Senin, 29 Februari 2016

KK

KK

Samuel Mulia ;   Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 28 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hari Minggu lalu, saya membereskan rumah beserta berkas-berkas di dalam lemari, termasuk KK alias kartu keluarga. Saat memegang kartu itu, saya menyimak nama-nama yang tertera di dalamnya, dan tiba-tiba ada perasaan rindu yang muncul.

"Sense of urgency"

Melihat nama-nama yang sekarang ini telah hilang dari hidup saya menimbulkan perasaan yang sukar diungkapkan. Ayah dan ibu meninggal dunia, sementara kakak dan adik 'menghilang' karena tinggal di belahan dunia lain. Kemudian perasaan rindu makin menjadi-jadi dan pikiran melayang ke masa kami masih sebuah keluarga dengan anggotanya yang utuh.

Beberapa jam setelah acara beres-beres itu, saya menerima sebuah kiriman foto di salah satu grup pertemanan. Foto itu menunjukkan salah seorang anggota grup pertemanan itu yang tengah berlibur bersama ibu, adik, serta kakaknya. Entah mengapa, sambil masih memperhatikan foto itu, tiba-tiba timbul rasa iri hati.

Iri hati itu muncul karena dalam keluarga kami, liburan bersama setelah kami dewasa tak pernah terjadi. Ada perasaan bahwa orangtua saya, dan saya sebagai anak, tak terlalu peduli akan hal-hal sederhana yang justru melahirkan ikatan batin itu.

Saya ini berpikir, kalau anak-anak sudah menjadi dewasa, itu berarti hidup dengan caranya masing-masing, sehingga kedua belah pihak, baik orangtua maupun anak yang juga menjelang tua, tak pernah merasa penting memupuk ikatan dalam bentuk liburan bersama.

Harus diakui kumpul-kumpul semacam itu sedari dulu tampaknya bukan menjadi kesenangan ayah sebagai kepala keluarga dan penentu kebijakan, sehingga mungkin tanpa ia sadari, ia tak pernah menumbuhkan kebiasaan itu pada anggota keluarga.

Sudah lama, lama sekali saya tak berjumpa dengan kakak dan adik yang tinggal di negeri seberang. Anda pikir dengan teknologi canggih, kami menjadi lebih dekat? Tidak sama sekali. Saya sendiri jarang diserang perasaan rindu pada mereka.

Ketidakhadiran perasaan rindu bukan karena kami tidak saling menyayangi, tetapi karena sense of urgency untuk bersilaturahim telah dibuat nol sejak lama. Mungkin orangtua saya sejujurnya takut, kalau ikatan itu terlalu erat, maka perasaan kehilangan, kalau hal itu terjadi di suatu hari, akan menjadi begitu dalamnya. Mungkin.

Aku sayang kamu

"Bapakku yaaa... ngono, Bro. Podooo.. Tapi, kan, kita sekarang jadi anak yang mandiri, kita jadi bisa belajar jangan melakukan hal yang sama seperti bapak kita. Ya enggak, sih?" Itu komentar teman saya saat saya curhat soal iri hati itu.

Kemudian seperti biasa otak mulai berpikir. Apa benar kemandirian seseorang itu terjadi karena ia mendapat perlakuan dan pengalaman yang 'keras'? Apakah kemandirian seseorang tak bisa diwujudkan dengan kasih sayang yang nyata?

Melakukan gerak tubuh dan air muka yang menyenangkan saat berbicara, mengucapkan kata dengan ekspresi hati yang benar mengasihi, menyediakan waktu hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul, atau memperlakukan sesamanya dengan lebih manusiawi, misalnya.

Sering saya mendengar ucapan macam begini. "Dia itu galak, tidak romantis, kelihatan seperti tak peduli, tapi sebetulnya dia itu sayang sama kamu. Dia itu hatinya baik kok, hanya saja cara mengekspresikannya memang tidak lazim. Bentuk sayangnya memang berbeda."

Benarkah demikian? Bagaimana yang galak, yang tidak romantis, yang tak peduli, mampu menghasilkan perilaku yang menunjukkan kasih? Bukankah katanya apa yang dilihat oleh kasatmata, itu merupakan hasil dari kondisi hati dan jiwa seseorang?

Sekitar dua minggu lalu teman baik saya dihadapkan dengan kepergian tiga orang yang dekat dengannya. Setelah kejadian itu, ia mengirimkan pesan ke grup pertemanan kami. "I experienced three deaths in my close circle this week. Life is impermanent. I learned that in the end it is how much love you have for life and others that matter. Let's live and love. I'm grateful to have all of you in my life."

Ia mengekspresikan rasa cintanya kepada kami teman-temannya. Ia tak mau kehilangan kesempatan untuk menyatakan perasaannya. Maka hari ini, setelah Anda membaca tulisan ini, seperti teman saya itu, katakan dan tunjukkan kasih Anda kepada sesama.

Tak perlu merasa gengsi dan takut jika itu Anda pikir akan membuat rasa kehilangan begitu dalamnya kalau suatu hari itu terjadi. Tidakkah lebih baik merasakan kehilangan yang dalam, tetapi Anda tak menyesal sudah membuat orang merasa bahagia karena dikasihi?

Gengsi dan takut itu adalah bentuk bara yang panas, yang membuang kesempatan untuk Anda menjadi air dingin berupa kasih kepada orang yang mungkin Anda sendiri tak tahu, kalau mereka sedang membutuhkan.

Gengsi, takut, tidak peduli, kelihatan galak, itu akan menyia-nyiakan Anda menuai hasil yang indah bila waktunya tiba. Kalau Anda masih belum mampu karena selama ini tak terbiasa mengekspresikan kasih Anda, maka latihlah mengingatkan nama-nama yang tertera di dalam kartu keluarga. Jadikan mereka tempat latihan Anda.

Ingat, kartu keluarga itu bukan sembarang kartu. Ia sebuah kartu yang menghidupkan kasih bagi sesamanya. Hari ini saya mau mengatakan kalau saya sayang Anda semua!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar