Senin, 15 Februari 2016

Kerinduan PKB

Kerinduan PKB

Margarito Kamis  ;   Doktor Hukum Tata Negara;
Dosen FH Universitas Khairun Ternate
                                               KORAN SINDO, 10 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta Convention Center berakhir sudah. Pada pembukaannya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo—yang beberapa minggu lalu melakukan ground breaking pembangunan rel kereta api cepat, yang hukumnya kacaubalau itu—turut hadir.

Manis, akhir mukernas itu. Bukan karena tidak ada dentuman perselisihan pendapat antarsesama fungsionaris, tetapi karena dua gagasannya. Gagasannya adalah gubernur dipilih oleh DPRD serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kalau tak dibubarkan, tampaknya tidak bisa tak ditata. Apa yang menyentak mereka sehingga mengakhiri mukernasnya dengan menelurkan dua kerinduan yang cukup beralasan itu? DPD bukan tak penting dianalisis, tetapi pemilihan gubernur, dengan rimba raya akibat yang menyertainya, menjadi indah untuk segera dianalisis.

Angsa Bertingkah Buaya

Pemilihan langsung—entah diketahui oleh PKB atau tidak, betapapun tak usah berlebihan mencemaskannya—dalam sejarahnya mewakili cara pandang khas kaum berduit mempertahankan duit, modal kekuasaannya. Duit-duit itu sampai ke tangan pemilih, dalam kasus Romawi kuno, melalu sindikat jual-beli suara.

Inilah, yang dalam sejarah konstitusionalisme klasik, dialami oleh Marcus Tulius Cicero, juris dan negarawan besar Romawi kuno dalam pemilihan konsul kala itu. Pemilihan konsul yang diikuti Cicero—tulis jurnalis kawakan peraih British Press Award Robert Harris—harus berhadapan dengan para cukong.

Marcius Figulus, karena itu, dibujuk oleh beberapa calon untukmengajukankepada senat satu hukum baru. Hukum ini, dalam permintaan mereka, secara ketat menentang malapraktik pemilu, dan diharapkan menjadi lex vigula. Masa Cicero, jelas bukan masanya Earl Grey, politisi kawakan Inggris abad ke-19. Tetapi, terbatasnya hak pilih universal dalam kasus Romawi juga dialami Inggris pada 1832.

Sadar bahwa hak pilih itu harus diperluas, rakyat Inggris menuntut parlemen memperluasnya. Manisnya, tuntutan itu direspons oleh parlemen dengan membentuk First Reform Act. Menariknya, betapa pun tuntutan itu direspons, diikuti dengan pelembagaan sistem pemungutan suara secara rahasia, tetapi pada 1865, tahun reformasi fase kedua, muncul lagi gerakan rakyat mengganyang praktik curang dalam pemilu.

Praktik itu, tulis Daron Acemoglu dan James A Robinson, ditandai dengan pemilih ditraktir, sebuah modus transaksi jual beli suara; pemilih diberi uang, makanan, atau minuman keras. PKB mungkin tak akan mengatakan bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota secara langsung hanya indah dalam nama dan esensinya.

Kasuskasus pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sedang diadili di Mahkamah Konstitusi saat ini serupa dengan yang lalu-lalu. Misalnya manipulasi suara, penyelewengan dana bansos, serta ke-culasan parsial penyelenggara pilkada.

Soal Bernegara

Hebatnya, pemikiran konstitusionalisme mutakhir menempatkan pemilihan langsung presiden, gubernur, bupati, dan wali kota sebagai cara, satu-satunya, mengisi jabatan-jabatan itu. Cara ini, entah apa epistemologisnya, secara serampangan dianggap sebagai satu-satunya cara demokratis. Di luar cara itu, jelas jawabnya, tidak demokratis. Demokrasi dalam langgam itu—tak mungkin tak dikenali oleh PKB—telah direduksi.

Pada aras hakikat, demokrasi sama sekali tidak sama dengan pemilihan, langsung atau tidak langsung. Pada aras ini, hakikat, tentu diketahui oleh PKB, demokrasi berinduk pada kerinduan, sedikit manipulatif, mengembalikan dan menempatkan setiap orang dalam sifat kodratinya sebagai makhluk mulia. Kemuliaan itu ada dan dimiliki setiap orang karena kodrat alamiahnya, bukan disematkan penguasa.

Dalam sejarahnya yang menyandang sifat itu, mulia, hanyasegelintirorang, berkat belas kasih monarki. Walau bukan satu-satunya sebab, kenyataan itu telah menjadi sebab terbesar, sekaligus alasan tervalid eksistensi absolutisme, untuk tak mengatakan eksistensi para tiran. Pengakuan atas eksistensi kodrati sebagai makhluk mulia, mengubah status mereka dari naturalis ke civilis.

Inilah pangkal lahir dan terbentuknya, apa yang disebut Bung Hatta dengan, daulat rakyat. Sifat tatanan ke-hidupan nasional, karena itu, adalah polity . Tatanan ini menyangkal Tuhan yang berabad- abad ditunjuk, oleh monarki sebagai sumber kekuasaan, dan raja sebagai bayangannya di muka bumi. Setiap orang yang telah diakui haknya, berstatus merdeka (civilian).

Dalam hakikatnya, setiap orang memiliki hak, dalam arti kekuasaan dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Bukan tak bisa diurusi, diperintah, tetapi untuk tujuan itu harus didahului dengan persetujuan mereka, yang untuk sebagian besar negeri beradab di dunia, diwakilkan kepada wakil-wakilnya di parlemen. Itulah akar demokrasi dan hakikat pemilihan.

Pemilihan langsung, dengan rimba raya akibatnya sedari dulu hingga kini, jujur, beralasan didendangkan sebagai pesta ”sesat” demokrasi, dan ”demokrasi sesat.” Berpesta dalam kesesatan demokrasi, sungguh tipikal bangsa berperadaban, dalam perspektif Profesor Salim Said, rendah. Menyamakan demokrasi dengan pemilihan langsung sama nilainya dengan mengecoh akal sehat bangsa itu.

PKB jelas tak menghendakinya. Pada titik itu, rindu PKB, pasti bukan sekadar kembalikan pemilihan gubernur ke DPRD, melainkan lebih dari itu. PKB sedang mengajak parpol lain untuk rindukanlah, sekali lagi, gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara tidak langsung.

Demokrasi menempatkan keagungan otonomi individu dalam esensinya, dan menjadikan pemerintah rakyat sebagai norma dasarnya, tetapi institusionalisasi pemilihan langsung sebagai satusatunya wujud pemerintahan rakyat, justru membelakangi dunia. Akankah rindu, untuk tak menyifatkannya sebagai preferensi PKB, berbuah manis?

Konstitusionalisme mutakhir menunjukkan parpol, sesuatu yang sedari akhir abad 18 telah menjengkelkan, mengharuskan PKB meniti ragam preferensi di belantara politik nasional serasional mungkin. Deliberasi mungkin mesti dipilih PKB dalam titian penuh rimba preferensi parpol kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar