim, ini adalah kontroversi kesekian kali sesudah perdebatan penggunaan Lanud Halim untuk penerbangan komersial, dan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan anak perusahaan penerbangan swasta atas pemanfaatan lahan TNI AU. Adapun terhadap proyek kereta cepat, sikap TNI AU melengkapi kontroversi lain, seperti upaya pencarian penjaminan negara terhadap kelangsungan proyek, risiko gempa dan tanah longsor, perizinan, risiko finansial bagi konsorsium BUMN, dan biaya konstruksi yang lebih mahal daripada proyek jalur Tiongkok-Iran.

Keberatan TNI AU terhadap pembangunan stasiun kereta di sebagian areal Lanud Halim sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan Pemerintah No 68/2014 tentang Penataan Wilayah Pertahanan Negara, pasal 6 merinci wilayah pertahanan yang antara lain terdiri dari pangkalan militer atau kesatrian, daerah latihan militer, obyek vital nasional yang bersifat strategis, dan/atau kepentingan pertahanan udara. Di bagian penjelasan, pangkalan militer atau kesatrian termasuk kantor, asrama, atau perumahan yang menjamin fungsi tempat bekerja, tempat berlatih, dan tempat tinggal sehingga mempunyai kesiapsiagaan yang tinggi. Dengan demikian, Kompleks Trikora dan seluruh permukiman prajurit yang berada di dalam pangkalan militer mana pun tergolong wilayah pertahanan yang menjadi lampiran PP tersebut.

Secara prosedural, alih fungsi wilayah pertahanan dapat dilakukan sepanjang dinilai tak efektif dan tak efisien untuk kepentingan pertahanan, serta terdapat kepentingan pembangunan nasional yang lebih besar (pasal 44). Untuk kepentingan pertahanan, keberadaan permukiman prajurit di kawasan Halim dinilai efektif dan efisien. Para prajurit dapat menjaga, memelihara, dan mendayagunakan seluruh aset dan instalasi pertahanan udara di Halim, seperti Komando Operasi AU I yang membawahi beberapa skuadron pesawat, termasuk skuadron angkut VIP/VVIP; Korps Pasukan Khas, dan Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) yang mengoperasikan satuan radar dan gelar kekuatan rudal. Kedekatan prajurit dengan instalasi militer sangat penting karena, terutama dalam pertempuran udara, dalam tempo sekian menit dan detik menentukan hasil operasi.

Apabila sebagian areal permukiman prajurit dialihfungsikan, prajurit akan sulit bersiaga 24 jam bila mereka terjebak kemacetan menuju fasilitas radar, rudal, dan operasi pesawat. Kemampuan kontrateror personel Korpaskhas juga akan menurun jika setiap hari atau saat terjadi serangan teroris di lapangan udara dan pesawat komersial harus menghadapi "teror" kemacetan, kebisingan, dan polusi transportasi, serta peningkatan biaya transportasi dan permukiman.

Tak bisa dikompromikan

Pembangunan stasiun kereta cepat dan transit di kawasan Halim tidak hanya akan berdampak pada pengurangan areal permukiman prajurit. Kawasan Halim akan makin padat oleh arus penumpang dan barang. Dampaknya, akan lebih besar daripada pemindahan sebagian penerbangan komersial karena kapasitas angkut kereta lebih besar daripada pesawat. Gangguan terhadap fungsi pertahanan dan keamanan akan semakin besar karena di sekitar stasiun akan selalu berdiri berbagai tempat usaha. 

Padahal, penurunan kekuatan, kemampuan, dan gelar pertahanan udara tidak dapat dikompromikan sama sekali. Jenderal Besar Montgomery mengatakan, "if we lose the war in the air, we lose the war, and we lose it quickly". Sejarah Indonesia membuktikan, yang terawal dihancurkan Belanda dalam Agresi II adalah Lanud Maguwo (kini Adisutjipto), lalu menduduki pusat pemerintahan yang saat itu sudah berpindah ke Yogyakarta. Saddam Hussein dan Moammar Khadafy juga mengalami kekalahan dengan cepat setelah pertahanan udaranya dihancurkan lebih dulu. Bahkan, NIIS/ISIS yang mempraktikkan taktik perang hibrida juga terpukul dengan segera setelah serangan udara bertubi-tubi. 

Presiden memang berwenang menetapkan kepentingan pembangunan nasional yang lebih besar (pasal 44 ayat 3) untuk mengalihfungsikan suatu wilayah pertahanan. Namun, pertahanan dan keamanan juga mendorong dan menjamin pembangunan nasional. Pertahanan dan keamanan yang kuat akan meningkatkan kepercayaan investor, pekerja, dan konsumen, serta menurunkan risiko serangan teroris dan kriminal bersenjata.

Pertahanan dan keamanan yang kredibel juga mendorong pertumbuhan industri pertahanan, baik BUMN maupun swasta, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Sebagian produk industri dan teknologi pertahanan tersebut nantinya dapat dikomersialkan, seperti yang dilakukan oleh industri pertahanan dan dirgantara Amerika Serikat, Inggris, dan Korea Selatan. Bahkan, pemeliharaan, perawatan, dan operasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) juga mendorong perekonomian karena sebagian jasa pemeliharaan dan pengadaan suku cadang dilakukan oleh BUMN dan swasta nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar